Nasional

JOKOWI, PETANI DAN PANCASILA

Oleh : indonews - Selasa, 07/11/2017 20:46 WIB

Chalid Muhammad, Ketua Instiute Hijau Indonesia. (Foto: Ist)

Oleh: Chalid Muhammad*)

Dungus Forest Park pagi ini penuh oleh ribuan petani. Mereka datang dari berbagai desa untuk bertemu Presiden Joko Widodo. Jokowi akan bagi surat izin pemanfaatan hutan sosial untuk pemerataan ekonomi dan kelestarian hutan. Petani dapat kepastian hak kelola 35 tahun. Dukungan pendanaan dan pemasaran juga difikirkan.

Sehari sebelumnya, petani kerja bakti siapkan tempat pertemuan. Ada yang bersih-bersih dan ada yang membuat bangku dari bambu. Dengan riang mereka kerja hinga tengah malam dalam guyuran hujan. Kami senang pak Jokowi datang ke desa kami, jawab petani "mendadak tukang" ketika saya tanya perasaannya dimalam itu.

Pagi hari hutan jati Dungus yang berumur 110 tahun itu tertata asri. Tak ada tenda dan kursi mewah. Presiden dan petani duduk di bangku bambu yang sama. Rindangnya daun jati jadi peneduh dari sinar matahari. Alhamdulillah hingga akhir acara hujan tak turun.

Tiba di lokasi Jokowi langsung salami petani. Yang tak kebagian salaman dapat "lemparan" senyum dan sapaan dalam bahasa Jawa yang kurang saya fahami. Kemudian Jokowi memberi sambutan setelah laporan dari Menteri Siti Nurbaya.

Dalam sambutanya Jokowi kembali tegaskan komitmen pemerintah. Seperti di tiga tempat sebelumnya;  Muara Gembong (Bekasi), Brani Wetan, (Probolinggo) dan Wonoharjo (Boyolali).

Jokowi meminta seorang petani  jelaskan rencana kerja di areal yang diberikan. Kali ini diwakili Pak Basuki. Lahan garapannya 0,5 hektar dan akan jadi 2 hektar melalui izin hutan sosial. Ia akan ditanami jagung sembari  menunggu pohon sengonnya besar. 

Pak Basuki antusias jelaskan rencananya. Hitungnya matang. Dia yakin dapat membayar Kredit Usaha Rakyat yang diberikan BNI. Bunganya 9% dan akan jadi 7% ditahun depan. Presiden memberi apresiasi sembari mengingatkan hati-hati pinjam kredit dan juga penegasan agar  petani harus sejahtera.

Diakhir dialog Jokowi minta Pak Basuki hafal PANCASILA. Saya tak hafal katanya. Peserta pun tertawa. Presiden lalu menuntun Pak Basuki menghafal Pancasila. Dua kali kata keadilan disebutnya. Sila kedua dan sila kelima.

Saya teringat sahabat Yudi Latif.  Penulis Negara Paripurna itu kini jadi Kepala UKP Pancasila. Andai Yudi hadir dalam kunjungan Presiden ini, saya yakin diskusi tentang keadilan akan jadi pembahasan seru. Sebab Petani Jawa adalah potret paripurna dari ketidakadilan agraria yang tengah dikoreksi Jokowi. 

Petani Jawa memiliki lahan garapan sempit. Rata-rata kurang dari 0,5 hektar. Sebagian malah jadi buruh tani tanpa tanah. Jeratan tengkulak, anomali cuaca, harga hasil penen yang rendah dan ancaman kriminalisasi selalu jadi mimpi buruk.

Boleh jadi pak Basuki tak hafal PANCASILA, bukan karena "grogi" berdiri dekat Presiden. Mungkin karena kata keadilan itu sangat jauh dari realitas hidupnya. Juga jutaan petani lainnya.

Dalam curhat petani pada Menteri Siti Nurbaya beberapa waktu lalu terungkap  potret ketidakadilan yang selama ini dialami petani.  Mereka harus membayar dibawah tangan agar bisa garap lahan Perhutani. Bahkan ada petani yang tempat tinggalnya diaku oleh Perhutani sebagai kawasannya. Padahal telah beberapa generasi tinggal di wilayah itu. Sewaktu-waktu mereka bisa terusir dari kampungnya bila kebijakan reforma agraria dan hutan sosial tak segera dijalankan.

Potret hampir sama terjadi diluar Jawa. Masyarakat adat dan penduduk desa kerap jadi penonton pembanggunan. Perusahaan besar telah kuasai hutan dan kebun lebih dari 30 juta hektar. Dikuasai tak lebih dari 25 orang kaya saja dalam beragam group bisnis. Sekitar 97% hutan produksi dikuasai mereka. Sisa 3% yang dikuasai masyarakat. Mungkin ini yang dimaksud Presiden harus segera dilakukan corrective action.

Kini program Reforma Agraria dan Hutan Sosial sedang digenjot. Kebijakan yang puluhan tahun tak berpihak pada rakyat itu ingin diakhiri. Sekitar 12,7 juta hektar hutan dialokasikan untuk masyarakat dalam bentuk acces reform.  Belum lagi 9 juta hektar tanah termasuk  20% dari  kawasan hutan yang telah lepas untuk swasta akan menjadi objek reforma agraria dalam bentuk asset reform. 

Sungguh ini adalah kebijakan berani yang diambil pemerintah. Mereka yang serakah dan terganggu kenyamanannya tentu tidak tinggal diam. Boleh jadi mereka akan melawan kebijakan tersebut dengan beragam cara. Saya percaya Presiden dan menterinya tak akan goyah. Bila tidak, tentu kata keadilan itu akan makin jauh dari kehidupan petani. 

Mungkin ini pula maknanya Jokowi setiap dialog dengan petani kecil selalu menanyakan apakah hafal PANCASILA? Saya menduga Presiden ingin mengingatkan dirinya dan jajarannya bahwa negara berkewajiban mewujudkan keadilan bagi rakyatnya. Termasuk keadilan bagi jutaan petani miskin tanah.

Teruslah Pak Jokowi, terus gemakan PANCASILA agar kita secara bersama dan terus menerus mengingat : Kemanusiaan yang ADIL dan Beradab serta KEADILAN sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Saya yakin percepatan hutan sosial dan reforma agraria bukan saja untuk pemerataan ekonomi, lebih jauh, program ini untuk keadilan sosial dan ekologis termasuk keadilan antar generasi. 

*) Penulis adalah Ketua Institut Hijau Indonesia

 

Artikel Terkait