Buntut Pembekuan oleh Menristekdikti, Nasib Mahasiswa Universitas PGRI NTT Makin Tidak Jelas

Oleh : very - Rabu, 08/11/2017 16:21 WIB

Forum Mahasiswa Universitas (FMU) PGRI NTT konferensi pers di Gedung Cawang Kencana, Cawang, Jakarta Timur, Selasa (7/11). (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - KONFLIK internal di tubuh Universitas PGRI NTT yang melibatkan dua kubu yakni pihak rektorat dan yayasan membuat nasib ribuan mahasiswa terkatung-katung.

Setidaknya sejak kasus ini mencuat pada 2014 lalu, sekitar  4.000 alumni kampus itu menjadi korban karena ijazah mereka dinyatakan tidak sah dan 800 mahasiwa yang tengah menempuh pendidikan saat ini juga belajar dalam ketidakpastian.

"Bahwa ada solusi dari Menristekdikti (Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi) pascapembekuan Universitas PGRI beberapa waktu lalu yaitu dengan memberikan dua izin penyelenggaraan pendidikan yang baru yaitu satu untuk pihak yayasan dan satu untuk pihak rektorat justru menimbulkan masalah baru. Banyak dosen yang mundur, kegiatan Tri Darma Perguruan Tinggi juga tidak berjalan, dan lagi mahasiswa seperti anak ayam yang kehilangan induk karena dua-duanya sama-sama berdagang pengaruh,” kata Koordinator Umum Forum Mahasiswa Universitas (FMU) PGRI NTT, Petrus Tansius Dedi di Jakarta, Selasa (7/11/2017).

Petrus bersama empat rekannya datang ke Jakarta untuk mencari kejelasan terkait solusi pendidikan bagi mahasiswa PGRI NTT yang nasibnya saat ini belum menentu.

Ia menjelaskan, sejak kisruh antara rektorat dan yayasan ini mencuat, kedua pihak sama-sama mewisuda para mahasiswa dengan nama rektor yang berbeda. Mahasiswa pun dibuat bingung dan mayoritas terpaksa mengikuti dua wisuda yang digelar. Sementara, terdapat sekitar 800 mahasiswa yang memilih menunggu kejelasan terhadap sengketa itu.

"Mahasiswa yang telah diwisuda juga mempertanyakan keabsahan ijazah yang mereka dapatkan. Bahkan, alumni yang sedang mengikuti ujian kerja di Yogyakarta pulang lagi ke Kupang karena status mereka dinyatakan masih aktif sebagai mahasiswa. Sejak itu, alumni gelisah karena ijazah tidak berlaku," kata Dedi, yang mencari bantuan advokasi ke Lembaga Advokasi HAM Internasional di Jakarta tersebut.

Dia menambahkan bahwa mahasiswa di kampus tersebut umumnya berasal dari kalangan menengah ke bawah.

"Kami sudah menghabiskan banyak biaya untuk kuliah. Keluarga dan masyarakat kampung kami bangga kami bisa kuliah, tapi nasib kami malah begini. Itu lah kenapa kami ke Jakarta meminta bila perlu Pak Presiden Jokowi (Joko Widodo) untuk mencari solusi bagi kami. Sekarang kami sangat berharap ada solusi dari pemerintah untuk memberikan jawaban yang konkret terhadap 4 ribu alumni maupun 9 ribu mahasiswa lainnya yang belum diwisuda selama mengenyam pendidikan periode 2013-2016," imbuh Dedi.

Seperti diberitakan sebelumnya, kisruh di tubuh PGRI NTT ini berujung pada dicabutnya izin universitas yang berdiri dengan SK Mendikbud: 89/D/O/1999. Kemudian Menristekdikti mengeluarkan izin baru dengan badan penyelenggara yang baru untuk kedua belah pihak yang sudah gagal dalam dalam melakukan pengelolaan Universitas PGRI, yakni Universitas Persatuan Guru 45 dan Universitas Aryasatya Deo Muri.

Usai dikeluarkannya dua SK Menristekdikti tersebut, muncul lagi pihak ketiga yaitu Lembaga Pemantau Pengawas Triaspolitika (LP2TRI) di bawah pimpinan Hendrikus Djawa, yang mengangkat dirinya sendiri sebagai Ketua Yayasan Pembina Lembaga Pendidikan Tinggi PGRI NTT. Ironisnya, dia langsung mewisudakan 129 mahasiswa Universitas PGRI NTT tanpa ada aturan hukum yang jelas, dengan mengklaim bahwa Universitas PGRI NTT masih aktif.

Mencermati situasi ini, Lembaga Advokasi HAM (Leadham) Internasional mendesak agar pemeerintah memastikan nasib mahasiswa yang kini menjadi korban.

"Kita tidak ingin agar kisruh ini justru mengorbankan pendidikan para mahasiswa ini. Pendidikan itu adalah hak, apalagi mereka sudah berkorban waktu dan materi selama bertahun-tahun. Maka kami meminta agar pemerintah pusat tegas mencarikan solusi bagi mahasiwa ini," tegas Ketua Leadham Internasional, Rismauli Sihotang.

Advokat Leadham Internasional Wilvridus Watu, menambahkan, pihaknya siap memberikan bantuan hukum kepada para mahasiswa ini.

"Pada intinya kami ingin memberikan pendampingan hukum agar hak-hak para mahasiswa ini terpenuhi, yaitu hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak,” kata Wilvridus.

Menurut dia, membuat SK untuk Universitas baru pada kedua belah pihak yang bersengketa justru tidak menyelesaikan persoalan ijazah bagi ribuan mahasiswa Universitas PGRI NTT yang tidak diakui dunia kerja.

"Kami tegaskan juga bahwa kami akan mengawal nasib dari 4 ribu mahasiswa untuk diperjuangkan kepada pemerintah yang nasibnya sekarang tidak jelas. Pencabutan SK Menristek Dikti Universitas PGRI NTT dan memberikan izin baru pembentukan Universitas Persatuan Guru 45 dan Universitas Aryasatya Deo Muri pada 30 Mei 2017 belum menjawab nasib 4 ribu mahasiswa yang ijazahnya diragukan," pungkasnya. (Very)

 

Artikel Terkait