Radikalisme pada Generasi Muda Perlu Penanganan Serius

Oleh : very - Rabu, 08/11/2017 20:22 WIB

Stanislaus Riyanta, analis intelijen, alumnus Pascasarjana Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia, saat ini sedang menempuh studi Doktoral di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia. (Foto: Ist)

Oleh: Stanislaus Riyanta*)

INDONEWS.ID - Data dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang disampaikan pada Forum Bela Negara Alumni UI (BARA UI), di Jakarta Selatan, Sabtu 22 Juli 2017, menyebutkan bahwa pelaku teroris terbesar berpendidikan SMA yakni 63,3 persen, perguruan tinggi 16,4 persen, SMP 10,9 persen, tidak lulus perguruan tinggi 5,5 persen, dan SD 3,6 persen. Berdasarkan umur, pelaku teroris terbanyak usia 21-30 tahun yakni 47,3 persen, disusul usia 31-40 tahun 29,1 persen. Sedangkan, usia di atas 40 tahun dan di bawah 21 tahun masing-masing 11,8 persen. Mengacu pada data tersebut maka pelaku teroris didominasi oleh generasi muda dengan tingkat pendidikan SMA/sederajat.

Hasil survey lainnya yang dilakukan oleh Wahid Foundation dan disampaikan pada acara “Bhineka Indonesia : Modal Sosial Bernegara” di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Kamis, 16 Februari 2017 menyebutkan lebih dari 60 persen aktivis rohis siap jihad. Survey yang dilakukan kepada responden sebanyak 1.626 orang peserta Perkemahan Rohis "Membangun Generasi Emas Ramah dan Bermartabat" Direktorat Pendidikan Agama Islam Kementerian Agama RI pada 2-6 Mei di Cibubur, Jakarta Timur, ini cukup mengejutkan. Dari survey tersebut terungkap 37 persen sangat setuju dan 41 persen responden yang setuju seharusnya umat Islam bergabung dalam satu kesatuan kekhalifahan.

Munculnya perilaku radikal pada generasi muda tentu saja sangat mengkhawatirkan. Radikalisme pada generasi muda juga dipengaruhi oleh kemajuan teknologi internet yang mendorong generasi muda untuk memperoleh informasi secara lebih bebas, cepat, bahkan tanpa batasan. Munculnya aksi-aksi teror lone wolf di Indonesia karena pengaruh informasi yang diakses oleh internet sudah terjadi. Teror lone wolf di Indonesia pada dua tahun terakhir ini seperti yang terjadi pada teror bom Gereja di Medan (28/08/2016), penyerangan polisi di Cikokol  (20/10/2016), penyerangan Markas Polda Sumatera Utara (25/06/2017), penyerangan terhadap anggota Brimob di Masjid Falatehan (30/06/2017), merupakan aksi-asksi teror individual yang dipengaruhi oleh informasi dari internet.

Fakta-fakta di atas, yang menyebutkan bahwa generasi muda banyak yang setuju dengan gerakan radikal, pelaku teror sebagai implikasi dari paham radikal banyak dilakukan oleh generasi muda, dan internet menjadi salah satu media yang mempengaruhi orang untuk melakukan teror, cukup memprihatinkan dan perlu ditangani dengan serius. Kemajuan teknologi yang membuat informasi bisa diakses dengan sangat cepat dan lintas jarak, disandingkan dengan aksi-aksi teror yang terjadi di negara-negara lain, bisa membuat orang dengan paham radikal mempunyai inspirasi model teror untuk dilakukan di Indonesia, apalagi teror-teror yang terjadi saat ini dilakukan dengan alat-alat yang sederhana tetapi mematikan, seperti menggunakan kendaraan.

Radikalisme, dalam hal ini dipertegas dengan gerakan politik untuk mengganti ideologi bangsa, harus ditangani secara komprehensif dengan melibatkan masyarakat sipil Indonesia, pemerintah dari level terendah (desa) hingga pemerintah pusat dengan melibatkan kementrian atau badan negara yang relevan. Penyebaran aliran-aliran atau paham yang tidak tepat, walaupun dengan kemasan agama, harus dideteksi dan dicegah sejak dini. Kementerian Agama bersama dengan lembaga lain seperti Kepolisian, Badan Intelijen Negara dan Pemerintah Daerah harus bersinergi untuk mendeteksi dan mencegah paham radikal menyebar dan masuk ke masyarakat. Strategi kontra radikalisasi, yaitu usaha untuk melawan paham radikal harus dilakukan sebagai benteng terhadap masuknya paham radikal. Salah satu cara melakukan kontra radikalisasi adalah menguatkan rasa nasionalisme dan budaya timur lain seperti gotong royong, tenggang rasa, dan saling menghormati antar pemeluk agama.

Jika paham radikal sudah menyebar, maka deradikalisasi harus segera dilakukan dengan cepat, tanpa menghakimi agama yang dianutnya. Hal ini dilakukan agar tidak menimbulkan salah persepsi bahwa pemerintah memusuhi agama. Deradikalisasi sebaiknya dilakukan dengan bantuan orang yang dipercaya oleh penganut paham radikal. Jika tidak ada orang terdekat seperti keluarga, maka deradikalisasi sebaiknya dilakukan oleh lingkungan terdekat agar orang yang akan dikembalikan pahamnya agar tidak radikal tersebut tetap merasa tidak dimusuhi dan dikucilkan oleh lingkungan terdekatnya. Jika keluarga dan lingkungan aktif bekerja sama mau menerima dan menyadarkan kembali agar orang tersebut tidak radikal, maka proses deradikalisasi akan lebih cepat karena orang tersebut tidak merasa dibuang, diasingkan, atau dimusuhi, tetapi bersama-sama keluarga dan masyarakat diajak untuk kembali tidak radikal.

Pemerintah bersama masyarakat perlu menggalakan perilaku hidup damai, dalam ujaran atau perkataan maupun dalam tindakan. Jika kesadaran hidup damai menjadi keutamaan dalam norma masyarakat maka hal ini bisa menjadi penangkal dari narasi-narasi radikal yang semakin gencar viral secara langsung di masyarakat maupun melalui media. Ketegasan pemerintah selaku penyelenggara negara untuk melakukan pencegahan dan penindakan terhadap penyebar narasi radikal menjadi ujung tombak bagi pencegahan masyarakat terutama generasi muda terkena paham radikal.

*) Stanislaus Riyanta, pengamat terorisme, mahasiswa doktoral Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia

Artikel Terkait