Daerah

KPA Desak Aparat Hentikan Kekerasan dalam Pembangunan Bandara NYIA

Oleh : very - Rabu, 29/11/2017 17:37 WIB

Lokasi pembangunan bandara NYIA, Kulon Progo. (Foto: Tirto.id)

Jakarta, INDONEWS.ID - Konsorsium Pembaruan Agaria (KPA) mendesak aparat untuk menghentikan tindakan sewenang-wenang dan kekerasan terhadap warga yang menolak pembangunan Bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA). Mereka juga menolak pembangunan bandara dengan menggusur warga Kulon Progo.

“Hentikan pembangunan Bandara New Yogyarkarta International Airport (NYIA) sekarang juga. Meminta kepada aparat keamanan untuk menghentikan tindakan kekerasan terhadap warga yang menolak pembangunan bandara,” ujar Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika melalui siaran pers di Jakarta, Rabu (29/11/2017). 

Dewi mengatakan, kekerasan atas nama pembangunan selalu saja terjadi. Ironisnya, masyarakat, yang merupakan subjek pembangunan malah menjadi korban.

“Kekerasan seperti ini selalu berulangkali terjadi, tahun lalu terjadi di Majalengka, tindakan kekerasan aparat terhadap warga yang menolak bandara hingga jatuh korban luka-luka, sekarang terjadi lagi di Kulon Progo. Hak atas tanah warga tidak bisa begitu saja diabaikan, untuk apa pembangunan jika meminggirkan masyarakat bawah,” ujarnya.

Dewi mengisahkan, di tengah guyuran hujan, Desa Palihan didatangi pihak Angkasa Pura (AP) I, PT Pembangun Perumahan (PT-PP), dan PT Surya Karya Setiabudi (PT-SKS), pada 27 November 2017 sekitar pukul 09.00. Mereka dikawal sekitar 400 personel Satpol PP, aparat Kepolisian, Militer, dan beberapa tidak berseragam atau berbaju sipil. Setelah itu aparat bersenjata lengkap laras panjang, gas air mata, dan stik pemukul serta alat berat mulai masuk ke halaman dua rumah warga.

Malam sebelumnya aliran listrik warga diputus, sehingga warga bermalam tanpa penerangan. “Tindakan ini merupakan bentuk represi dan pengangkangan terhadap hak-hak warga negara, mengingat selama ini mereka tetap membayar pajak dan tagihan listrik. Saat ini, listrik yang diputus merembet ke desa lainnya. Sementara terhitung 2/3 desa mati total,” ujar Dewi.

Kedatangan aparat tersebut, katanya, untuk memaksa warga agar mengosongkan tanah dan rumah yang dianggap telah menjadi milik AP I karena sudah dikonsinyasi dan telah ada pemutusan hak atas tanah di pengadilan. Namun warga tetap menolak proyek bandara Kulon Progo dan tidak pernah menyerahkan tanah mereka untuk pembangunan bandara tersebut.

Dewi mengatakan, dari total luas lahan bandara Kulon Progo 587 hektar, proses pengosongan lahan telah mencapai sekitar 70 % atau sekitar 410 ha. Dari awal, proses pembangunan bandara ini bermasalah.

Menurut catatan LBH Yogyakarta, perencanaan dilakukan serampangan tanpa ada Amdal. Padahal proses pembebasan lahan sudah berjalan - masuk tahapan pra-konstruksi.

“Terkesan Pemerintah ingin menguasai lahan terlebih dahulu, lingkungan sosial urusan belakangan dan bisa diakali. Jadi, penyusunan dari pemrakarsa terkesan prosedural semata, tanpa perlu melibatkan, atau persetujuan bahkan keberatan warga,” katanya.

Menurutnya, perlakuan aparat terhadap warga yang menolak penggusuran sangat tidak manusawi. Lihat saja, ibu-ibu diseret. Beberapa warga juga ditangkap dan diborgol dan digiring ke kantor PT. PP untuk “diamankan”. Hal tersebut dilakukan karena warga berusaha menghadang alat berat yang masuk ke area rumah mereka.  

Dewi mengatakan, warga mempertahankan tanahnya karena merupakan lahan subur, tempat hidup mereka bergantung. Selama ini masyarakat hidup sejahtera dari hasil pertanian. Komoditas pertanian seperti cabai, semangka, melon, buah naga dan suyuran mayur mampu memenuhi kebutuhan mereka, bahkan warga di luar Yogyakarta. Lahan yang bakal tergusur itu daerah lumbung pangan.

Karena itu, KPA menyerukan para petani dan gerakan reforma agraria untuk bersatu melawan perampasan tanah yang memakai dalih pembangunan demi kepentingan umum. “Kembalikan hak-hak warga yang selama ini dirampas karena pembangunan bandara NYIA,” pungkas Dewi. (Very)

Artikel Terkait