Pengamat: Tantangan Marsekal Hadi Tjahjanto Sebagai Panglima TNI

Oleh : very - Senin, 04/12/2017 12:44 WIB

Stanislaus Riyanta, analis intelijen, alumnus Pascasarjana Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia, saat ini sedang menempuh studi Doktoral di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia. (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Akhirnya Presiden Joko Widodo mengusulkan Marsekal TNI Hadi Tjahjanto sebagai calon Panglima TNI yang akan menggantikan Jendral TNI Gatot Nurmantyo. Secara regulasi Gatot Nurmantyo akan memasuki usia pensiun pada Maret 2018.

Dipilihnya Hadi Tjahjanto untuk menjadi Panglima TNI akan membawa beberapa implikasi dan tantangan terutama melihat dinamika Indonesia yang memasuki tahun politik pada 2018 – 2019.

Pengamat intelijen, alumnus Pascasarjana Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia Stanislaus Riyanta mengatakan, dipilihnya Hadi Tjahjanto yang berasal dari TNI-AU menunjukkan Presiden menjalankan pasal 13 ayat (4) UU TNI yang menyebutkan bahwa jabatan Panglima TNI dapat dipegang secara bergantian oleh perwira tinggi aktif dari tiap-tiap angkatan.

“Seperti diketahui Panglima TNI saat ini Gatot Nurmantyo berasal dari matra darat, dan calon pengganti yang diusulkan Hadi Tjahjanto berasal dari angkatan udara,” ujarnya di Jakarta, Senin (4/12/2017).

Mahasiswa Doktoral Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia ini mengatakan, Hadi Tjanjanto menghadapi tugas dan tantangan yang cukup berat.

Pertama, harus mampu menjalankan konsilidasi TNI. Walaupun semua prajurit TNI apapun matra pasti akan taat dan loyal kepada panglimanya, namun memimpin TNI yang sebagian besar anggotanya berasal dari matra yang berbeda akan membutuhkan kecakapan dan seni tersendiri.

“Dengan diusulkannya Hadi Tjahjanto oleh Presiden ke DPR maka Presiden sudah mempunyai penilaian tersendiri bahwa Hadi Tjahjanto akan mampu menjalankan konsilidasi TNI dengan baik,” ujarnya.

Tantangan berikutnya, kata Stanislaus, adalah meningkatkan hubungan baik dengan Polri dan BIN. Dinamika politik di Indonesia sering kali memunculkan situasi tertentu yang membuat TNI berbeda pendapat dengan lembaga negara lain. Contoh nyata adalah kasus pengadaan senjata oleh Polri yang akhirnya menjadi polemik di masyarakat.

Dengan hubungan yang baik dengan lembaga lain maka diharapkan Hadi Tjanjanto dapat mengurangi ketegangan dan polemik di masyarakat yang dapat dimanfaatkan sebagai celah bagi kelompok tertentu untuk melemahkan pertahanan dan keamanan di Indonesia.

Indonesia memasuki tahun politik pada 2018-2019, dimana pada saat itu akan dilakukan pilkada serentak dan pilpres. Situasi ini, menurut Stanislaus, butuh penanganan yang serius terutama untuk tetap menjaga agar situasi negara tetap aman dan kondusif.

“Peran TNI untuk membantu Polri menciptakan situasi yang aman dan kondusif mutlak diperlukan. Hal ini dapat dilakukan jika TNI tetap netral dalam pilkada dan pilpres serta berada dalam satu komando Panglima TNI. Netralitas ini sangat penting untuk menjaga situasi tetap kondusif dan menghindari adanya klaim atau pengakuan kelompok tertentu yang merasa dekat dan mendapat back up dari TNI,” ujarnya.

Hadi Tjanjanto, kata Stanislaus, saat ini masih bebas dari kepentingan politik praktis, minimal hal tersebut dapat meyakinkan publik bahwa calon Panglima TNI yang baru bebas dari kepentingan politik praktis atau lebih tegasnya tidak ada keberpihakan terhadap partai atau ormas tertentu. Kepemimpinan yang netral dari Panglima TNI sangat diperlukan dalam dinamina politik Indonesia terutama menuju tingkat demokrasi yang lebih baik.

Tugas Hadi Tjanjanto nanti jika sudah menjabat Panglima TNI sangat berat. Berbagai ancaman terhadap negara seperti radikalisme, teroriisme, separatisme, gangguan di perbatasan, dan ancaman negara lainnya yang berpotensi menggagu pertahanan harus dideteksi dan dicegah sejak dini.

Kunci untuk menghadapi tantangan tersebut, kata Stanislaus, adalah menjaga TNI tetap profesional, netral, dan mampu melakukan konsilidasi internal serta menjaga hubungan harmonis dengan lembaga negara lain.

“Tentu saja semua dilakukan dalam koridor menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berideologi Pancasila, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika,” pungkasnya. (Very)

Artikel Terkait