Nasional

Peran APIP dalam Pemberantasan Korupsi Sektor Publik

Oleh : indonews - Minggu, 10/12/2017 21:01 WIB

Paramita Nur Kurniati, mahasiswa Pascasarjana Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia. (Foto: Ist)

Oleh: Paramita Nur Kurniati

KORUPSI merupakan salah satu masalah terbesar yang dihadapi oleh Pemerintah Indonesia saat ini. Lubis (2005) dalam Kurniawan (2009) berpendapat bahwa korupsi di Indonesia dianggap sebagai tindakan yang sifatnya endemic, systemic, dan widespread. Dampak tindak pidana korupsi yang terjadi secara meluas sangat merugikan keuangan atau perekonomian negara. Korupsi juga dapat menghambat pembangunan nasional bahkan lebih jauh korupsi merupakan pelanggaran  terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas.

Menurut Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang termasuk di dalam tindakan korupsi adalah tindakan yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara.

Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ada 5 (lima) titik rawan korupsi yaitu (1) perencanaan dan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), (2) pengadaan barang dan jasa, (3) lemahnya pengawasan, (4) manajemen SDM, dan (5) perizinan atau pelayanan publik.

Terkait penyelewengan dana APBD, hasil kajian “Tren Penanganan Kasus Korupsi tahun 2016” yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan bahwa fenomena korupsi di daerah kian meluas setelah pemerintah pusat mengimplementasikan alokasi dana desa sejak tahun 2015. Besarnya alokasi belanja Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) yang digelontorkan menimbulkan potensi dan kekhawatiran terjadinya penyelewengan penggunaan anggaran ini.

Salah satu penyebab korupsi adalah lemahnya sistem pengawasan intern instansi pemerintah. Hal ini semakin diperparah dengan banyaknya kasus korupsi yang menjerat Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP).“Immune system” theory mengibaratan korupsi sebagai “virus” dan sistem pengawasan intern sebagai “immune system”. Teori ini menyatakan bahwa sistem pengawasan intern harus peka terhadap semua risiko dan “virus” yang dapat menghambat pembangunan ekonomi dan sosial suatu negara. Teori tersebut juga menekankan pada peran pencegahan dan restorasi daripada deteksi penyimpangan. Salah satu upaya pencegahan dan restorasi penyimpangan adalah dengan adanya identifikasi, analisis, dan membantu memitigasi risiko.

Aparat pengawasan harus dianggap sebagai mitra kerja dari manajemen instansi pemerintah. Tujuan keberadaan aparat pengawasan adalah untuk memberikan keyakinan yang memadai bagi tercapainya efektivitas dan efisiensi pencapaian tujuan penyelenggaraan pemerintahan negara, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan.      

Pada tahun 2016, total dana desa yang digelontorkan sekitar Rp47 triliun. Namun dalam praktiknya, muncul fenomena elit lokal yang memanipulasi anggaran untuk kepentingan pribadi, terutama elit lokal di tingkat desa. Terbukti selama tahun 2016, dana desa masuk dalam lima besar sektor yang rawan untuk dikorupsi. Salah satu kasus korupsi penyalahgunaan dana desa adalah Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan KPK di Pamekasan, Jawa Timur. Uang suap senilai Rp 250 juta diberikan dari Kepala Desa Dassok Agus Mulyadi kepada Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Pamekasan Rudy Indra Prasetya. Suap itu diberikan agar Kejari Pamekasan tidak menindaklanjuti pelaporan sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) kepada Kejari Pamekasan terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi pengadaan di Desa Dassok yang menggunakan Dana Desa senilai Rp 100 juta.

Atas kasus tersebut,  KPK menetapkan 5 tersangka, yaitu pejabat yang diberikan kewenangan mengelola Dana Desa Bupati Pamekasan Achmad Syafii dan Kepala Desa Dassok bernama Agus, serta pejabat yang bertugas mengawasi penggunaan Dana Desa yaitu Kepala Inspektorat Pamekasan Sutjipto Utomo dan Kepala Bagian Administrasi Inspektur Pamekasan Noer Solehhoddin, serta Kajari Pamekasan Rudy Indra Prasetya. Agus diduga sebagai pemberi suap, sedangkan Sutjipto dan Noer diduga sebagai perantara suap. Adapun Rudy sebagai penerima suap. Sedangkan peran Achmad dalam kasus tersebut menganjurkan untuk memberikan suap. 

Meskipun nilai kerugian negara cenderung kecil dibandingkan belanja TKDD yang diberikan oleh pemerintah, akan tetapi hal itu menjadi sinyal bahwa korupsi sudah semakin meluas hingga tingkat daerah/desa. Artinya, masalah korupsi yang selama ini kerap dipandang sebagai isu elitis, kini telah menjadi bagian dari realitas di masyarakat tingkat daerah/desa. Dengan anggaran yang cukup besar, anggaran daerah rawan dimanipulasi oleh elit lokal. Ironisnya, praktik korupsi yang terjadi berlindung di balik konsep partisipasi.

Dari kasus di atas, dapat dilihat lemahnya mekanisme pengawasan keuangan daerah. Terlebih Kepala Inspektorat Pamekasan dan Kabag Administrasi Inspektur Pamekasan yang merupakan pejabat yang mempunyai tugas pokok dan fungsi melaksanakan pengawasan keuangan daerah atau sebagai Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), menjadi salah satu aktor dalam kasus korupsi tersebut.

Kasus lain yang menciduk APIP sebagai salah aktor yang korupsi, pada tahun 2016, Tim Penyidik Kejaksaan Negeri Mejayan menetapkan Kepala Inspektorat Kabupaten Madiun Benny Adiwijaya sebagai tersangka dengan kasus penggunaan anggaran belanja rutin tidak sesuai dengan peruntukannya. Tersangka diduga menggunakan banyak anggaran untuk piknik ke Bali hingga bagi-bagi uang Tunjangan Hari Raya bagi pegawainya. Akibat perbuatan tersebut, diduga negara dirugikan senilai Rp2 miliar.

Masih dalam tahun yang sama, terungkap juga kasus korupsi di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau atas penyertaan modal Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) PT Bumi Laksamana Jaya (BLJ). Pada kasus tersebut, Kejaksaan Agung melakukan penahanan terhadap Sekretaris Daerah Kabupaten Bengkalis Burhanuddin dan Kepala Inspektorat Kabupaten Bengkalis Mukhlis. Keduanya dijerat sebagai tersangka karena dianggap menggelapkan dana untuk proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap dan Gas, padahal tidak pernah terlaksana. Peran Mukhlis dan Burhanuddin sebagai pihak yang menyetujui adanya anggaran tersebut. Padahal, pengeluaran itu tidak dipakai sebagaimana peruntukannya. Atas kasus ini besarnya kerugian negara dinilai sebesar Rp 265 miliar.

Kemudian pada bulan Mei tahun ini, di tingkat Kementerian Pusat, juga terjadi pada kasus suap pada pemberian opini audit Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) di Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT). KPK menetapkan 4 (empat) orang tersangka dalam kasus ini yaitu Sugito (Inspektur Jenderal Kemendes PDTT), Jarot Budi Prabowo (Kepala Bagian Tata Usaha dan Keuangan Itjen Kemendes PDTT), Rochmadi Saptogiri (Auditor Utama Badan Pemeriksa Keuangan), dan Ali Sadli (Kepala Sub Auditorat III Auditorat Keuangan Negara). Sugito didakwa memberikan uang suap senilai Rp 240 juta melalui Jarot Budi dan Ali Sadli sebagai perantara penerima kepada Rochmadi Saptogiri. Suap tersebut diduga untuk menutupi temuan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Kemendes pada 2015 dan Semester I 2016, sebesar Rp 550 miliar.

APIP adalah Instansi Pemerintah yang mempunyai tugas pokok dan fungsi melakukan pengawasan, dan terdiri atas: Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang bertanggung jawab kepada Presiden; Inspektorat Jenderal (Itjen)/Inspektorat Utama (Ittama)/Inspektorat yang bertanggung jawab kepada Menteri/Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND); Inspektorat Pemerintah Provinsi yang bertanggung jawab kepada Gubernur, dan; Inspektorat Pemerintah Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota.

Pemberantasan korupsi di Indonesia harus dilakukan secara menyeluruh. Dari dalam organisasi, Pimpinan Instansi Pemerintah harus memberikan teladan yang baik dalam membangun budaya kerja yang bersih. Seluruh pegawai juga harus mendukung upaya pemberantasan korupsi.

Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) dan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) memegang peranan penting dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi (tipikor). APIP bertujuan untuk memberikan keyakinan yang memadai bagi tercapainya efektivitas dan efisiensi pencapaian tujuan penyelenggaraan pemerintahan negara, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan.

Perwujudan peran APIP yang efektif sekurang-kurangnya harus: (a) memberikan keyakinan yang memadai atas ketaatan, kehematan, efisiensi, dan efektivitas pencapaian tujuan penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah; (b) memberikan peringatan dini dan meningkatkan efektivitas manajemen risiko dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah; dan (c) memelihara dan meningkatkan kualitas tata kelola penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah. SPIP dan APIP seharusnya menjadi "immune system" yang kuat yang dapat mendeteksi, menolak dan menyingkirkan virus korupsi atau penyimpangan. Jika SPIP dan APIP berjalan dengan baik dan sesuai tujuan maka diharapkan korupsi di sektor publik dapat diberantas, sebaliknya jika SPIP dan API tidak berjalan semestinya atau bahkan mejadi pelaku korupsi, maka korupsi justru akan semakin marak dan bebas terjadi. (*)

 

*) Paramita Nur Kurniati, mahasiwa Pascasarjana Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia.

 

Artikel Terkait