Nasional

Pengamat Intelijen: Unjuk Rasa Anti AS Picu Kebangkitan Sel Tidur Kelompok Radikal

Oleh : very - Senin, 11/12/2017 09:27 WIB

Demonstrasi menentang kebijakan Presiden AS Donald Trump di depan Kedubes AS. (Foto: Tribunnews.com)

Jakarta, INDONEWS.ID - Pidato Donald Trump di Gedung Putih (6/12/2017) tentang pengakuan Yerusalem menjadi Ibu Kota Israel memicu berbagai masalah. Pengakuan ini disertai dengan rencana pemindahan kantor Kedutaan Amerika Serikat dari Tel Aviv ke Yerusalem.

Keputusan Trump ini semakin memperburuk hubungan Israel-Palestina. Berbagai reaksi seperti unjuk rasa terjadi di banyak negara menentang keputusan Amerika ini. 

Presiden Joko Widodo, berbagai ormas, elit partai politik dan elemen masyarakat kompak menentang pengakuan sepihak Amerika Serikat terhadap Yerusalem sebagai Ibukota Israel tersebut. Presiden Joko Widodo dan Menteri Luar Negeri Indonesia mengecam keras keputusan Trump. Berbagai elemen masyarakat melakukan unjuk rasa langsung di sekitar kantor Kedutaan Amerika Serikat. 

Pengamat intelijen Stanislaus Riyanta mengatakan, manuver Trump terkait Yerusalem ini memicu sentimen negatif terhadap Amerika.

“Permasalahan perebutan wilayah yang terjadi antara Israel dengan Palestina yang menjadi perhatian internasional, bisa berkembang menjadi permasalahan lain, termasuk di Indonesia. Isu terkait Palestina di Indonesia tidak dipahami sebagai konflik perebutan wilayah namun oleh pihak tertentu dianggap sebagai konflik agama,” ujarnya di Jakarta, Senin (11/12/2017). 

Stanislaus mengatakan, jika hal ini dibiarkan dan tidak ada penjelasan yang lebih rinci dan mampu dipahami oleh masyarakat luas, maka manuver Trump ini bisa berdampak pada stabilitas di Indonesia.

“Isu Palestina bisa menjadi jalan atau kesempatan bagi kelompok tertentu tampil menyuarakan kepentingannya. Hal ini juga bisa menjadi legitimasi bagi pihak-pihak tertentu untuk melakukan aksi kekerasan dengan dalih untuk membela Palestina dan sebagai bentuk sikap anti Amerika dan Israel,” ujar mahasiswa Doktoral Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia ini.

Selain itu, kata Stanislaus, unjuk rasa tersebut juga bisa memicu kebangkitan sel tidur kelompok radikal. “Simpati terhadap Palestina bisa memunculkan kembali niat untuk melakukan aksi kekerasan terhadap simbol-simbol Amerika yang sebelumnya pernah terjadi di Indonesia. Walaupun dalam beberapa aksi teror terakhir, bukan lagi simbol Amerika tetapi justru Polri yang menjadi sasaran,” ujarnya.

Stanislaus mengatakan, sikap satu suara pemerintah dalam menentang kebijakan Trump sudah sangat tepat. Namun sikap dan pernyataan pemerintah ini perlu disebarluaskan dan dikomunikasikan kepada masyarakat secara lebih masif. Hal ini untuk mencegah asumsi dari kelompok tertentu yang menganggap pemerintah berdiam diri atau bahkan mendukung Amerika.

“Jangan sampai terjadi aksi kontraproduktif antar masyarakat Indonesia sebagai dampak dari perbedaan pendapat terkait isu Palestina,” ujarnya. 

Indonesia juga diharapkan mampu berperan lebih strategis pada tingkat regional dan global untuk menggalang kekuatan internasional terkait isu Palestina. Kekuatan Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim yang sangat besar tentu menjadi pertimbangan bagi negara-negara lain untuk bersikap atas nasib Palestina.

“Langkah-langkah strategis diplomatif lebih efektif dan bermanfaat bagi penyelesaian konflik di Palestina daripada aksi-aksi jalanan yang justru bisa merugikan bangsa sendiri,” pungkasnya.

Artikel Terkait