Nasional

Stop Isu SARA dalam Berpolitik

Oleh : very - Selasa, 19/12/2017 09:15 WIB

Stanislaus Riyanta, analis intelijen, alumnus Pascasarjana Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia, saat ini sedang menempuh studi Doktoral di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia. (Foto: Ist)

Oleh : Stanislaus Riyanta*)

INDONESIA memasuki tahun politik pada 2018-2019. Pada 2018 akan diselenggarakan pilkada serentak untuk 171 daerah, disusul selanjutnya pada 2019 akan dilakukan pemilu untuk menentuka Presiden 2019-2024. Beberapa kekhawatiran terkait tahun politik tersebut muncul di masyarakat terutama dampak-dampak negatif dari dinamika politik yang bisa merugikan prinsip kebhinekaan Indonesia.

Pilkada DKI Jakarta menjadi pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia. Isu SARA yang muncul sangat kuat sehingga menciptakan polarisasi di masyarakat. Tenun kebhinekaan yang terajut kuat menjadi renggang bahkan terkoyak oleh pisau provokasi yang berbungkus SARA. Walaupun Pilkada telah selesai namun rajutan yang telah koyak tersebut akan sulit dieratkan kembali tanpa kepercayaan dari semua pihak.

Penanganan yang serius terhadap tahun politik yang akan dihadapi Indonesia perlu dilakukan agar isu-isu SARA dalam berpolitik dapat dicegah sejak dini. Kesadaran masyarakat untuk menggunakan cara-cara yang beretika dan mengedepankan prinsip-prinsip kebangsaan yang berorientasi pada eksistensi NKRI harus dipupuk supaya mengakar kuat.

Isu SARA digunakan dalam berpolitik karena isu ini sangat mudah digunakan untuk menggalang dan mengumpulkan massa. Identitas SARA yang melekat pada masing-masing individu membuat orang mudah terpanggil untuk melakukan aksi untuk kepentingan identitasnya. Panggilan atas dasar identitas SARA ini cukup berbahaya karena menjadi pemicu konflik yang sangat efektif.

Beberapa konflik besar pernah terjadi di Indonesia karena isu SARA. Pada 1998 konflik SARA terjadi di Indonesia yang dipicu oleh tuntutan untuk melakukan reformasi terhadap orde baru. Tahun 1999 konflik SARA juga terjadi di Ambon. Pertikaian antara kubu yang berbeda agama tersebut menimbulkan korban jiwa yang tidak sedikiti. Pemulihan yang dilakukan memerlukan waktu lama, walaupun pada dasarnya masyarakat berbeda kubu pada konflik di Ambon tidak sedikit yang mempunyai hubungan keluarga. Konflik SARA yang lebih mengerikan terjadi pada 2001 di Sampit. Pertikaian yang terjadi mengakibatkan korban jiwa cukup besar antara suku Madura dan Dayak. Bahkan jika mau jujur diakui, konflik di Sampit masih terasa dampaknya hingga saat ini.

Sebagai warga negara yang baik, tidak ada yang menginginkan konflik terjadi lagi di Indonesia. Namun banyak orang yang, secara sadar atau tidak, justru melakukan hal-hal yang memicu konflik SARA, terutama dalam dinamika politik. Narasi-narasi yang mengandung konten SARA disebarkan melalui media sosial secara masif. Media sosial yang semakin terbuka dan terjangkau oleh semua kalangan menyebarkan konten-konten tersebut secara cepat. Pengguna media sosial yang beragam, dengan mudah akan terpengaruh oleh konten tersebut terutama jika berasal dari user yang merupakan orang yang dikenal, orang berpengaruh, elit politik, atau public figure.

Kemajuan teknologi memudahkan orang untuk saling bertukar informasi namun juga memudahkan orang untuk melakukan hal negatif seperti propaganda dan agitasi terhadap pihak tertentu. Pilkada DKI menjadi contoh situasi yang tidak kondusif, panas dan terpolarisasi karena dipicu oleh konten SARA yang beredar di media sosial.

Penggunaan isu SARA di media sosial harus dihentikan, apalagi jika untuk kepentingan politik. Dinamika politik sebagai proses untuk menghasilkan pemerintahan seharusnya mengutamakan konten-konten profesionalisme dan tujuan eksistensi negara. Jika isu SARA yang digunakan untuk mementingkan kontestasi politik maka pihak lain yang berbeda identitas SARA akan cenderung resisten, karena pemenang yang terjadi bukan bagian dari identitasnya. Berbeda jika isu yang digunakan adalah kinerja atau eksistensi negera, siapapun pemenangnya akan tetap diterima karena satu kesatuan tujuan.

Menggunakan isu SARA pada sektor politik adalah hal yang tidak terpuji dan harus dicegah. Perlu perhatian dari semua pihak terutama pemuka agama dan tokoh-tokoh masyarakat untuk bersepakat mencegah dan menangani jika hal ini terjadi. Pemerintah selaku penyelenggara negara harus tegas. Jika terjadi kegiatan politik yang menggunakan isu SARA harus dilakukan tindakan yang cepat dan tepat untuk mencegah dampak negatif terjadi.

Kesadaran untuk hidup dalam satu negara yang berbhineka tunggal ika dan dalam satu kesatuan negara Indonesia harus dimiliki oleh seluruh warga. Jika kepentingan individu atau kelompok masih dominan maka cara-cara dengan isu SARA inilah yang akan dipakai. Demi tujuan eksistensi negara maka tidak ada jalan lain, isu SARA dalam berpolitik harus dihentikan.

*) Stanislaus Riyanta, pengamat intelijen, sedang menempuh studi Doktoral di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia

 

Artikel Terkait