Nasional

Lompatan Logika MK Dalam Putusan Ambang Batas Pencalonan Presiden

Oleh : very - Jum'at, 12/01/2018 13:12 WIB

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil. (Foto: Kompas.com)

Jakarta, INDONEWS.ID - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak judicial review terhadap ambang batas pencalonan presiden yang diajukan pemohon. MK menyatakan bahwa ambang batas pencalonan presiden yaitu sebesar 20 persen kursi atau 25 persen suara perolehan partai secara nasional, tidak bertentangan dengan UUD 1945, atau konstitusional.   

Peneliti Perhimpunan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil mengatakan, melalui keputusan itu, MK telah gagal melindungi konstitusionalitas pencalonan presiden.

Ada beberapa catatan penting Perludem menyikapi putusan MK, khususnya terkait pertimbangan dan pemaknaan MK terhadap Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI 1945.

Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI 1945 menyebutkan bahwa “Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diajukan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”.

Fadli mengatakan, ayat tersebut sangat mudah dipahami yakni konstitusi telah mengunci dan mengatur secara jelas dan tegas bahwa yang berhak mengajukan pasangan calon presiden adalah setiap partai politik yang sudah ditetapkan oleh peserta pemilihan umum.

Namun frasa “atau gabungan partai politik” bersifat alternatif, yaitu boleh dilakukan partai, tetapi juga tidak wajib dilakukan.

“Ada derajat yang berbeda antara frasa ‘pasangan calon presiden dan wakil presiden diajukan oleh partai politik peserta pemilihan umum’ dengan ‘atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum’,” ujarnya. 

Frasa pertama, katanya, dijamin oleh konstitusi untuk dilaksanakan. Namun, perihal partai ingin bergabung atau membentuk koalisi dengan partai politik dalam mengusung pasangan calon presiden, merupakan pilihan bagi partai politik. Hal ini yang dijelaskan di dalam frasa kedua.

“Mahasiswa hukum tingkat pertama pun akan dengan sangat mudah memahami ini. Bahkan, orang yang tidak belajar hukum sekalipun bisa dengan sangat mudah menjelaskan makna Pasal 6A Ayat (2) UU NRI ini,” ujarnya menyindir.

Fadli mengatakan, dalam pertimbangannya terkait Pasal 6A Ayat (2) UUD NKRI 1945, yang terdapat dalam poin [3.14] halaman 124-125, MK mengalami lompatan logika yang sangat tidak tepat. MK, katanya, secara tiba-tiba memaknai Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI 1945 sebagai constitutional engineering, yang mendorong partai-partai yang memiliki platform, visi atau ideologi yang sama atau serupa untuk berkoalisi dalam mencalonkan presiden dan wakil presiden sebagai jabatan eksekutif puncak dalam presidensial.

“Ini lompatan logika yang sangat tidak tepat. MK tidak memperhatikan dan mempertimbangkan frasa yang menjadi kunci di dalam Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI 1945, yakni ‘pasangan calon presiden diajukan oleh partai politik peserta pemilihan umum’. Padahal ini hal prinsipil sebagai hak partai politik peserta pemilihan umum untuk mencalonkan presiden,” ujarnya.

MK, kata Fadli, justru fokus ke frasa “gabungan partai politik” yang merupakan norma alternatif yang tidak bisa dipaksakan kepada partai politik.

“Hakim MK yang notabene adalah negarawan yang paham hukum dan konstitusi, bergelar professor dan doktor, pastinya mahfum terhadap hal ini. Tak perlu ragukan itu. Namun, entah mengapa, lompatan logika MK ke constitutional engineering untuk penguatan sistem presidensial tiba-tiba muncul. Sesuatu yang tak disebutkan eksplisit di dalam konstitusi,” katanya.

Argumentasi MK terkait penguatan sistem presidensil dengan membentuk pencalonan presiden, kata Fadli, tidak ada hubungannya dalam teori ilmu politik. Karena, presiden dalam sistem pemerintahan di Indonesia sudah memiliki posisi dan kewenangan yang kuat, apalagi dengan dipilih langsung oleh rakyat melalui proses pemilihan langsung.

Fadli menjelaskan, hal tersebut sama halnya dengan DPR. Setiap anggota DPR adalah orang yang dipilih langsung oleh rakyat, dan karena itu memiliki mandat yang sama. Menurut Fadli, desain pendistribusian kewenanganlah yang menjadi penyeimbang, agar terbentuk cheks and balances antar organ kekuasaan negara. Namun, Fadli menyayangkan karena hal tersebut tidak dipertimbangkan mendalam dan dijelaskan dalam putusan MK, ketika ingin bicara tentang penguatan sistem presidensil.

Dalam putusannya, katanya, MK juga tidak konsisten dalam menafsirkan makna sistem presidensil. Dalam pertimbangannya MK sudah menyebutkan bahwa presiden dan DPR memiliki kewenangannya masing-masing. Untuk itulah sudah seharusnya pemilihan di antara keduanya tidak saling mempengaruhi, karena masing-masing memiliki mandat yang berbeda.

Hal ini berbeda dengan sistem parlementer yaitu pemenang pemilu legislatif yang membentuk pemerintahan eksekutif. “Semakin aneh ketika hasil pemilu DPR pada pemilu sebelumnya lah (Pemilu 2014) yang menentukan pencalonan presiden 2019,” kata Fadli. 

Namun, kata Fadli, putusan MK itu harus dihormati. “Tetapi, sebagai sebuah putusan yang terbuka untuk umum dan berdampak kepada orang banyak, putusan ini tentu sangat terbuka untuk didiskusikan, dikritik, guna melihat sudut pandang yang jauh lebih mendalam secara keilmuan dan akademik,” pungkasnya. (Very)

Artikel Terkait