Bisnis

Penggabungan PGN ke Pertamina Dinilai Banyak Munculkan Masalah

Oleh : very - Jum'at, 26/01/2018 13:59 WIB

PGN resmi tidak berstatus BUMN. (Foto: Ilustrasi)

 

Jakarta, INDONEWS.ID - Hingga september 2017 total aset Perusahaan Gas Negara (PGN) mencapai USD6.307.676.412 atau setara Rp83.892.096.279.600 (kurs Rupiah Rp 13.300). Bahkan PGN setiap tahunnya bisa mengukuhkan pendapatan rata-rata sebesar USD2.164.763.461 atau setara Rp28.791.354.031.300 (kurs Rupiah Rp 13.300).

Meskipun sama-sama berada di sektor bisnis transmisi dan distribusi atau niaga Gas, dari segi pendapatan antara PGN dan Pertamina Gas bak langit dan bumi. Ini dapat dilihat dari pendapatan masing-masing di tahun 2016, PGN bisa memperoleh pendapatan sebesar USD2.934.778.710 atau setara Rp38.152.123.230.000. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan pendapatan Pertamina Gas yang hanya USD668.680.000. Atau setara Rp8.692.840.000.000. (kurs Rupiah 13.000)

Bahkan untuk Pertamina selaku induk usaha Pertagas hingga Desember 2017 memiliki tanggungan utang sebesar Rp 153,7 triliun. Dari kondisi ini, dapat terlihat secara keuangan PGN cukup stabil dan sehat, sedangkan Pertamina dalam kondisi yang kritis. 

Di tengah kondisi seperti itu, pemerintah mengalihkan sahamnya di PGN ke Pertamina. Dengan itu, Pertamina resmi menjadi induk usaha holding BUMN migas yang membawahi PGN. Sementara PT Pertagas, anak usaha Pertamina, kepemilikannya dialihkan ke PGN.

Terkait upaya menteri BUMN untuk melakukan merger PGN dengan Pertamina Gas, Center for Budget Analysis (CBA) menilai kebijakan tersebut  tidak lain dari upaya Pertamina “merampok” PGN dalam Pertagas. 

“Penggabungan PGN dengan Pertamina Gas, jelas harus ditolak. Karena selain sarat akan kepentingan,  masih banyak sekali kelemahan. Seperti dari segi regulasi, hingga saat ini RUU migas yang sudah diajukan DPR sejak 3 tahun lalu belum juga jadi, padahal setiap tahunnya selalu dijadikan RUU prioritas, ujar Koordinator Investigasi Center for Budget Analysis, Jajang Nurjaman, di Jakarta, Jumat (26/1/2018).

Jajang mengatakan, dari sisi pengelolaan keuangan, dengan dijadikannya PGN sebagai bagian dari Pertamina (anak usaha) publik bahkan pemerintah dalam hal ini (DPR, BPK, atau KPK) tidak lagi leluasa mengawasi PGN. Perusahaan ini akan sama halnya dengan anak-anak usaha BUMN lainnya seperti Pertagas yang tertutup, banyak masalah, dan ladang subur bagi mafia minyak. 

“Ambisi menteri Rini Soemarno yang begitu menggebu-gebu untuk menggabungkan kedua perusahaan, terselip udang di balik batu,” ujarnya.

Sebagai catatan dengan dilakukannya penggabungan atau merger dua perusahaan Gas juga bisa menimbulkan monopoli usaha karena tidak ada lagi persaingan usaha dan pengguna dalam hal ini masyarakat tidak ada pilihan harga gas yang berbeda lagi.

“Jika seperti ini sudah jelas, kebijakan marger PGN dengan Pertagas hanya menguntungkan kelompok tertentu dan bisa menyengsarakan rakyat, oleh karena itu publik harus tegas menolak,” pungkasnya. (Very)


Artikel Terkait