Nasional

AS Hikam Minta Zulkifli Hasan Tidak Berpikir Pragmatis Soal Pejabat Korupsi dan Kecilnya Gaji

Oleh : very - Jum'at, 02/02/2018 15:33 WIB

Pengamat politik dari President University AS Hikam. (Foto: channel indonesia)

Jakarta, INDONEWS.ID - Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan, menanggapi status tersangka yang kini disandang gubernur Jambi, Zumi Zola.

Zumi Zola yang merupakan politikus PAN itu telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas kasus dugaan korupsi Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (RAPBD) Provinsi Jambi tahun 2018.

Zulkifli Hasan mengaku kaget dan tidak menyangka kadernya itu ditetapkan tersangka. Padahal selama ini dia mengenal ‎Zumi sebagai pribadi yang baik.

Zulkifli lalu berspekulasi tentang banyaknya pejabat daerah yang ditangkap karena terlibat korupsi, termasuk kader PAN, Zumi Zola. Menurutnya, hal itu bisa terjadi karena gaji kepala daerah sangat kecil. Dia menyebutkan, gaji kepala daerah hanya sebesar Rp 6.6 juta. Padahal untuk maju di pilkada, seseorang membutuhkan modal yang sangat besar.

“Gaji gubernur itu sangat kecil. Padahal kan tahu jadi bupati itu bagaimana, bikin spanduk, bikin iklan, bayar saksi,” katanya.

Oleh sebab itu Zulkifli memandang perlu adanya perbaikan mekanisme pemilihan kepala daerah di Indonesia. Jangan sampai kepala daerah terus-terusan terkena kasus korupsi karena ingin balik modal.

“Jadi kalau seperti itu terus habis orang-orang baik di tanah air,” katanya.

Pengamat politik dari President University AS Hikam mempertanyakan argumentasi Ketua Umum PAN tersebut. “Benarkah banyaknya pejabat daerah terjerat kasus tipikor karena gaji mereka terlalu kecil? Kalau asumsi itu benar, solusinya mudah, jangan mau jadi pejabat. Siapa suruh mereka jadi pejabat kalau motivasi utamanya adalah besarnya gaji?,” ujarnya melalui pesan pribadi, di Jakarta, Jumat (2/1/2018).

Menteri Negara Riset dan Teknologi pada Kabinet Persatuan Nasional era Gus Dur ini mengatakan, pernyataan Ketua MPR Zulkifli Hasan bahwa diperlukan mekanisme pilkada yang tidak terlalu mahal, memang bagus dan perlu didukung. Namun, menurut Hikam, alasannya bukan supaya para pejabat yang terpilih itu bisa cepat kembali modal setelah memerintah.

“Pilkada tidak boleh jadi alat politik transaksional, tetapi agar membuka kesempatan bagi putra-putri bangsa yang terbaik menjadi pemimpin,” ujarnya.

Doktor alumnus Universitas Hawaii di Manoa ini mengatakan, motivasi utama menjadi pejabat dan atau politisi seharusnya lebih karena vocation, atau panggilan jiwa untuk membangun kehidupan publik, bukan hanya occupation alias bekerja mencari uang semata, apalagi motif mengejar kekuasaan dan popularitas.

“Uang dan modal dan modal sangat penting untuk para calon pejabat, tetapi lebih penting lagi adalah motivasi pribadi untuk mengabdi kepada kepentingan publik, bangsa dan negara,” ujarnya.

Karena itu, kata Hikam, partai politik seharusnya menggunkan kriteria itu ketika menjaring calon-calon pejabat. Selain popularitas dan keturunan, yang harus menjadi pertimbangan dalam penjaringan adalah kualitas dan kapasitas pendidikan dan pengalaman sang calon sebagai pemimpin.

Alumnus Universitas Gadjah Mada (UGM) ini mengatakan, Zulkifli Hasan pastinya paham dengan landasan normatif seseorang menjadi pejabat. “Karenanya, bagi saya, agak aneh kalau yang dianggap beliau sebagai dasar dari maraknya korupsi para pejabat daerah adalah mahalnya biaya nyalon dan kecilnya gaji pebajat daerah! Berhenti pandangan pragmatis dan orientasi occupation lebih dipentingkan ketimbang vocation dan pengabdian kepada publik,” pungkasnya.

Data terakhir menyebutkan, sudah ada 30 gubernur dan lebih dari 300 bupati yang terjerat kasus korupsi. (Very)

Artikel Terkait