Nasional

Menteri Agama Berpesan Revisi Alkitab Harus Jaga Konteks Keindonesiaan

Oleh : very - Kamis, 08/02/2018 11:14 WIB

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin membuka acara Konsultasi Nasional Revisi Alkitab Terjemahan Baru (Konas TB 2) Lembaga Alkitab Indonesia di Bogor, Rabu (07/02). (Foto: Ist)

 

Bogor, INDONEWS.ID - Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin membuka acara Konsultasi Nasional Revisi Alkitab Terjemahan Baru  (Konas TB 2) Lembaga Alkitab Indonesia di Bogor, Rabu (07/02). Hadir mendampingi Menag, Dirjen Bimas Kristen Thomas Pentury, Dirjen Bimas Katolik Eusabius Binsasi.

Menag dalam sambutannya menyampaikan apresiasi kepada seluruh pihak yang senantiasa menjaga dan memelihara Alkitab sebagai panduan umat Kristiani dalam menjalankan agamanya. Sesungguhnya yang kita perbaharui adalah terjemahannya, bukan firman Tuhan, itu yang sering memicu kesalahpahaman di kalangan umat.

“Firman Tuhan itu tidak mungkin kita ubah, yang kita ubah adalah cara pandang kita terhadap teks-teks kitab suci,” ujarnya.

Menag menitipkan dua hal terkait upaya melakukan revisi Alkitab ini. Menurutnya, bahasa memang mengalami perkembangannya karena merupakan manifestasi pikiran dan pengalaman manusia dalam berinteraksi dengan sesamanya. Bahasa berubah, tidak ada bahasa yang statis.

Karena itu, Menag mengharapkan revisi terjemahan Alkitab itu senantiasa menjaga dan memelihara paham keagamaan yang berimplikasi dalam pengamalan yang senantiasa dalam porsinya yaitu moderat.

“Kita tahu semua dan memahaminya, firman Tuhan itu hakekatnya adalah bagian dari Tuhan itu sendiri, maka ketika kita mentafsirkan dari yang difirmankan Tuhan, maka karena keterbatasan manusia, kita tidak bisa memahami sepenuhnya apa yang terkandung dalam zat Tuhan itu, maka itu ada keragaman dalam penafsiran sesuatu yang datangnya dari Yang Tak Terbatas itu,” ucapnya.

Menag mengatakan, ada sebagian pihak yang begitu mempertahankan teks sehingga kehilangan konteks, begitu kukuh memegang teks. Satu-satunya memahami agama dari kitab suci, melalui orang-orang suci. Tuhan menurunkan kitab suci tidak hanya memberikan panduan, juga menurunkan orang suci untuk memudahkan manusia mengamalkan ajaran agamanya.

“Tapi orang suci itu tidak hidup sezaman dengan kita, jadi tinggal teks itu yang  jadi rujukan untuk menangkap esensi ajaran agama sebagaimana dikehendaki Tuhan,” katanya.

Dia menambahkan, dalam sejarah ada dua cara pandang. Pertama, bertumpu pada teks, sehingga mengabaikan nalar dan konteks. Kedua, hal lainnya ada yang mengagungkan nalar, sehingga menafikan teks itu sendiri.

Menteri Agama mengatakan, yang terjadi di Kemenag yaitu berupaya membawa moderasi dengan sebaik-baiknya.

“Mereka yang terlalu konservatif dan liberal, kita ajak bersama ke jalur yang moderat. Di banyak negara, sejarah menunjukkan pada kita, dua pendekatan ini diperhadapkan bahkan dibenturkan, sehingga satu lebih merasa benar dari yang lain. Inilah awal sengketa di kalangan umat sendiri. Dan moderasi dan dua pendekatan ini disinergikan. Ketika kita melihat konteks, tidak lepas dari teks, sehingga agama tetap relevan di dunia yang dinamis dan berubah,” tuturnya.

Selain itu, apapun bentuk revisi dan terjemahan yang dilakukan, Menag meminta semua pihak untuk terus menggaungkan pemahaman dalam konteks Indonesia. “Beragama itu adalah berindonesia, sebagaimana berindonesia itu adalah beragama,” ujarnya.

Menag mengatakan, Indonesia adalah bangsa yang agamis, maka menjadi warga Indonesia itu hakekatnya menjadi umat beragama yang baik.

Berindonesia dan beragama dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Pemahaman agama kita yang mengejawantah dalam pengamalan, senantiasa terkait dengan sendi berbangsa dan bernegara, ini penting dalam konteks Indonesia.

“Revisi ini adalah kerja luar biasa, tentu prosesnya sangat panjang, karena begitu banyak yang dicermati dan kehatian-hatian,mudah-mudahan apa yang dilakukan memberikan pencerahan tidak hanya bagi umat Kristiani tapi seluruh warga bangsa ini,” ucapnya.

Ketua Umum Lembaga Alkitab Indonesia Pendeta Ishak P. Lambe dalam kesempatan sama menyampaikan, konsultasi nasional untuk melakuan revisi terjemahan Alkitab ini tidak mengubah isi Al kitab.

Dia mengatakan, motivasi revisi tersebut karena bahasa manusia terus berkembang,  dan muncul istilah baru. “Alkitab itu ditulis dan diterjemahkan dalam bahasa Ibrani, Yunani dan bahasa Arab, menterjemahkan kata dari bahasa lain tidak mudah. Jadi itulah motivasinya, bukan untuk mengubah atau merevisi isi Alkitab,” ujar Ishak. (Very)

 

 

Artikel Terkait