Nasional

Pemuka Agama: Pemimpin Terpilih Harus Didukung Namun Tetap Dikritisi

Oleh : very - Sabtu, 10/02/2018 12:50 WIB

Musyawarah Besar Pemuka Agama untuk Kerukunan Bangsa, di Jakarta, Jumat (9/2/2018). Musyawarah Besar yang mengambil tema “Rukun dan Bersatu, Kita Maju” ini dihadiri oleh 450 pemuka dari berbagai agama, baik dari pusat maupun daerah. (Foto: Indonews.id)

Jakarta, INDONEWS.ID - Semua pemuka agama menyepakati bahwa pemerintahan terpilih dalam sebuah pemilu yang demokratis harus dihormati dan karena itu harus diberi kesempatan untuk melaksanakan janjinya selama kampanye, baik kampanye pemilihan kepala daerah, maupun kampanye pemilihan presiden.

Walau demikian, semua umat beragama memiliki hak, bahkan kewajiban untuk melakukan koreksi terhadap jalannya roda pemerintahan. Namun, koreksi tersebut harus dilakukan melalui mekanisme yang disediakan, dan dengan cara konstitusional.

Demikian kesimpulan pendapat pada pemuka agama dalam acara Musyawarah Besar Pemuka Agama untuk Kerukunan Bangsa, di Jakarta, Jumat (9/2/2018). Musyawarah Besar yang mengambil tema “Rukun dan Bersatu, Kita Maju” ini dihadiri oleh 450 pemuka dari berbagai agama, baik dari pusat maupun daerah. Peserta berasal dari beragam latar belakang lembaga umat, universitas, organisasi kemasyarakatan dan para cendekiawan.

Musyawarah yang dipimpin langsung oleh Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerja Sama Antaragama dan Peradaban (UKP-DKAAP) Prof. Dr. Din Syamsuddin itu membahas pandangan dan sikap umat beragama tentang pemerintahan yang sah hasil pemilu.

Perwakilan tokoh agama Islam yang tampil membacakan pernyataan mengatakan, pemimpin yang dihasilkan melalui pemilihan (umum) maupun penunjukkan harus dianggap sah. Namun, perwakilan Islam meminta para penyelenggara pemilu agar menyelenggarakan pemilu secara adil dan demokratis. Kecurangan dan praktik politik uang juga harus dihentikan.

“Namun, ketika sudah terpilih, semua pihak wajib menaati pemerintahan yang sah. Saran, kritik harus dilakukan secara santun dan konstitusional,” demikian pernyataan perwakilan Islam.

Perwakilan Hindu mengatakan pemerintahan yang terpilih harus didukung, terlepas dari proses yang mungkin tidak bisa diterima pihak lain. Jika terjadi sengketa dalam sebuah pemilihan, maka harus diserahkan pada lembaga yang berwewenang.

Sementara itu, perwakilan Budha mengatakan, pemerintahan yang terpilih harus diterima, baik dari pusat hingga daerah. “Setelah terpilih, maka kebijakan pemerintah tersebut harus didukung, sepanjang sesuai dengan dharma negara”. Perwakilan Budha mengharapkan pemerintahan yang terpilih bisa menjalankan tugas dengan baik untuk melayani rakyat.

Sedangkan perwakilan agama Khonghucu mengatakan, suara rakyat adalah suara Tuhan. Meski demikian, sebuah pemerintahan yang terpilih juga bisa saja melenceng dari cita-cita bangsa dan negara. “Karena itu butuh kontrol dan pengawasan. Itulah tugas pemimpin agama untuk mengingatkan pemimpin”.

Semua pihak harus mendukung penuh pemimpinnya. Namun, jika dalam perjalanan tugasnya seorang pemimpin tidak lagi mengemban tugasnya dengan baik, maka wajib dikoreksi. Mengambil metafora pohon, “Pohon yang tumbuh tegak harus dipelihara, namun pohon yang condong harus dirobohkan (tidak dipilih kembali)”.

 

Dukungan Kritis

Ketua Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia (HAK KWI) Mgr Yohanes Harun Yuwono mengatakan, gereja Katolik sangat mendukung pemimpin hasil pemilihan yang demokratis, namun tetap kritis.Gereja Katolik mendukung sepenuhnya pemimpin hasil pemilihan yang demorkatis tetapi dengan kritis. Artinya kalau belaku benar akan didukung sepenuhnya, tetapi kalau dalam perjalanan waktu ada yang tidak benar, maka akan dikritisi dan diarahkan pada jalan yang benar,” ujarnya kepada Jendela Nasional, di sela-sela acara.

Lantas, apakah seorang pemimpin bisa ditumbangkan di tengah jalan? Uskup Harun mengatakan bahwa hal tersebut bergantung pada tingkat kesalahan yang dilakukan seorang pemimpin.

“Itu tergantung kesalahan besar dan kecil. Kalau besar ya pasti ke arah situ (penumbangan), tapi harus melalui mekanisme hukum yang berlaku. Kalau kesalahan kecil tentu akan diminta untuk kembali ke jalan yang benar,” ujarnya.

Uskup Harun menegaskan bahwa suara kritis Katolik tidak disalurkan secara terbuka, seperti turun ke jalan, tetapi melalui institusi yang telah disiapkan oleh negara. “Suara gereja itu harus disalurkan melalui institusi terkait yaitu lembaga negara yang ada. Tidak berarti bahwa gereja berdiri sendiri dan menyuarakannya secara terbuka, tetapi melalui lembaga yang terkait,” ujarnya. (Very)

Artikel Terkait