Nasional

Aksi Kekerasan di Gereja Sleman: Teror atau Kriminal?

Oleh : very - Rabu, 21/02/2018 21:07 WIB

Stanislaus Riyanta, analis intelijen, alumnus Pascasarjana Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia, saat ini sedang menempuh studi Doktoral di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia. (Foto: Ist)

 

Oleh: Stanislaus Riyanta *)

AKSI penyerangan kepada umat beragama, Minggu (11/2/2018), di Gereja St Lidwina Sleman Yogyakarta ternyata ditafsirkan berbeda-beda. Polda DIY melalui Kabid Humas AKBP Yulianto, yang dengan cepat beberapa jam setelah aksi terjadi, mengatakan bahwa aksi tersebut bukan teror. Serangan yang diketahui dilakukan seorang diri dengan menggunakan senjata tajam tersebut mengakibatkan Pastor Karl-Edmund Prier SJ, dua orang umat yang sedang beribadah, dan seorang polisi yang menangani aksi tersebut terluka.

Berbeda dengan Kabid Humas Polda DIY, Menko Polhukam Wiranto mengutarakan pendapat yang berbeda. Wiranto dalam pernyataan yang disampaikan kepada wartawan di Istana Negara, Senin (12/2/2018) menyatakan bahwa aksi tersebut adalah teror, yang harus diselidiki apakah dilakukan oleh pelaku tunggal (lone wolf) atau dalam jaringan. Selanjutnya Wiranto menyerahkan penanganan masalah ini kepada kepolisian untuk melakukan penyelidikan dengan seksama, termasuk dengan kasus lain di Jawa Barat dan Tangsel.

Pernyataan yang berbeda dari dua pejabat tersebut bisa menimbulkan tanda tanya di masyarakat. Aksi kekerasan di Sleman Jogjakarta yang terjadi secara brutal dan melukai sedikitnya 4 orang termasuk seorang Pastor tersebut tentu tidak bisa dianggap hal yang biasa, apalagi di Indonesia yang konstitusinya sangat menjunjung tinggi kebebasan beragama dan menghargai perbedaan di masyarakat.

Serangan terhadap umat beragama menjadi hal yang cukup sensitif di masyarakat, sehingga cukup aneh jika pejabat atau aparat keamanannya mengeluarkan pernyataan yang berbeda bahkan bertentangan. Hal ini tentu tidak akan terjadi jika pemerintah dan aparat keamanan, terutama yang berhak berbicara kepada publik benar-benar menguasai konteks masalah, terutama masalah terorisme.

 

Definisi dan Perbedaan

Definisi terorisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik). Departemen Luar Negeri Amerika Serikat dalam buku berjudul “The Sciology and Phychology of Terrorism, Who Becomes a Terrorist and Why?” mendefinisikan terorisme sebagai “kekerasan yang direncanakan, bermotivasi politik, ditujukan terhadap target-target yang tidak bersenjata oleh kelompok-kelompok sempalan atau agen-agen bawah tanah, biasanya bertujuan untuk mempengaruhi khalayak.” (Hudson dan Mejeska, 1992:12).

Aksi teror berbeda dengan aksi kriminal. Di dalam buku “Terrorism and Organized Hate Crime: Intelligence Gathering, Analysis and Investigations”, yang ditulis oleh Michael R. Ronczkowski, dijelaskan perbedaan mendasar antara terorisme dengan jenis kriminal jalanan. Kelompok teroris bertempur untuk tujuan ideologi (politik atau agama), sementara pelaku kriminal melakukan tindakannya karena kebutuhan atau kepentingan sesaat.

Gerakan teroris lebih banyak dimotivasi oleh ideologi, politik maupun agama. Aksi kriminal didorong oleh kepentingan non ideologis. Terorisme biasanya dilakukan oleh kelompok atau pribadi namun bertujuan untuk kepentingan kelompok atau golongannya, sementara kegiatan kriminal berorientasi pada kepentingan diri sendiri. Persamaan terorisme dengan kriminal biasanya adalah sama-sama menggunakan kekerasan.

Jika mempelajari definisi di atas, maka kecenderungan aksi serangan di Gereja St Lidwina Yogyakarta adalah aksi teror. Hal ini juga diperkuat dengan keterangan yang sudah diperoleh pihak kepolisian bahwa pelaku terpapar paham radikal. Selain itu pelaku diketahui juga pernah berada di daerah yang menjadi basis kelompok radikal. Tanda-tanda bahwa pelaku ingin mewujudkan niat atau tujuan ideologi sebelum melakukan aksi diketahui juga secara tersirat dari hasil keterangan orang tua pelaku. Bahkan yang paling jelas dari rekaman video saat pelaku melakukan serangan di gereja tampak bahwa aksi tersebut bukan untuk tujuan kriminal, tetapi lebih pada kebutuhan eksistensi atas ideologinya.

Hal yang penting bagi pemerintah dan aparat keamanan untuk dapat mengkategorikan sebuah aksi kekerasan sebagai teror atau kriminal. Kemampuan ini berpengaruh dalam upaya pencegahan, penanganan dan pemulihan terhadap aksi teror. Jika aksi teror yang terjadi diturunkan statusnya, dianggap sebagai aksi kriminal, sensitifitas terhadap ancaman-ancaman negara akan semakin tumpul. Akibatnya tentu saja potensi ancaman aksi teror menjadi lebih besar lagi.

Aksi kekerasan di Jogja ini menjadi momentum penting bagi pemerintah dan aparat keamanan agar lebih kompak dan komprehensif dalam menangani masalah, dan juga dalam memberikan keterangan kepada masyarakat. Masyarakat juga harus lebih meningkatkan kerukunan dan perdamaian di lingkungannya tanpa sekat-sekat perbedaan. Hal ini harus dilakukan supaya tidak menjadi jalan masuk sikap intoleran dan radikal. Terorisme harus ditangani bersama-sama seluruh komponen bangsa, dengan pemahaman yang sama dan dengan semangat yang sama untuk hidup rukun dan damai.

*) Stanislaus Riyanta, pengamat terorisme, mahasiswa Doktoral Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia

Artikel Terkait