Nasional

Kasus di Garut, KPU dan Bawaslu Diminta Siapkan Sistem Pengendalian Internal

Oleh : very - Minggu, 25/02/2018 22:32 WIB

Aparat kepolisian dari Polsek Tarogong Kaler dan Polres Garut tampak berjaga-jaga di kantor Panwaslu. (Foto: Kompas.com)

Jakarta, INDONEWS.ID - Di tengah kesibukan mempersiapkan perhelatan Pilkada Serentak 2018, masyarakat dikagetkan dengan peristiwa penangkapan Ketua Panwaslu Garut dan Anggota KPU Garut atas dugaan korupsi oleh Satgas Anti Money Politic Polri, Sabtu 24 Februari 2018 kemarin.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, peristiwa ini sangat mencoreng wajah kelembagaan penyelenggara pemilu, terutama KPU, yang selama ini memiliki tingkat kepercayaan yang sangat tinggi di masyarakat.

“Terlebih, KPU dan Bawaslu sudah mendeklarasikan dan sedang mengkampanyekan gerakan anti money politic. Jika tidak diantisipasi dengan serius, maka kasus ini dapat meruntuhkan kepercayaan publik terhadap proses maupun hasil pilkada. Tidak hanya bagi Garut, namun dampaknya sangat mungkin meluas ke seluruh daerah,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Minggu (25/2/2018). 

Seperti diberitakan, tuduhan yang dialamatkan kepada dua orang penyelenggara pemilu tersebut menyangkut dugaan gratifikasi atas proses pencalonan di Kabupaten Garut. Sementara tahapan pencalonan telah usai dan menghasilkan sejumlah nama calon peserta pilkada. Tahapan kampanye pun sedang berjalan.

Titi mengatakan, penangkapan tersebut akan mengganggu tahapan karena komposisi penyelenggara pemilunya telah berkurang. “Beberapa tupoksi dalam penyelenggaraan terpaksa harus dibebankan kepada penyelenggara yang lain. KPU Garut dan Panwaslu Garut akan menghadapi beberapa isu teknis di internal nantinya,” ujarnya. 

Disebutkan bahwa dugaan gratifikasi terjadi pada proses pencalonan - walau belum jelas apakah terkait syarat calon (ijazah dan administrasi lainnya) atau syarat pencalonan (dukungan dari parpol atau masyarakat).

Namun, kata Titi, mekanisme yang berlaku mengharuskan penetapan pasangan calon dilakukan secara pleno dan terbuka. Karena itu, keputusan yang lahir tidak hanya ditentukan oleh satu orang anggota, namun oleh seluruh anggota. Sehingga tanggung jawab pencalonan tidak dapat dibebankan kepada hanya satu orang, melainkan kepada seluruh anggota. 

Karena itu, demi menjamin integritas proses pilkada dan mengembalikan kepercayaan publik, maka Perludem meminta kepolisian untuk mendalami dan menelusuri kasus ini lebih jauh. “Selain pihak yang disuap, kepolisian juga penting untuk mengungkap segera pihak yang memberi suap,” kata Titi.

Guna menghindari semakin terdegradasinya proses tahapan pilkada yang tengah berlangsung di Garut, penting dilakukan pemurnian kembali dengan memeriksa anggota KPU Garut dan Panwaslu Garut secara keseluruhan, karena hal ini berkaitan dengan pengambilan keputusan atas pencalonan yang dilakukan secara kolektif. Namun, proses pemeriksaan harus tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah.

Selain itu, KPU RI dan Bawaslu RI harus memberikan dukungan dan kerjasama yang memadai kepada pihak penegak hukum sehingga kasus ini dapat terungkap secara terang dan jelas. Dengan menunjukkan dukungan dan sikap perlawanan terhadap perilaku koruptif di lingkungannya, KPU RI dan Bawaslu RI dapat menyelamatkan proses pilkada secara keseluruhan.

“Penting juga bagi KPU RI dan Bawaslu RI untuk mendampingi dan memberikan back-up yang cukup untuk memastikan agar tahapan pilkada di Garut tetap berjalan sebagaimana yang telah direncanakan,” kata Titi.

 

Evaluasi Tiga Hal

Titi mengatakan, agar hal itu tidak terjadi lagi ke depan, dan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat, ada tiga hal yang perlu disikapi KPU dan Bawaslu.

Pertama, kebijakan transparansi dan akuntabilitas proses pencalonan; Kedua, kinerja penyelenggara pilkada di setiap tingkatan; dan ketiga, mengevaluasi ulang secara cepat proses pencalonan Pilkada Serentak 2018.

“Tujuannya untuk menghindari kasus serupa terulang kembali di masa yang akan datang, serta untuk meyakinkan masyarakat bahwa kasus di Garut tidak terjadi di daerah lain. Secara khusus, Transparansi dalam proses pencalonan selama ini masih dalam kategori rendah, karena banyak dokumen-dokumen persyaratan yang masih terbatas dan menjadi perdebatan untuk diungkap ke publik,” ujarnya.

Perludem juga mendorong seluruh elemen masyarakat, terutama pada champion-champion di institusi penyelenggara untuk melaporkan segala bentuk pelanggaran—terlebih korupsi—kepada aparat penegak hukum. Tidak hanya terkait dengan kelembagaan penyelenggara pemilu, namun masyarakat penting juga mengawasi calon kepala daerah dan tim suksesnya, partai politik pendukung kepala daerah, serta setiap pihak yang berkepentingan dengan pilkada. Tanpa dukungan dan partisipasi dari masyarakat, kejahatan pemilu sulit untuk diungkap dan akan berdampak buruk terhadap demokrasi elektoral.

“KPU dan Bawaslu juga mesti segera menyiapkan sistem pengendalian internal lembaga yang terintegrasi antartingkatan untuk mencegah, mendeteksi dini, dan mengeliminir terjadinya kecurangan, manipulasi, dan kejahatan oleh jajaran penyelenggara pemilu,” ujarnya.

Saat ini demokrasi Indonesia berada dalam kondisi yang sangat baik, baik di tataran regional Asia maupun di tataran global. Berdasarkan Global State of Democracy (GSoD) yang dikeluarkan oleh International IDEA, indeks demokrasi Indonesia berada di atas rata-rata dunia. Salah satunya terkait dengan penilaian pada aspek Clean Election yang cukup tinggi, yaitu 0,73 poin di atas rata-rata regional (0,51 poin) dan di atas rata-rata global (0,59 poin).

Kasus yang menimpa oknum penyelenggara pemilu di Kabupaten Garut, kata Titi, dapat menurunkan citra baik pemilu Indonesia di mata dunia. “Oleh karena itu, kasus ini tidak dapat dipandang sebelah mata karena mengancam kesehatan demokrasi kita. Kasus ini harus diungkap dan pelakunya ditindak tegas!,” pungkasnya. (Very)

 

 

Artikel Terkait