Bisnis

Harga Batu Bara dan Efisiensi PLN

Oleh : very - Senin, 26/02/2018 10:56 WIB

Thonthowi Dj adalah Co-Founder Indonesian Energy and Enviromental Institute (IE2I). (Foto: Ist)

 

Oleh: Thonthowi Dj *)

Michael Porter, pakar ekonomi yang banyak menggeluti persoalan keunggulan daya saing, meyakini teori ekonomi klasik yang menjelaskan tentang keunggulan komparative tidak mencukupi, atau bahkan tidak tepat. Menurut Porter, suatu negara memperoleh keunggulan daya saing atau competitive advantage, salah satunya jika perusahaan yang ada di negara tersebut kompetitif.

Keunggulan kompetitif tersebut akan dicapai jika perusahaan mampu melaksanakan efisiensi. Di banyak bidang, sudah banyak terbukti bahw efisiensi menjadi  kunci daya saing.

Dalam konteks semacam itulah, kemungkinan besar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan, tidak langsung menyetujui keinginan Perusahaan Listrik Negara (PLN), untuk mematok harga batu bara bagi kebutuhan domestik (DMO- Domestic Market Obligation).  Jonan lebih suka jika PLN meningkatkan efisiensi terlebih dulu.

Bagi PLN naiknya harga batu bara memang mengkhawatirkan. Februari ini, harga batu bara sudah hampir menyentuh US$90 per metrik ton. Kenaikan ini telah menjadi kecenderungan sejak 2015. Bank Dunia mencatat, selama 2015 rata-rata harga batu bara Australia mencapai US$57,5 per metrik ton, dan pada 2016 sudah US$65,9 per metrik ton.

Sejauh ini, dari total biaya operasi PLN, sekitar 30% di antaranya berasal dari biaya energi primer. Sisanya adalah biaya perawatan serta biaya transmisi dan distribusi.  Dan, mayoritas pembangkit listrik milik PLN yang berkapasitas besar, masih menggunakan batu bara.

Dengan struktur semacam, maka biaya pokok penyediaan listrik (BPP), sangat terdampak dengan fluktuasi harga batu bara.  Berdasarkan data PLN, akibat kenaikan harga batu bara tersebut, BPP listrik naik sebesar Rp16,18 triliun selama 2017. Di sisi lain, pemerintah tak ingin menaikkan tarif listrik.  Inilah yang membuat PLN ingin ada harga khusus batu bara, agar perusahaan negara ini tidak tekor.

Tahun lalu, PLN mengajukan usulan agar digunakan formula biaya produksi (cost of production) plus margin keuntungan untuk produsen batu bara, yakni sebesar 15-25%. Konsep ini ditolak Kementerian ESDM lantaran dianggap usang. Biaya produksi bisa dibuat tinggi dengan formula ini, sehingga efisiensi tidak akan terjadi.

Tahun ini, ketika laju harga pasaran batu bara terus meroket, PLN mengajukan skema batasan harga. Harga bawah US$60 per metrik ton. Sedangkan batas atasnya mencapai US$70 per metrik ton. Seperti halnya tahun lalu, tahun ini pemerintah belum juga meluluskan permintaan PLN. Pemerintah ingin memperhatikan pula kepentingan pengusaha batu bara.

Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) telah mengajukan usulan harga DMO adalah US$85 per metrik ton.  Pemerintah masih menggodok semua usulan tersebut, baik dari PLN maupun pengusaha. Penentuan harga batu bara acuan untuk DMO ini penting guna mengakodomasi kepentingan PLN. Bagaimanapun, jika PLN kerepotan dalam penyediaan listrik, pemerintah juga yang akan menanggung kesulitannya.

Di luar diskusi penentuan harga tersebut, yang menarik adalah pemintaan agara PLN lebih mengedepankan efisiensi. Direktur Utama PLN Sofyan Basyir pernah mengungkapkan sejumlah langkah yang dilakukan untuk melakukan efisiensi.

Efisiensi yang dilakukan PLN antara lain menekan angka ketergantungan bahan baku PLN yang semula sebesar 11 persen menjadi 5,8 persen. Efisiensi ini membuat setidaknya PLN menghemat Rp42 triliun.  PLN juga membuat jaringan sambungan dari pembangkit besar yang ada di pusat kota ke seluruh daerah terpencil, guna mengurangi ketergantungan terhadap pembangkit diesel.

Zonasi batubara pun dilakukan PLN, guna menghemat ongkos distribusi.  Pembangkit listrik di Sumatera tak boleh ambil batu bara dari Kalimantan.

Diversifikasi sumber energi juga dilakukan misalnya dengan menggunakan panel surya dan tenaga angin. Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) berkapasistas 70 MW telah beroperasi di Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap), Sulawesi Selatan.

Semua langkah bagus PLN untuk efisiensi tersebut, rupanya masih perlu terus ditingkatkan. Setidaknya jika dilihat dari indikator subsidi listrik yang masih besar diberikan pemerintah terhadap perusahaan setrum negara ini. Subsidi listrik pada 2016 masih mencapai sebesar Rp38,39 triliun untuk 24,7 juta rumah tangga miskin dan rentan miskin.

Indikator lain juga bisa dilihat dari perbandingan antara BPP listrik per kWh, yang masih lebih besar daripada tarif ditetapkan pemerintah bersama DPR. Pada 2011 BPP mencapai Rp1.251/kWh, padahal tarif listrik ditetapkan sebesar Rp. 738/kWh, yang menjadikan subsdi pemerintah sebesar  Rp513/kWh. Pada 2016, BPP naik menjadi Rp. 1.229/kWh, dengan tarif yang telah disepakati Rp1.150/kWh, yang berarti subsidi pemerintah adalah Rp79/kWh. Catatannya, penurunan ini terjadi lebih karena pencabutan subsidi listrik secara bertahap.

Dari sisi layanan, keluhan konsumen terhadap PLN pun menempati peringkat lima besar versi Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) 2017.

Karena itulah, maka efisiensi yang dilakukan PLN harus terus dilakukan. PLN sendiri mencatat, setiap 1 sen dolar pengurangan biaya produksi di pembangkit 1.000 MW, bisa menghasilkan efisiensi Rp1 triliun.  Lebih dari itu, efisiensi ini bisa membantu negara meningkatkan daya saingnya di tingkat global. 

Efisiensi juga akan mendukung pemerintah mewujudkan pembangunan yang pro lingkungan hidup, karena PLN akan mengalihkan lebih banyak pembangkit dari batu bara ke sumber energi primer yang ramah lingkungan. Penggunaan gas dan energi baru dan terbarukan perlu lebih diperbanyak.

Dalam menjalankan efisiensi, PLN sebaiknya memakai parameter-parameter dari lembaga rating internasional. Dan, secara berkala mengumumkan capaian efisiensi yang telah dilakukan tersebut kepada publik.

*) Thonthowi Dj adalah Co-Founder Indonesian Energy and Enviromental Institute (IE2I)

 

Artikel Terkait