Nasional

KIPP Indonesia Nilai Aturan KPU tentang Kampanye Terlalu Mengada-ada

Oleh : very - Rabu, 28/02/2018 17:03 WIB

Sekretaris Jenderal Serikat Kerakyatan Indonesia (SAKTI), yang juga Wasekjend KIPP Indonesia, Girindra Sandino. (Foto: Ist)

 

Jakarta, INDONEWS.ID - Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengeluarkan aturan yang melarang partai politik membawa gambar atau foto tokoh nasional, dan mantan Presiden RI seperti Soekarno dan Gus Dur,  yang bukan merupakan pengurus partai politik, dalam kampanye. Mengacu pada UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu, KPU beralasan bahwa larangan membawa foto para tokoh tersebut karena mereka bukan pengurus partai politik. Larangan itu tidak berlaku untuk kampanye di dalam ruangan.

Sekretaris Jenderal Serikat Kerakyatan Indonesia (SAKTI), yang juga Wasekjend KIPP Indonesia, Girindra Sandino mengatakan, buntut larangan itu maka kampaye, yang seharusnya disambut dengan penuh suka cita oleh rakyat, akan sepi peminat. Simbol-simbol gambar tokoh seperti Bung Karno, Gusdur dll, secara tidak langsung menberikan kepada publik/pemilih secara visual sebuah pendidikan politik karena foto atau gambar tokoh-tokoh tersebut memiliki jasa-jasa,  pemikiran, spirit, nilai-nilai yang luar biasa untuk Indonesia.

“Alasan KPU nanti akan berebut, saling mengklaim tokoh, merupakan alasan yang mengganggap masyarakat seperti baru berdemokrasi atau  menganggap seperti anak kecil,” ujarnya di Jakarta, Rabu (28/2/2018).

Selain itu, peraturan KPU tersebut, kata Girindra, akan mengebiri kreativitas dan kebebasan berekspresi peserta pemilu, dan pendukungnya yang dijamin konstitusi. “Pemilu hanya 5 (lima) tahun  sekali, apa salahnya membuat pemilu meriah dengan penuh kegembiraan. Jika yang ditakutkan ada konflik gara-gara itu, adalah alasan kekanak-kanakan dan terlalu dramatis. Pendekatan keamanan yang telalu kaku demi stabilitas dan sebagainya dalam pemilu merupakan kemunduran demokrasi di Indonesia. Oleh Karena hajatan ini adalah hajatan rakyat yang juga memakai uang rakyat,” ujarnya.

Girindra mengatakan, walau dalam UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu, Pasal 280 ayat (1) huruf i, menyebut larangan "Membawa atau menggunakan tanda gambar dan atau/atribut selain dari tanda dan/atau atribut peserta pemilu yang bersangkutan”, atauran itu dinilai belum jelas. Dia mengatakan, jika gambar Bung Karno diklaim sebagai atribut sebuah partai politik, maka hal itu sah-sah saja. Apalagi, KPU mengatakan bahwa larangan itu tidak berlaku jika atribut dibawa saat kampanye dalam ruangan.

Selain itu, kata Girindra, peraturan KPU tersebut merugikan pendukung calon presiden Joko Widodo. Seharusnya, momentum sosialisasi pengenalan Capres digunakan semaksimal mungkin pada tahap kampanye.

“Tidak tertutup kemungkinan aturan ini dapat menurunkan popularitas dan elektabilitas Jokowi. Sementara itu, parpol yang mengusung capres lain pasti sangat gembira dengan aturan KPU ini. Mereka pasti akan menyusun strategi untuk habis-habisan memanfaatkan momentum ini,” ujarnya.

Mengutip pendapat Jimly Asshidiqie, Girindra mengatakan bahwa pendapat yang mengatakan bahwa Presiden merupakan simbol negara adalah pemikiran yang feodal. Karena itu, hal tersebut sudah saatnya ditinggalkan.

“Soal lambang negara telah diatur dalam pasal 36A UUD 1945. Lambang negara yang diatur dalam konstitusi adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Pun dalam UU No. 24/2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan menyebutkan bahwa Lambang Negara ialah Garuda Pancasila bukan Presiden. Tidak heran Mahkamah Konstitusi pernah membatalkan pasal penghinaan Presiden. Dan dalam kampanye kehadiran bendera merah putih banyak yang membawa. Jadi KPU, biasa sajalah jangan menjelma seperti diktator kecil pemilu," pungkasnya. (Very)

 

Artikel Terkait