Nasional

DPR dan Pemerintah Didesak Tunda Pengesahan RUU Hukum Pidana

Oleh : very - Minggu, 04/03/2018 18:30 WIB

RUU KUHP. (Foto: Ilustrasi)

Jakarta, INDONEWS.ID - Pembukaan masa sidang DPR pada Senin, 5 Maret 2016 akan menjadi tahap baru dalam pembahasan RUU Hukum Pidana. Aliansi Nasional Reformasi KUHP menyatakan mencermati pertemuan antara Presiden Joko Widodo dengan 4 orang ahli hukum yaitu Prof. Mahfud MD, Dr. Luhut Marihot Parulian Pangaribuan, Maruarar Siahaan dan Prof. Edward Omar Sharif Hiariej. 

“Aliansi Nasional Reformasi KUHP memandang dengan kekuatiran ada desakan untuk segera mengesahkan RUU Hukum Pidana pada 19 April 2018. Desakan ini ditengarai muncul dari pertemuan antara Presiden Joko Widodo dengan empat orang ahli hukum ini,” ujar Managing Director Institute for Criminal Justice Reform mewakili Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Erasmus Napitupulu, di Jakarta, Minggu (4/3/2018).

Aliansi Nasional Reformasi KUHP mengingatkan bahwa RUU Hukum Pidana akan mengikat segala sisi kehidupan masyarakat. Inilah hukum yang akan memiliki daya paksa untuk menegakkan tertib sosial yang diinginkan oleh pemerintah. Karena itu, Aliansi memandang bahwa Presiden perlu membuka dialog multi pihak dan multi kementerian/lembaga untuk membahas RUU Hukum Pidana.

Dialog dan pembahasan RUU Hukum Pidana selama ini, dalam pandangan Aliansi terlalu didominasi oleh para ahli hukum pidana padahal yang disentuh oleh RUU Hukum Pidana menyangkut segala aspek kehidupan termasuk didalamnya mengenai kesehatan, perempuan, anak, dan segala isu serta lapisan masyarakat lainnya.

“Aliansi Nasional Reformasi KHUP mengingatkan bahwa kalaupun pembahasan dipaksakan disahkan 19 April 2018 ini, maka segala infrastruktur penunjang RUU Hukum Pidana berpotensi besar tidak terlaksana,” ujar Erasmus.

Dia mengatakan, RUU Hukum Pidana membutuhkan berbagai peraturan pelaksana sebagai pelaksana dari RUU Hukum Pidana apabila disahkan dan diberlakukan. Aliansi Nasional Reformasi KUHP tidak melihat pemerintah dan DPR memiliki cetak biru pembaruan hukum pidana nasional. Hal ini akan memperparah prioritas dari program pembaruan dan pembangunan hukum nasional. Sekadar mengingatkan bahwa infrastruktur penunjang UU SPPA juga sama sekali belum 100% tersedia, bahkan ketika batas waktu 2 tahun sejak disahkan, belum tersedia dengan cepat.

“Ketiadaan infrastruktur penunjang dalam RUU Hukum Pidana akan mengacaukan bangunan sistem penegakkan hukum pidana. Belum lagi ketiadaan analisis kompabilitas antara RUU Hukum Pidana dengan KUHAP yang saat ini berlaku,” ujarnya.

Aliansi Nasional Reformasi KUHP juga mengingatkan bahwa sentimen romantisme untuk mengenyahkan warisan Hindia Belanda sebaiknya sesegera mungkin ditinggalkan. Perlu ada analisis dan pendetakan baru dari analisis dan pendekatan lama yang telah tersedia sejak 1963. Sampai saat ini, tidak ada satu negarapun di dunia yang memiliki klaim orginalitas dalam pembangunan hukumnya, karena itu upaya memenuhi romantisme “karya bangsa sendiri” sebaiknya mulai ditinggalkan.

Aliansi Nasional Reformasi KUHP juga mengingatkan bahwa Indeks Demokrasi Indonesia yang dibuat oleh Badan Pusat Statistik mengalami penurunan pada 2016.

Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan juga menyatakan bahwa aspek kebebasan sipil membawa dampak yang besar pada penurunan Indeks Demokrasi Indonesia. Karena itu, RUU Hukum Pidana apabila diburu – buru disahkan akan membawa kontribusi besar pada penurunan Indeks Demokrasi Indonesia ditahun – tahun berikutnya.

“Untuk membangun dan memperbaruhi hukum pidana nasional, Aliansi Nasional Reformasi KUHP menyerukan agar Presiden untuk mendorong dimulainya dialog dan konsultasi multi pihak, agar proses pembaruan hukum pidana nasional dapat lebih diterima oleh masyarakat dan sejalan dengan komitmen negara Republik Indonesia dalam rangka melindungi, menghormati, dan memajukan kebebasan sipil dan politik,” pungkasnya. (Very)

 

Artikel Terkait