Nasional

Pengamat: Hoax Sebagai Alat Propaganda Hitam Cenderung Dilakukan Kelompok Oposisi

Oleh : very - Senin, 05/03/2018 14:33 WIB

Stanislaus Riyanta, pengamat intelijen, mahasiswa Doktoral Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia.(Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Propaganda dengan menyebarkan berita bohong (hoax) tentang aksi kekerasan terhadap pemuka agama oleh orang gila, yang dianggap sebagai proxy Partai Komunis Indonesia sering terjadi akhir-akhir ini, seperti di Jawa Barat dan Jawa Timur.

Pengamat intelijen Stanislaus Riyanta mengatakan, fenomena hoax yang terjadi di Indonesia ini adalah bentuk propaganda hitam. Kebenaran materi propaganda tidak diperhatikan lagi, karena yang dipentingkan adalah tujuannya.

“Tujuan dari propaganda hitam tersebut adalah menciptakan keresahan masyarakat, yang ditakut-takuti dengan kabar kebangkitan Partai Komunis Indonesia. Partai ini dikabarkan telah melakukan aksi kekerasan sistematis terhadap pemuka agama,” ujarnya di Jakarta, Senin (6/3/2018).

Stanislaus mengatakan, situasi ini akan dimanfaatkan oleh pihak tertentu dengan menggalang atau membangkitkan kekuatan masyarakat. Hasil dari penggalangan ini kemudian diarahkan untuk bersama-sama melawan pihak tertentu.

Di sisi lain, muncul juga propaganda bahwa ada pihak tertentu yang dianggap sebagai pembela atau pendukung Partai Komunis Indonesia yang harus dilawan.

“Propaganda juga dilakukan dengan menuduh ada kelompok yang anti dengan agama tertentu. Tujuan dari propaganda hitam yang terjadi saat ini terbaca dengan jelas, untuk kepentingan 2019,” ujar mahasiswa Doktoral Fakultas Ilmu Administrasi ini.

Propaganda hitam tersebut, katanya, sudah meresahkan masyarakat. Hoax yang digunakan sebagai alat propaganda tersebut oleh kalangan tertentu dipercayai sebagai kebenaran. Reaksi yang terjadi atas penyebaran hoax tersebut cenderung negatif dan muncul kecurigaan berlebihan dari penerima hoax terhadap kelompok-kelompok tertentu. Situasi ini tentu menjadi tidak sehat dan mengganggu.

Karena itu, Stanislaus mengapresiasi tindakan Polri yang melakukan penanganan dengan mengungkap pembuat dan penyebar hoax tersebut. Hal ini, katanya, sangat efektif untuk mengembalikan situasi kamtibmas menjadi lebih kondusif.

Fakta mengejutkan yang dirilis oleh Mabes Polri, Senin (5/3/2018) dari 45 berita kekerasan terhadap ulama, ternyata hanya ada 3 yang benar-benar terjadi, dan ketiga kasus tersebut adalah kasus yang terpisah, tidak mempunyai hubungan atau afiliasi. Polri bertindak cepat dengan menangkap para pelaku dan otak dari kelompok penyebar hoax tersebut.

Sejak dilakukan penangkapan belasan orang di berbagai kota yang disebut tergabung dalam grup MCA (Muslim Cyber Army), situasi di sosial media relatif lebih kondusif. Berita-berita yang provokatif terkait isu kekerasan terhadap pemuka agama dan kebangkitan Partai Komunis Indonesia seketika menjadi lenyap atau tidak muncul lagi.

Stanislaus berharap agar Polri bisa mengungkap tokoh di balik tim pembuat dan penyebar hoax. “Jika ternyata mereka adalah para lone wolf yang bergabung karena mempunyai satu tujuan tertentu, maka harus diungkap juga fenomena yang menjadi dasar dari perilaku tersebut. Jika mereka adalah proxy dari kelompok tertentu maka harus diungkap juga motif dan tujuannya supaya benar-benar tuntas dan tidak terjadi lagi,” ujarnya.

 

Kelompok Oposisi

Stanislaus mengatakan, penggunaan hoax sebagai alat propaganda (abu-abu dan hitam) cenderung dominan dilakukan oleh oposisi. Hal ini disebabkan kelompok penguasa atau pemerintah bisa melakukan propaganda putih melalui saluran-saluran resmi yang lebih kaya data.

Selain itu penguasa atau pemerintah juga mempunyai dana yang cukup untuk memberitakan keberhasilan capaian kerjanya. “Bagi kelompok oposisi yang belum mempunyai bukti kinerja, mempunyai kemungkinan besar untuk menggunakan kabar-kabar negatif, bahkan bohong, sebagai materi propaganda untuk melemahkan persepsi masyarakat terhadap pemerintah atau penguasa,” ujarnya.

Dia mengatakan, penggunaan hoax, apapun tujuannya, harus dihentikan. Pasalnya, Indonesia yang sedang menjalankan tahun politik di 2018 dan 2019 harus babas dari cara-cara yang tidak terpuji seperti dengan menggunakan hoax untuk mendiskreditkan pihak lain.

“Politik berbasiskan kompetensi harus diutamakan. Biarkan masyarakat memilih dan mengambil keputusan berdasarkan kompetensi kandidat yang bertarung,” ujarnya.

Jika dalam berpolitik masyarakat masih diarahkan untuk menggunakan platform identitas, dan bukan kompetensi dan program kerja, maka kekhawatiran bahwa kegiatan politik justru akan semakin melemahkan kerukunan dan perdamaian menjadi benar. Kebhinekaan dan keragaman yang dijunjung tinggi di Indonesia tidak perlu dicederai oleh aktifitas politik yang berdasarkan platform identitas.

Stanislaus meminta para pemangku kepentingan dalam tahun politik 2018 dan 2019 agar melakukan aktivitas politik yang sehat, dan bukan dengan cara-cara yang tidak terpuji, seperti dengan menggunakan kabar bohong (hoax) yang cenderung akan meresahkan masyarakat.

“Tujuan politik yang seharusnya membawa masyarakat lebih baik, harus dilakukan dengan cara yang baik,” pungkasnya. (Very)

Artikel Terkait