Nasional

Pengamat: Sulit Bagi Parpol Meraih 25 Persen Suara Nasional

Oleh : very - Jum'at, 16/03/2018 16:56 WIB

Sekretaris Jenderal Serikat Kerakyatan Indonesia (SAKTI), yang juga Wasekjend KIPP Indonesia, Girindra Sandino. (Foto: Ist)

 

Jakarta, INDONEWS.ID - Pemilu legislatif 2019 yang diikuti parpol peserta pemilu nasional yang lebih banyak dibandingkan pemilu 2014 diperkirakan akan berlangsung ketat dan menghasilkan perolehan suara pemilu nasional yang lebih tersebar.

Pengamat Pemilu, yang juga Wasekjend KIPP Indonesia Girindra Sandino mengatakan, kondisi tersebut di atas akan menjadi faktor penghambat partai politik untuk menembus batas persyaratan perolehan kursi DPR 20 persen atau 25 persen suara sah pemilu nasional yang diperlukan untuk mengajukan pasangan capres/cawapres pada pemilu serentak berikutnya.

Pasalnya, katanya, saat ini untuk mengajukan Calon Presiden dan Wakil Presiden adalah hasil dari pemilu sebelumnya, yakni pemilu 2014, seperti diamanahkan dalam Pasal 222, UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, yang menegaskan “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 % (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25%(dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.”

Di samping itu, Pasal 414 (ayat 1) UU No. 7 Tahun 2017 juga menegaskan soal parliamentary threshold, bahwa “Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 4% (empat persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penenentuan perolehan kursi anggota DPR.

”Dalam hal ini, kompetisi untuk lolos parliamentary threshold 4 (empat) persen akan mendorong parpol peserta pemilu berupaya meraih suara sebanyak mungkin,” ujarnya.

Berdasarkan hal itu, Girindra memprediksikan amat sulit untuk mencapai target sejumlah parpol yang menempati peringkat atas maupun menengah dalam pemilu 2019 untuk melipatgandakan perolehan suara.

Girindra mengatakan, andaikata jumlah suara sah nasional dalam pemilu 2019 mencapai 150 juta dari 190 jutaan pemilih, maka tidak mudah bagi parpol mana pun untuk meraih 25 persen suara nasional, yakni sekitar 37,5 juta suara. Terlebih saat ini salah satu Capres didukung parpol secara rombongan, yang akan memecah konsentrasi pemilih terlepas ideologi maupun karakteristik basisnya.

Kesulitan akan bertambah jika suara parpol-parpol tersebut tersedot oleh parpol baru di sejumlah ‘basis teritorial’. Partai Garuda, Perindo dan Partai Berkarya, misalnya, berpotensi menarik suara Partai Golkar, Demokrat dan Gerindra, demikian pula halnya PBB yang dimungkinkan menggaet massa PKB atau PPP. Sementara Partai Solidaritas yang juga tidak mustahil berpengaruh terhadap suara PDI-P.

Prediksi perolehan suara pemilu legislatif yang diuraikan di atas mengharuskan parpol yang sudah mempunyai atau yang akan mengajukan calon presiden untuk membangun koalisi sesegera mungkin. “Instabilitas kompetisi antar parpol (interparty competition) yang dipengaruhi oleh perubahan sikap pemilih (electoral volatility) adalah faktor strategis lain yang memperkuat argumen tentang urgensi koalisi parpol,” ujarnya.

“Sementara itu, parpol yang berambisi menjadi ‘parpol besar’ dan mengusung capres sendiri dapat saja mencapai hasil ‘memalukan’ dan mengubur mimpi jika tidak dapat mengatasi kendala-kendala berat yang dipaparkan di atas, apalagi jika gagal menggalang mitra koalisi,” pungkasnya. (Very)

 

 

Artikel Terkait