Nasional

Tidak Siap Bertanding, Pihak Oposisi Gunakan Kampanye Hitam

Oleh : very - Minggu, 08/04/2018 13:01 WIB

Stanislaus Riyanta, pengamat intelijen, mahasiswa Doktoral Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia.(Foto: Ist)

 

Jakarta, INDONEWS.ID - Kampanye hitam yang muncul di masyarakat terkait kinerja pemerintah sangat kuat mengarah kepada kepentingan pihak oposisi menuju 2019. Isu seperti bangkitnya komunis, serangan terhadap ulama, antek asing, dan hutang negara sangat nampak diproduksi sebagai kampanye hitam untuk menyerang Joko Widodo dan partai pengusungnya.

Kampanye hitam dengan menyebarkan narasi negatif untuk menyerang program pemerintah tersebut dilakukan dengan isu yang berubah-ubah, yang membuktikan bahwa isu tersebut sebenarnya lemah.  

Fenomena di atas, kata Stanislaus Riyanta, menunjukkan bahwa pihak oposisi belum percaya diri secara ksatria maju unjuk gigi untuk berhadapan dengan petahana memperebutkan kuris RI 1. Ketidakpercayaan diri ini bisa disebabkan oleh beberepa faktor.

“Pertama, oposisi memang menyadari bahwa Joko Widodo masih terlalu kuat untuk dilawan. Faktor kedua, oposisi masih belum terkonsilidasi untuk menjadi satu melawan Joko Widodo. Faktor ketiga, pihak oposisi mempunyai kepentingan masing-masing sehingga tidak fokus dalam menjalankan strategi bertarung dalam Pilpres 2019 secara efektif,” ujar mahasiswa Doktoral Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia.

Saat ini pihak oposisi masih belum bisa menjawab tantangan Pilpres 2019 dengan baik. Alih-alih oposisi bisa mendeklarasikan jagoannya dan mengumumkan program andalannya, namu pihak oposisi justru terlihat galau dan sibuk dengan berbagai kalkulasi politik, seperti mengulur-ulur waktu. Akhirnya, karena bagaimanapun pertandingan harus sudah dilakukan, maka cara mereka untuk melawan Joko Widodo adalah dengan melakukan kampanye hitam, menyebarkan narasi negatif terhadap pemerintah, Joko Widodo, dan partai pengusungnya.

Stanislaus mengatakan, cara-cara yang dilakukan oleh pihak oposisi ini perlu disikapi dengan bijak oleh pemerintah. Jika penyebaran isu negatif tersebut dilakukan terus menerus, tanpa ada counter (kontra narasi kampanye hitam) dari pemerintah, maka penerima narasi isu negatif tersebut akan menganggap bahwa hal tersebut adalah kebenaran. Tentu saja hal ini sangat berbahaya bagi pemerintah terutama bagi Joko Widodo yang akan maju lagi dalam Pilpres 2019. 

Pihak pemerintah perlu mengambil langkah yang cepat terkait adanya isu-isu negatif yang melemahkan program pemerintah. Kontra-narasi atas isu tersebut harus dengan cepat dilakukan. Bahkan jika ternyata hal tersebut adalah fitnah maka perlu dilakukan tindakan hukum. Kecepatan tindakan pemerintah ini perlu dilakukan agar isu negatif yang disebarkan tersebut tidak membuat kegaduhan dan kebingungan di masyarakat. 

Selain pemerintah, kata Stanislaus, koalisi partai pendukung Joko Widodo perlu bergerak cepat untuk melakukan kontra-narasi atas isu-isu negatif yang menyerang Joko Widodo dan partai pengusungnya. Kontra-narasi ini wajib dilakukan untuk menyegah hal tersebut dianggap sebagai kebenaran oleh masyarakat.

Kontra-narasi yang dilakukan pemerintah yang prosedural dan birokrasi biasanya akan lambat dan menggunakan bahasa formal, dan kurang cepat untuk menandingi narasi negatif yang disebarkan pihak oposisi. Tim sukses dari koalisi partai pengusung Joko Widodo harus melakukan kontra-narasi ini secara cepat dan masif.

Pilpres 2019 harus dilakukan dengan sehat, damai, dan menghasilkan Presiden dan Wakil Presiden yang berkualitas dan mampu mengayomi seluruh warga negara. Cara-cara yang dilakukan untuk bertanding dalam Pilres 2019 tidak boleh berdampak pada kegaduhan dan menurunya legitimasi negara. Narasi negatif dalam kampaye hitam yang terus-menerus dilakukan akan berdampak panjang, termasuk persepsi internasional terhadap demokrasi Indonesia. 

Situasi kondusif negara, termasuk di dalamnya keragaman, persatuan dan kesatuan, stabilitas ekonomi harus tetap dijaga. “Kepentingan negara harus diutamakan jauh melebihi kepentingan pribadi dan golongan. Jabatan dan kedudukan tertinggi di negara ini tidak boleh diperoleh dengan cara-cara kampanye hitam apalagi dengan kemasan identitas SARA. Presiden dan Wakil Presiden Indonesia harus dihasilkan dari proses demokrasi yang sehat, bukan dengan cara mobokrasi,” pungkasnya. (Very)

 

Artikel Terkait