Nasional

Survei dan Cara Menaikkan Elektabilitas dengan Cerdas

Oleh : very - Selasa, 24/04/2018 10:38 WIB

STANISLAUS RIYANTA, Mahasiswa Doktoral Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia. (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Salah satu perangkat yang digunakan oleh pemangku kepentingan politik untuk menentukan langkah dalam pemilu adalah hasil survei, terutama yang dilakukan oleh pihak independen. Litbang KOMPAS sebagai lembaga yang tidak berafiliasi dengan partai politik menjadi salah satu lembaga yang hasil surveinya cukup akurat dan menjadi rujukan bagi para pengambil keputusan politik.

Menjelang Pilpres 2019, Litbang KOMPAS mengeluarkan hasil survei yang cukup menarik. Survei yang dilakukan oleh Litbang KOMPAS terhadap elektabilitas tokoh-tokoh yang potensial maju dalam Pilpres 2019 menunjukkan  hasil bahwa elektabilitas Prabowo Subianto dan Gatot Nurmantyo cenderung menurun. Sebaliknya elektabilitas Joko Widodo terus naik.

Hasil detail survei yang dilakukan pada 21 Maret-1 April 2018 tersebut adalah elektabilitas Prabowo Subianto turun, dari angka 18,2 persen pada 6 bulan lalu sekarang menjadi 14,1 persen. Elektabilitas Joko Widodo naik dari angka 46,3 persen pada 6 bulan lalu sekarang menjadi 55,9 persen. Gatot Nurmantyo mengalami penurunan elektabilitas, yang pada 6 bulan lalu sebesar 3,3 persen, sekarang menjadi 1,8 persen. 

Mahasiswa Doktoral bidang Kebijakan Publik, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, Stanislaus Riyanta mengatakan, ada beberapa usulan langkah yang bisa dilakukan untuk menaikkan elektabilitas.

“Pertama adalah membangun koalisi yang kompak, kuat dan satu suara. Perbedaan suara dalam satu koalisi akan menjadi celah kerawanan yang bisa mengurangi elektabilitas calon yang diusung dan partai politik,” ujarnya di Jakarta, Selasa (24/4/2018).

Langkah kedua, katanya, adalah meyakinkan kepada para pendukung, loyalis, dan masyarakat akan keteguhan tekad dan kemantapan untuk mengikuti Pilpres 2019. Cara meyakinkan ini juga harus logis, dengan menyertakan koalisi partai yang memenuhi syarat untuk maju dalam Pilpres. Selain itu untuk menguatkan langkah ini, calon dan tim suksesnya harus menyampaikan program kerja unggulan guna menandingi program kerja lawan politiknya.

“Langkah ketiga adalah dengan cara menunjukkan bahwa kapabilitas yang dimilikinya lebih bagus dari lawan politik yang sudah ada. Capres-cawapres dan tim sukses juga harus meyakinkan masyarakat bahwa sumber daya yang dimilikinya mampu untuk menggerakkan mesin politik dalam pertarungan Pilpres 2019,” ujarnya. 

Pihak petahana mempunyai keunggulan untuk menggerakkan sumber dayanya melalui program-program pemerintah. Hal ini tentu sangat menguntungkan mengingat ada bukti nyata yang telah dilakukan. Kampanye dapat dilakukan dengan menunjukkan keberhasilan yang sudah dicapai pemerintah. Perbaikan-perbaikan yang sudah dilakukan dibandingkan dengan pemimpin pada era sebelumnya dapat menjadi materi kampanye yang efektif. 

Sebaliknya kurang berhasilnya petahanan dalam menjalankan pemeritahaan akan menjadi sasaran tembak dari kubu oposisi. Dalam konteks Pilpres 2019, isu-isu seperti hutang negara dan Tenaga Kerja Asing akan menjadi peluru yang efektif bagi pihak oposisi untuk menurunkan elektabilitas pihak petahana.

Bagi pihak oposisi, kelemahaannya adalah belum bisa menunjukkan hasil kerja nyata. Pihak oposisi bisa menawakan program kerja yang lebih baik terutama untuk menjawab permasalahan program kerja pihak petahanan yang belum berhasil. Pihak oposisi biasnya mempunyai kecenderungan untuk mencari kelemahan dan kegagalan kubu petahana. Hal ini sebaiknya tidak menjadi strategi utama. Tim sukses dari pihak oposisi sebaiknya lebih fokus untuk menguatkan mesin politik dengan memastikan kecukupan sumber daya dan mengelaborasi program-program unggulan sebagai daya tarik masyarakat. 

Masih ada waktu bagi pihak-pihak yang ingin mengikuti Pilpres 2019 untuk menaikkan elektabilitasnya. Ketidakpastian dalam politik harus dimanfaatkan sebagai celah untuk bergerak memperoleh dukungan dan menaikkan elektabilitas. Tentu saja untuk menaikkan elektabilitas dengan menggunakan cara-cara yang cerdas, etis dan konstruktif. 

Stanislaus mengatakan, di tengah perkembangan teknologi dan era keterbukaan ini, tentu kesadaran masyarakat akan proses politik menjadi lebih tinggi. Pemilu sebagai salah satu instrumen politik untuk menghasilkan pemimpin diharapkan dapat dilakukan dengan cara-cara yang baik.

“Jika masing-masing pihak yang akan bertanding dalam Pilpres nanti menggunakan cara-cara cerdas, etis, dan konstruktif maka apapun hasil dari Pilpres 2019 nanti, pemenangnya adalah masyarakat Indonesia. Sehingga pasca Pilpres 2019 nanti, masyarakat Indonesia bisa bersatu padu membangun negara ini tanpa adanya luka-luka politik yang memecah belah,” ujarnya. (Very)

Artikel Terkait