Nasional

Titip Napiter di NTT, Grand Design Dekatkan Jarak Teroris dengan Calon Korban

Oleh : very - Senin, 28/05/2018 14:12 WIB

Napiter. (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) mendesak Menteri Hukum dan HAM RI untuk segera menghentikan kebijakan menitip Napi Teroris (Napiter) di Lapas di NTT dan segera menarik kembali 10 (sepuluh) Napiter yang saat ini dititip di sejumlah Lapas di NTT ke Jakarta atau Nusakambangan.

Penyerangan di Mako Brimob dan bom bunuh diri di beberapa Gereja di Surabaya, cukup mengkhawatirkan masyarakat NTT. Hal itu diperkuat lagi dengan pernyataan Kepala BIN NTT tanggal 25 Mei 2018, meminta agar jangan titip lagi Napiter ke NTT, karena berdasarkan informasi BIN NTT, aktivitas sekelompok orang di sejumlah tempat di NTT menggambarkan afiliasi aktivitas kelompok itu pada ISIS, HTI dan gerakan radikal lainnya.

“Bisa dibayangkan keberadaan 10 (sepuluh) Napiter titipan di beberapa Lapas di NTT, yaitu di Kabupaten Kupang, Atambua, Alor, Sumba Timur, Sumba Barat dan Manggarai, berpotensi mengganggu keamanan dan ketertiban serta rasa nyaman masyarakat NTT, bahkan bisa merusak kebhinekaan dan toleransi masyarakat NTT,” ujar Koordinator TPDI, Petrus Selestinus di Jakarta, Senin (28/5/2018).

Peringatan dari Gubernur NTT dan BIN NTT, untuk meningkatkan keamanan dan mengawasi secara ketat keberadaan Napiter di beberapa Lapas dan Rutan di NTT, merupakan signal kuat bahwa keberadaan Napiter di Lapas-Lapas di NTT, terhubung dengan aktivitas kelompok yang berafiliasi dengan ISIS bahkan dinilai sudah disusupi kelompok ISIS.

Eskalasi dari aksi bom bunuh diri di Surabaya dan aksi brutal Napiter di Mako Brimob beberapa waktu yang lalu, sudah sungguh-sungguh memberikan gambaran nyata betapa Napiter titipan di NTT sama sekali tidak menguntungkan posisi NTT dan tidak selaras sengan sikap publik NTT yang sudah menjadikan teroris sebagai musuh rakyat.

Petrus mengatakan, masyarakat NTT tentu berkeberatan dan menilai kebijakan titip Napiter di Lapas-Lapas di NTT sebagai kebijakan yang kontraproduktif, karena seakan-akan hendak mendekatkan jarak para teroris dengan calon korbannya, disamping memberi keleluasaan bagi Napiter untuk membangun sel-sel baru di NTT.

BIN NTT sudah mengkonstatir bahwa sejumlah mantan Napiter diduga kuat telah menjalin  komunikasi dan kerja sama dengan para anggota dan pengurus HTI di NTT bahkan dengan  sejumlah alumni ISIS yang sudah berada di NTT untuk menjadikan NTT sebagai basis gerakan.

“Dengan demikian kebijakan menempatkan 10 (sepuluh) orang Napiter secara terpisah dan tersebar di di Lapas-Lapas berbeda di beberapa Kabupaten di NTT, telah menimbulkan kecurigaan masyarakat NTT bahwasannya sebuah ‘grand design’ telah disiapkan untuk mendistribusi dan memperluas jaringan teroris di NTT secara bertahap atas nama titipan Napiter. Disini Pemerintah dan Masyarakat NTT telah kecolongan,” ujar Petrus.

Karena itu, katanya, sudah waktunya pusat menghentikan model pendekatan kekuasaan yang berlebihan terhadap daerah, termasuk juga dengan penempatan Napiter di NTT. Karena menitip Napiter di NTT tanpa sosialisasi dan tanpa meminta persetujuan masyarakat, jelas sebagai praktek pendekatan kekuasaan yang tidak diinginkan oleh masyarakat NTT bahkan dinilai sebagai sikap yang kurang beradab, tidak transparan dan mengabaikan suara publik NTT sebagai pihak yang juga punya tanggung jawab terhadap persoalan kamtibmas.

Masyarakat NTT memahami bahwa budaya politik untuk saling mendengarkan antara Pemerintah dan Masyarakat terkait kebijakan yang strategis, adalah bagian dari kewajiban pemerintah dalam menegakan demokrasi dan sebagai cara pemerintah memberi penghormatan terhadap demokrasi dan HAM bagi warga masyarakatnya.

“Karena itu Pemerintah tidak boleh hanya mementingkan HAM-nya Napiter, sedangkan HAM masyarakat NTT diabaikan. Hentikan kebijakan yang selalu menganggap semua keputusan yang datang dari pusat selalu benar dan wajib ditaati secara buta tuli,” ujar Petrus.

Napiter titipan itu bisa saja lebih leluasa menjalankan aksinya membangunan jaringan teroris di NTT dari dalam Lapas, sehingga Lapas di NTT bukannya bertujuan memperbaiki perilaku Napiter sesuai dengan tujuan pemidanaan, tetapi justru menjadi pintu masuk bagi penguatan jaringan sel-sel teroris ke NTT, lewat kunjungan keluarga dan sahabat sehingga berpotensi mempermudah berkembang biaknya sel-sel teroris di NTT sebagai Provinsi yang terkenal sangat Toleran dan Rukun dalam menjaga kedaulatan NKRI.

Petrus mengatakan, yang dikhawatirkan sekarang adalah apakah jaringan sel-sel tidur binaan teroris profesional yang sudah menyebar di NTT sudah dipetakan dan kelak bisa dimatikan oleh BIN dan Aparat Penegak Hukum kita. Jika tidak, maka NTT tinggal menunggu waktu yang tepat bagi teroris untuk membuat masalah besar yang menggegerkan di NTT sebagai daerah baru target para teroris yang berdampak menggegerkan Indonesia bahkan dunia. 

Penitipan Napiter di NTT, diduga kuat dilakukan  tanpa ada koordinasi dengan Hakim Pengawas dan Pengamat dari Pengadilan yang memutus perkara Napiter dengan Hakim Pengawas dan Pengamat pada Pengadilan Negeri yang di wilayah hukumnya menerima titipan Napiter, sebagaimana hal itu diatur dalam KUHAP dan SEMA No. : 7 Tahun 1985. Jika demikian halnya, maka penitipan Napiter dimaksud dapat ditafsirkan sebagai upaya untuk menjauhkan Napiter dari pengawasan dan pengamatan hakim pengawas dan pengamat sesuai KUHAP dan mendekatkan "pelaku teror" dengan "calon korbannya".

Petrus menambahkan, jika ini yang terjadi, maka implikasi hukumnya adalah penitipan Napiter menjadi cacat hukum dan bermasalah secara hukum dan politik karena keluar dari tujuan pemidanaan itu sendiri.

“Ini bisa menimbulkan tafsir yaitu sebagai sebuah ‘grand design’ untuk mempermudah kerja para teroris, apalagi para teroris memiliki kemampuan untuk membungkus identitas aslinya dengan profesi apa saja demi menyamarkan identitas aslinya dan tujuan mereka yang sesungguhnya, sementara Pemerintah dan Masyarakat NTT telah kecolongan,” pungkasnya. (Very)

Artikel Terkait