Nasional

Gerakan Nasional Kontra-Radikalisme

Oleh : very - Rabu, 06/06/2018 08:27 WIB

Gerakan Nasional Kontra-Radikalisme. (Foto: Ilustrasi)

 

Oleh Stanislaus Riyanta

Indonesia dikejutkan dengan aksi bom bunuh diri yang dilakukan oleh keluarga. Dalam dua hari yaitu Minggu dan Senin, 13-14/5/2018, tiga keluarga yang diduga merupakan satu jaringan melakukan aksi bom bunuh diri di berbagai tempat yang berbeda. Tiga keluarga tersebut melakukan aksi bunuh diri mengajak anggota keluarga lainnya yang masih berusia anak-anak.

Fenomena terjadinya bom bunuh diri dengan melibatkan keluarga dengan perempuan dan anak-anak perlu dicermati. Aksi ini baru pertama kali terjadi di Indonesia, meskipun sudah biasa dilakukan oleh kelompok ISIS di Timur Tengah. Sebelumnya rencana aksi bom bunuh diri oleh perempuan dengan menggunakan bom panci dengan rencana sasaran Istana negara digagalkan oleh aparat keamanan.

Suami-istri Dita Supriyanto dan Puji Kuswati serta keempat anaknya melakukan aski bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya (13/5/2018). Keenam anggota keluarga tersebut tewas akibat bom bunuh diri tersebut. Bom di Gereja Santa Maria, terjadi sekitar pukul 06.30 WIB, dilakukan oleh kedua anak lelaki YF (18) dan FH (16). Kemudian Puji Kuswati bersama dua anak perempuannya FS dan P melakukan aksi bom bunuh diri di GKI Jalan Diponegoro. Sedangkan Dita melakukan aksi bom bunuh diri dengan mobilnya di Gereja Pante Kosta di Jalan Arjuno.

Sehari kemudian, satu keluarga yang merupakan jaringan yang sama dengan pelaku bom tiga gereja di Surabaya, melakukan aksi bom bunuh diri di Mapolrestabes Surabaya. Tri Murtono (suami, 50 thn) dan  Tri Ernawati (istri, 43 tahun) bersama tiga anaknya yaitu MDAM (18), MDSM (14) keduanya laki-laki, dan putri perempuan bungsunya AAP (7), melakukan aksi bom bunuh diri dengan menggunakan dua kendaraan bermotor roda dua. Dalam aksi ini anak perempuan tersebut selamat, dan lainnya tewas di tempat.

Malam harinya di Rusun Wonocolo Sidoarjo terjadi ledakan bom yang oleh polisi dinyatakan bahwa pelakunya adalah teroris. Aksi tersebut juga dilakukan oleh satu keluarga yaitu Anton Febrianto (47), kemudian istri Anton yaitu Puspita Sari (47), dan LAR (17) anak pertama, AR (15, anak kedua Anton), FP (11, anak ketiga Anton), GHA (11, anak keempat Anton). Dalam aksi ini Anton, Puspita dan LAR tewas, sementara tiga lainnya luka-luka.

Rangkaian aksi teror bunuh diri tersebut merupakan kejadian serius dan tidak bisa diremehkan, apalagi dianggap sebagai sebuah rekayasa. Kapolri Tito Karnavian dalam Middle East Special Operations Commanders Conference (MESOC) menyebutkan bahwa terdapat 2.000 orang militan alumni Afghanistan dan Filipina di Indonesia. Data lain yang dirilis oleh Polri dan BNPT disebutkan bahwa WNI yang bergabung dengan ISIS di Suriah sekitar 500 orang. Jika saat ini sudah terjadi arus balik karena situasi di Irak dan Suriah tidak menguntungkan, maka para simpatisan ISIS yang kembali ke Indonesia ini patut diwaspadai keberadaanya.

Tito Karnavian menyebutkan selama 2002-2018 sebanyak 1.441 orang pelaku teror ditangkap, 1.035 orang dihukum, dan 4 orang divonis mati. Fakta yang cukup mengejutkan disampaikan oleh Kepala BNPT Suhardi Aliyus (11/10/2016) di STIK-PTIK Kebayoran Baru Jakarta Selatan, bahwa 20 persen napi teroris kembali menjadi teroris setelah menjalani hukuman. Hal ini menunjukkan bahwa hukuman yang dikenakan terhadap pelaku teror tidak membuat mereka jera.

Program deradikalisasi tidak mudah dilakukan. Sementara proses radikalisasi, sebagai akar dari terorisme, semakin gencar terjadi di Indonesia. Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menyebutkan bahwa  konten radikal bisa mempengaruhi 500 orang menjadi simpatisan paham radikal per harinya. Ryamizard menyampaikan hal ini pada saat memberi kuliah umum kepada mahasiswa pascasarjana di Rajaratnam School of International Studies, Singapura (10/7/2017).

 

Gerakan Nasional

Pemerintah perlu melakukan pencegahan terorisme pada akarnya yang bisa dilakukan secara bersama-sama menjadi suatu gerakan nasional melibatkan masyarakat. Perilaku radikal sebagai akar dari terorisme harus dicegah sejak dini. Pencegahan perilaku radikal ini paling efektif jika bisa dilakukan pada tingkat keluarga, mengingat keluarga adalah lingkungan yang paling dekat dan dipercaya oleh individu.

Fakta terjadinya aksi bom bunuh diri yang dilakukan oleh seluruh anggota keluarga membuktikan bahwa radikalisasi yang terjadi pada keluarga tersebut sudah sangat kuat dan tidak terbendung. Tindakan kontra radikalisasi harus dilakukan di entitas keluarga, sebagai kumpulan atau kelompok terkecil dalam masyarakat. Hal ini perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya aksi-aksi serupa yang tentu saja sangat merugikan.

Keluarga-keluarga di Indonesia harus dibekali dan diberi kemampuan untuk mengenali, mendeteksi dan mencegah perilaku radikal. Pengenalan ini bisa dilakukan dengan media kegiatan yang melibatkan ibu-ibu pada aktifitas sosial kemasyarakatan dan keagamaan. Kerjasama antara Kementrian Agama, Pemerintah Daerah dan masyarakat dalam program ini tentu saja diperlukan.

Jika ditemukan anggota keluarga yang berperilaku radikal, maka keluarga dapat melaporkan kepada pemerintah setempat untuk kemudian dilakukan penanganan sedini mungkin. Bentuk-bentuk konseling dan pendampingan oleh orang-orang yang dipercaya, akan lebih diterima daripada oleh petugas dari aparat keamanan atau penegak hukum.

Pengetahuan tentang bahaya idologi radikal perlu dibekali kepada ibu-ibu di Indonesia. Peranan seorang ibu dalam keluarga sangat vital karena akan mempengaruhi pola pikir anak-anaknya. Jika seorang ibu mempunyai daya tangkal yang baik terhadap ideologi radikal maka besar kemungkinan anggota keluarga tersebut dapat terlindungi, meskipun faktor lingkungan dan pergaulan anak yang tidak terpantau oleh seorang Ibu terhadap anaknya harus diperhitungkan.

Bagi keluarga yang sudah terpapar paham radikal, maka lingkungan terdekatnya yang akan memberikan perhatian. Hal ini efektif karena sistem sosial di Indonesia yang masih baik dapat dimanfaatkan untuk saling memberi perhatian kepada lingkungan terdekatnya terutama jika sudah terdapat indikasi yang mengarah kepada perilaku radikal.

Pemerintah daerah bersama dengan perangkatnya harus pro-aktif untuk mewujudkan keluarga-keluarga di wilayahnya mempunyai ketahanan dan daya tangkal terhadap perilaku radikal. Pengawasan dan pembinaan secara berjenjang dapat dilakukan dan efektif jika ada pemahaman yang sama mengenai bahaya radikalisme dan terorisme. Proses untuk mewujudkan pemahaman yang sama inilah yang harus dilakukan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah dan lembaganya yang bersentuhan langsung dengan masyarakat.

Dengan gerakan nasional yang berkolaborasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan keluarga-keluarga, maka pencegahan terorisme lebih efektif untuk dilakukan. Pencegahan yang berbasiskan ketahanan keluarga dan perhatian sosial diharapkan efektif untuk mewujudkan Indonesia bebas dari terorisme. Tentu saja hal ini bisa dilakukan jika pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan lembaga negara lainnya mampu berkolaborasi dan menyingkirkan ego sektoralnya.

*) Stanislaus Riyanta, pengamat terorisme, mahasiswa Doktoral bidang Kebijakan Publik Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia.

Artikel Terkait