Nasional

Salam Metal dari Tersangka KPK: Politik Ekonomi Korupsi

Oleh : very - Kamis, 07/06/2018 12:59 WIB

Bupati Purbalingga mengepalkan tangan ketika acara di KPK. (Foto: Ist)

Muhammad AS Hikam *)

Indonesia memang sedang menderita sakit parah. Bukan rakyatnya, tetapi para pemimpinnya. Coba tengok gambar di bawah ini. Bupati Purbalingga, Tasdi (T), yang tertangkap tangan dalam operasi yang digelar KPK, malah tampil pede dan bahkan mengacungkan tiga jarinya, yang dikenal dengan "salam Metal".

Orang tidak usah menjadi pakar dalam ilmu psikologi untuk tahu bahwa ada yang salah dalam tindak-tanduk yang `nyleneh" dari si tersangka ini. Namun, sejatinya tampilan seperti ini tidak terlalu jauh bedanya dengan para koruptor yang sudah memakai ropi oranye KPK, tetapi malah cengengesan dan wajahnya sumringah. 

Seolah-olah mereka ingin menyampaikan pesan kepada publik dan rakyat Indonesia bahwa kasus korupsi bukan hal yang buruk dan tidak mencoreng nama, kredibilitas, karir, ataupun keluarga mereka. Ketangkap korupsi hanyalah soal "sial" saja.

Rasionalisasi para koruptor seperti itu menjadi kian dapat dipahami ketika kalkulasi antara sanksi yang dijatuhkan dengan keuntungan yang diperoleh. Politik ekonomi korupsi (the political economy of corruption) akan menunjukkan bahwa koruptor akan semakin beruntung jika ia bisa melalap uang negara yang sebesar-besarnya. Toh sanksinya tidak akan seberapa, apalagi kalau Hakim-hakimnya di tingkat pertama punya kecenderungan memangkas tuntutan Jaksa tipikor secara signifikan, misalnya lebih dari 2/3nya. Ditambah, sanksi sosial yang nyaris tidak ada dari masyarakat terhadap para koruptor tersebut!

Akhir-akhir ini malah beredar kabar bahwa Presiden Jokowi (PJ) setuju jika para mantan koruptor menjadi caleg; alasan beliau karena hal itu merupakan hak konstitusional mereka. Ini berbeda dengan sikap KPU dan KPK yang berusaha menolak para mantan koruptor tersebut menjadi caleg. Mengapa? Secara nalar sehat, tentu kedua lembaga tersebut khawatir bahwa para mantan tersebut akan melakukan tindak pidana korupsi yang sama atau mungkin lebih besar jika terpilih. Dan tidak ada jaminan bahwa para pemilih akan menolak mereka di bilik suara, karena berbagai alasan, termasuk kuatnya money politics.

Walhasil, alasan-alasan politik ekonomi di atas membantu menjelaskan mengapa tidak ada efek jera dalam tindakan hukum terhadap para koruptor di negeri ini. Tentu saja ini masih ditambah lagi dengan mental dan budaya dalam masyarakat yang permisif terhadap tipikor. Bukan hanya rakyat, tetapi para pejabat negara sendiri yang suka menjenguk para tahanan korupsi, seakan-akan memperteguh pandangan bahwa mereka itu hanya sedang sial. Bukan sebagai para penghancur negara dan bangsa!

Jadi, kalau pejabat negara seperti Tasdi dan lain-lain malah tampil sumringah saat ditangkap KPK, sebenarnya hal itu menjadi salah satu bukti bahwa pencegahan dan penindakan korupsi di negeri ini sangat tidak membuat jera para pelakunya. Karenanya sudah waktunya mereka itu diberikan sanksi yang benar-benar mampu membuat jera, bukan saja pelaku-pelaku langsung tetapi juga orang-orang sekitarnya. Korupsi uang negara, kalau perlu, harus disetarakan dengan aksi terorisme. Aparat hukum yang lembek terhadap korupsi harus dianggap sebagai pihak yang melindungi mereka dan dihukum berat.

Ini semua memerlukan nyali, bukan hanya sekedar retorika apalagi janji politik. Sebab korupsi bukan saja merupakan suatukejahatan berat dan luar biasa (extraordinary crime), tetapi juga MUSUH BESAR bangsa dan Negara. Paham?!

*) Penulis adalah Pengamat Politik dari President University

Artikel Terkait