Nasional

Lancarkah Pilkada 2018?

Oleh : indonews - Sabtu, 09/06/2018 16:01 WIB

ilustrasi pilkada serentak (istimewa)

Oleh : Pramitha Prameswari *)

Tanggal 27 Juni 2018, masyarakat di 171 daerah akan melaksanakan Pilkada tahun 2018, namun pertanyaan besarnya adalah lancarkah Pilkada 2018? Pertanyaan ini patut dikemukakan, karena berbagai kalangan meragukan Pilkada 2018 dapat dilaksanakan serentak sesuai jadwal waktu yang telah ditetapkan. Setidaknya ada beberapa masalah yang mengganjal antara lain pelaksanaan kampanye Pilkada 2018 yang berjalan aman, namun dapat dinilai gagal memberikan pendidikan demokrasi yang substansial terhadap masyarakat; Profesionalisme beberapa oknum penyelenggara Pilkada yang diragukan, karena beberapa diantaranya dipecat DKPP RI; Masih tidak netralnya ASN di sejumlah daerah.

 

Kampanye Pilkada 2018

Momentum bulan Ramadhan terus dimanfaatkan untuk mensosialisasikan program-programnya melalui kegiatan keagamaan untuk memperkenalkan diri dan menyampaikan janji-janji politik, sehingga dapat membuat masyarakat antusias dan tertarik menjatuhkan pilihannya terhadap Paslon tertentu. Parpol tampaknya juga berupaya memaksimalkan dukungan untuk dapat memenangkan Pilkada tersebut, baik dengan konsolidasi dan memanfaatkan kepala daerah, hubungan keluarga dan Ormas serta Ponpes, serta tokoh-tokoh yang memiliki political credentials yang positif mengingat beberapa daerah yang menyelenggarakan Pilkada merupakan kantung-kantung suara besar dalam Pemilu 2019 mendatang, sehingga kemenangan dalam Pilkada dapat dijadikan sebagai deviden politik dan bench-mark untuk menyolidkan langkah politik guna memenangkan Pilpres 2019.

Masa kampanye yang dimanfaatkan beberapa Paslon dan elite Parpol peserta Pilkada serentak 2018 dengan berinteraksi langsung dengan masyarakat di sejumlah daerah, seperti blusukan dan dialogis menunjukkan masih efektifnya cara tersebut untuk mendapatkan dukungan dan simpati masyarakat dengan mengetahui secara langsung isu-isu yang terjadi di masyarakat, sekaligus menyampaikan sejumlah janji Paslon dalam kampanye sehingga dapat didengar secara jelas oleh masyarakat.

Metode blusukan dan dialog terbuka dengan cara bertatap muka secara langsung masih menjadi pilihan Paslon, selain sebagai upaya untuk memperkenalkan jati diri dan agar lebih dikenal oleh para kontestan, juga untuk mengampanyekan janji-janji politiknya kepada masyarakat pemilih. Walaupun masih dalam batas kewajaran, tetapi perlu diwaspadai oleh penyelenggara Pilkada adanya indikasi yang memanfaatkan momentum perayaan Idul Fitri, termasuk dengan pembagian kaos dan pesta hiburan rakyat sebagai modus dalam kampanye, yang mengarah terjadinya praktik money politics.

Massa kampanye terbuka tampaknya dimanfaatkan secara maksimal oleh Paslon selain untuk mengampanyekan janji-janji politiknya kepada masyarakat pemilih, juga untuk memperkenalkan diri kepada masyarakat sekitar tentang figur mereka. Dalam hal ini, penyelenggara Plkada perlu mewaspadai berbaga modus saat kempanye, seperti pemberian voucer belanja, pembagian Sembako menjelang Idul Fitri, karena dapat dimanfaatkan oleh Paslon yang kalah dalam Pilkada nanti sebagai alat untuk melakukan gugatan sengketa Pilkada, dengan alasan terjadinya pengabaian terhadap praktik money politics. Begitu pula dengan antisipasi penggunaan rumah ibadah untuk berkampanye, agar tidak menimbulkan bentrokan antar massa pendukung dengan mengangkat isu SARA.

Kegiatan Timses Paslon untuk memenangkan Paslon yang diusungnya semain gencar dilakukan. Hal ini mengingat pelaksanaan Pilkada serentak 2018 berlangsung di kantong-kantong suara dalam Pemiu 2019, sehingga mereka berupaya dapat memenangkan Pilkada, karena dapat menjadi tolak ukur mengukur kekuatan dan peluang memenangkan Pilpres 2019.

Sementara itu, eskalasi suhu politik antar Parpol pendukung dan Timses masing-masing Paslon semakin memanas, yang terlihat dari beberapa indikator seperti sengitnya persaingan mendapatkan simpati pemilih sehingga Paslon yang berkompetisi menyampaikan materi kampanye yang populis, masif dan terstruktur dengan melibatkan mesin-mesin politik Parpol, termasuk melakukan penggalangan, dan propaganda untuk menarik simpati dan memobilisasi dukungan masyarakat terhadap jagoan mereka, dan disisi lain terus melakukan kontra narasi dan kontra substansi kampanye yang disampaikan Paslon yang menjadi rivalnya.

Pelanggaran dalam pelaksanaan Pilkada Serentak 2018 masih tidak terhindarkan yang secara keseluruhan akan mempengaruhi hasil Pilkada dan kualitas demokrasi, sehingga dapat muncul isu tentang lemahnya penegakan hukum Pemilu. Masih adanya temuan pelanggaran dalam tahapan kampanye sebagai bagian dari proses Pilkada dapat menjadi ajang pemicu kekisruhan yang berujung pada kerusuhan, konflik, dan kerawanan instabilitas Polkam.

Beberapa pelanggaran seperti perusakan Alat Peraga Kampanye (APK) di Kota Parepare, Sulawesi Selatan berpotensi mengganggu kondusifitas di wilayah yang dikhawatirkan akan berdampak pada saling curiga antar massa pendukung Paslon, sehingga rawan terjadinya gesekan yang mengarah pada konflik di masyarakat.   Sedangkan, ditemukannya mushola yang digunakan sebagai Posko Tim Relawan salah satu Pasangan Cagub/Cawagub Jawa Timur mengindikasikan bahwa politisasi agama masih terus mewarnai pelaksanaan Pilkada Serentak 2018.

Sementara aksi unjuk rasa pendukung Pasangan Yulius Kayame-Martinus Keiya dapat berimplikasi meningkatkan eskalasi gangguan keamanan dalam pelaksanaan Pilkada Serentak 2018 di wilayah Papua. Masalah Pilkada di Papua patut diatensi agar tidak terjadi penundaan Pilkada yang dapat berdampak nasional dan internasional. Ketidakpuasan massa pendukung pasangan yang dinilai tidak memenuhi syarat, diperkirakan akan berlanjut saat pelaksanaan rapat pleno penetapan Paslon Pilkada Paniai 2018 dan rawan diekploitasi pihak-pihak yang berupaya mengganggu pelaksanaan Pilkada di KabupatenPaniai, Papua.

Perubahan dukungan grass roots terhadap Paslon masih terjadi di Kabupaten Karanganyar. Hal ini ditandai selain sebagai dinamika dalam proses demokrasi, juga adanya indikasi janji politik yang membuat perubahan dukungan dari para simpatisan. Hal ini perlu diwaspadai oleh penyelenggara Pemilu, dengan mengantisipasi terjadinya bentrokan dari para simpatisan. Sementara strategi penggalangan terhadap tokoh agama maupun tokoh adat untuk mendulang suara semakin masif dilakukan dengan mendatangkan elite politik. Kedatangan elite politik, selain sebagai magnet yang dapat mendatangkan massa simpatisan Paslon dalam jumlah yang besar, hal ini selain meningkatkan semangat kontestan juga rawan timbulnya provokasi di tengah massa.

 

Soal Penyelenggara Pilkada

Pergantian pimpinan penyelenggara (KPU) ditengah proses pelaksanaan Pilkada terjadi di Kabupaten Waropen, Papua perlu mendapat perhatian dan proses tindaklanjut agar tidak menghambat pelaksanaan pemungutan suara. Pelanggaran ditenggarai karena dalam melaksanakan tugasnya tidak berpedoman pada tata cara, prosedur, dan mekanisme yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, sehingga harus diberikan sanksi administrasi yang tegas.

Terkait dugaan intimidasi oleh Timses Paslon yang terjadi di Kota Samarinda, perlu ditindaklanjuti dengan dilengkapi dengan bukti dan data yang kuat demi menjaga kehormatan penyelenggara Pemilu, serta jika tidak dilaporkan akan menjadi contoh buruk bagi publik.

Sedangkan terhadap penyelenggara Pemilu yang sikap dan perilakunya tidak netral, tidak jujur, dan tidak profesional harus disidangkan ke muka sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu RI (DKPP RI).

Kemudian rencana tim pemenangan paslon mengajukan keberatan ke Bawaslu terkait keberpihakan oknum PPK dalam Pilkada Gubernur Sumatera Utara  dimaksudkan selain meminta agar Bawaslu segera mengambil langkah hukum untuk menuntaskan masalah tersebut, sekaligus untuk mendesak penyelengga Pilkada mengganti oknum PPK tersebut. Hal ini perlu segera dilakukan agar pelaksanaan Pilkada Gubernur Sumut dapat berjalan aman dan lancar, sekaligus agar tidak dimanfaatkan pihak yang kalah dalam Pilkada mengajukan sengketa Pilkada.

 

Ketidaknetralan ASN/PNS

Sementara memanasnya suhu politik telah menyeret peran Aparatur Sipil Negara (ASN) yang seharusnya bersikap netral, tapi pada saat Pilkada Serentak 2018 telah terjadi pelanggaran terkait netralitas ASN yang terlibat dalam proses pemenangan, sejak dari pencalonan, kampanye, bahkan pengerahan massa untuk memenangkan salah satu kontestan seperti yang terjadi di Kab Halmahera Tengah, Maluku Utara. Pelanggaran tersebut diperkirakan akan terus dilakukan oleh beberapa oknum ASN di daerah lain, bila sanksi belum juga diterapkan secara tegas. Untuk itu perlu segera diberikan sanksi terhadap segala bentuk pelanggaran ASN yang tidak netral, dengan tujuan selain sebagai wujud penegakan wibawa penyelenggara juga dapat dijadikan shock therapy bagi ASN di daerah lain.

Langkah Panwaslu terus memonitor kasus keterlibatan ASN dalam Pilkada serentak 2018 sangat tepat dilakukan, hal ini selain untuk memperlihatkan kinerja panwaslu dalam melakukan pengawasan Pilkada. Juga untuk meningkatkan wibawa penyelenggara pilkada yang bertindak netral dan profesional. Sikap tegas Panwaslu terkait ketidaknetralan ASN sangat diharapkan untuk memberikan efek jera.

*) Penulis adalah pemerhati masalah Pilkada. Tinggal di Mranggen, Demak, Jawa Tengah.

Artikel Terkait