Nasional

Problem Kodifikasi RKUHP Masih Menjadi Masalah Serius

Oleh : very - Selasa, 19/06/2018 10:25 WIB

Anggara, Direktur Eksekutif ICJR. (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Isu kodifikasi dalam RKUHP kembali menyeruak. Persoalannya adalah ketika pemerintah mengklaim bahwa RKUHP tidak melemahkan “tindak pidana khusus”.

Namun banyak hal yang terlewatkan oleh pemerintah dan DPR berdasarkan draft terakhir 28 Mei 2018, yang paling rumit soal maslaah kodifikasi dan persoalan aturan peralihan yang belum jelas.

“Kodifikasi seharusnya mempermudah pembaca undang-undang untuk memahami aturan yang memiliki rumpun yang sama dengan lebih sistematis,” ujar Direktur Eksekutif ICJR, Anggara melalui siaran pers di Jakarta, Selasa (19/6/2018).

Pertama, katanya, ketidakjelasan yang dimaksud core crime. Pemerintah dan DPR mendalilkan bahwa beberapa ketentuan dari  undang-undang sektoral yang kemudian dicopy paste ke dalam RKUHP merupaka delik yang bersifat core crime. Dalam konteks ini, ICJR sesungguhnya tidak memahami apa yang dimaksud Pemerintah dan DPR soal Core Crime.

RKUHP, kata Anggara, merupakan undang-undang kodifikasi, bukan umbrella act. “Dalam konteks ini, maka perlu adanya suatu delik yang sekedar hanya cantolan di suatu undang-undang kodifikasi tidak diperlukan. Justru, apabila Pemerintah dan DPR menganggap RKUHP sebagai undang-undang kodifikasi, maka keseluruhan delik harusnya dimasukkan ke dalam RKUHP. Inskonsistensi ini yang menjadi salah satu akar masalah,” ujarnya.

Kedua, ketidakjelasan soal asas dan ketentuan penyimpangan Buku I di undang-undang sektoral. Pemerintah dan DPR mendalilkan bahwa hanya beberapa ketentuan core crime yang masuk ke RKUHP maka UU Sektoral masih berlaku.

Kata Anggara, hal ini memang tepat. “Namun masalah timbul, bagaiaman RKUHP memastikan ketentuan penyimpangan yang khusus untuk UU sektoral masih berlaku bagi ketentuan dalam uu sektoral yang sudah dimasukkan ke RKUHP?,” ujarnya.

Secara tehknis, apabila satu delik, misalnya pasal 2 UU Tipikor, dimasukkan ke dalam buku II RKUHP menjadi Pasal 687 RKUHP, maka nantinya pasal 687 RKUHP harus merujuk buku I RKUHP, bukan lagi UU Tipikor. Masalah muncul, karena dalam konteks ini pemerintah dan DPR tidak secara cermat dan detail menjelaskan penyimpangan beberapa ketentuan dalam UU Tipikor ke dalam RKUHP. Misalnya soal percobaan dan permifakatan jahat yang didipidana sama dengan perbuatan selesai sehingga ancaman pidananya sama dengan delik utamanya dalam UU Tikpikor, tidak ada dalam RKUHP.

Hal ini juga menjawab soal asas retroactive atau semua asas dalam pidana pelanggaran berat HAM dalam RKUHP. “Mencabut delik dalam UU Pengadilan HAM, namun tidak secara tegas menyebutkan kekhususannya dalam RKUHP akan mengakibatkan hilangnya pengaturan itu. Sebab, penyimpangan terhadap buku I (dalam Pasal 205 ayat (1) RKUHP) soal retroactive, tanggung jawab komando, dll hanya berlaku bagi delik pidana dalam UU Pengadilan HAM, bukan Buku II RKUHP, sekalipun delik pidana tersebut ada dalam Bab Tindak Pidana Khusus yang juga tidak berdampak apa-apa,” katanya.

Ketiga, RKUHP membuka ruang duplikasi dan keraguan. Secara asas lex posteriori derogate legi priori (aturan yang baru mengesampingkan aturan yang terdahulu) pemahaman perancang undang-undang terkait kemungkinan tidak adanya pasal duplikasi kususnya untuk delik pada Buku II RKUHP terdengar meyakinkan. Namun begitu, nyatanya tidak semua aturan hanya “dipindahkan” ke dalam RKUHP, beberapa aturan kemungkinan berubah, misalnya aturan dalam pasal 716 RKUHP yang bukan hanya menggantikan pasal 127 RKUHP, namun juga melakukan sejumlah perubahan, hal ini berarti delik yang dipindahkan ke RKUHP tidak secara langsung dicabut dari undang-undang sektoral.

“Dalam tataran tehknis, untuk memastikan adanya kepastian hukum, tidak ada multi tafsir dan keragu raguan, maka perlu adanya aturan penutup yang mencabut ketentuan-ketentuan yang sifatnya duplikasi. RKUHP melakukan hal ini dalam Pasal 731 RKUHP yang secara tegas mencabut beberapa undang-undang agar tidak terjadi pengaturan ganda,” ujar Anggara.

Minimal dari tiga catatan di atas, maka ICJR menilai ada masalah serius terkait kodifikasi dan aturan peralihan dalam RKUHP. Problem penyimpangan asas pada Buku I oleh undang-undang sektoral yang bisa jadi terlewatkan oleh tim perumus RKUHP bukanlah masalah sepele, dampaknya banyak tindak pidana di undang-undang sektoral yang tidak lagi sama penanganannya dan bahkan cenderung mundur seperti khususnya ketentuan untuk tindak pidana pelanggaran berat HAM.

“ICJR menilai bahwa seluruh masalah ini diakibatkan karena tim perancang RKUHP dari pemerintah sangat ngotot untuk membuat KUHP yang seakan-akan Kedubaru dengan sentiment anti kolonial. Apabila tadinya amandemen KUHP dilakukan bertahap sebagaimana usul ICJR dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP, maka kemungkinan permasalahan kodifikasi khususnya bagi tindak pidana di luar KUHP bisa diminimalisasi,” ujar Anggara.

Untuk itu, ICJR merekomendasikan tiga hal terkait masalah ini pada tim Pemerintah dan DPR.

Pertama, dalam hal pemerintah tetap ingin melakukan kodifikasi, maka harus dipastikan bahwa ketentuan ketentuan penyimpangan buku I yang telah diatur dalam undang-undang di luar KUHP berlaku untuk spesifik masing-masing tindak pidana yang dimasukkan ke dalam RKUHP atau Buku I RKUHP merinci kekhususan asas bagi tindak pidana-tindak pidana tertentu dalam BUKU II RKUHP.

Kedua, untuk menghindari duplikasi terutama masalah ketidakpastian hukum dan keraguan, maka ICJR merekomendasikan RKUHP secara tegas menyebutkan dan mencabut pasal mana dalam undang-undang sektoral atau di luar KUHP yang merupakan pasal yang diduplikasi ke dalam RKUHP.

Ketiga, kodifikasi merupakan mekanisme untuk membuat adanya simplifikasi pengaturan dan membuat suatu aturan menjadi sistematis. “Dalam hal pemerintah gagal untuk memastikan adanya simplifikasi dan aturan yang bisa dibaca lebih sistematis, maka sebaiknay beberpaa ketentuan yang sudah diatur di luar KUHP, dicabut dari RKUHP,” pungkasnya.

Artikel Terkait