Pojok Istana

Jokowi, Kembalinya Sang "Anak"

Oleh : very - Kamis, 21/06/2018 15:20 WIB

Jokowi mendatangi rumah keluarganya, Pakdhe Miyono diantar sang ibu. (Foto: Ist)

 

Jakarta, INDONEWS.ID - Sore seusai berlebaran di Istana, Presiden Joko Widodo mudik ke kampung halaman. Ia ke Solo. Ke rumahnya, salam sungkem kepada ibunya. Esok harinya, ia bersama Ibu dan adik-adiknya nyekar ke makam ayahnya.

Seperti ditulis mantan wartawan senior Tomi Lebang, malam itu, sebagaimana orang-orang yang kembali, ia mendatangi rumah keluarganya, Pakdhe Miyono diantar sang ibu. Ia duduk diapit Ibu Noto dan Pakdhe Miyono — yang melipat sebelah kakinya di atas sofa — dengan suguhan secangkir teh. Di atas meja tampak berderet botol-botol minuman bersoda.

“Malam ini, Pak Jokowi benar-benar jadi ‘anak’ kembali,” kata putra Pakdhe Miyono, sepupunya.

Ya, anak yang kembali ke haribaan keluarga, bercengkerama tanpa batas, sebagaimana dulu sebelum ia memasuki belantara politik ibukota yang kejam dan centang perenang. Baru enam tahun lalu ia meninggalkan Solo — kota yang lebih 90 persen penduduk memilihnya sebagai wali kota — untuk menjadi Gubernur Jakarta, lalu menyeberangi silang Monas untuk berkantor di istana sebagai Presiden Republik Indonesia. 

Masa-masa bertahta sebagai orang nomor satu di republik ini adalah tahun-tahun yang singkat tapi sungguh membara oleh dua hal sekaligus: kebencian, dan harapan.

Ia yang datang dari kampung; dari latar orang biasa yang almarhum ayahnya tak tercatat dalam buku-buku biografi; yang berbicara dalam dialek Jawa yang kental tidak ber-elo-gue atau setengah Inggris ala orang Jakarta; yang baru masuk politik setelah lama menekuni usaha perkayuan; mengguncang jagat politik negeri ini dengan loncatan yang langsung ke puncak. Elit-elit Jakarta disalip dalam satu putaran lomba, oleh dukungan besar gerakan sukarelawan seantero negeri. 

Dan kita semua tahu, latar belakangnya yang “lemah” itulah yang memantik segenap kegaduhan: dipertanyakan keturunannya, garis politiknya, agamanya, …. segalanya. Bahkan sebelum dilantik menjadi Presiden pun, Jokowi pun sudah diguncang-guncang. Sampai-sampai, di satu grup perbincangan, seorang pendukung mengatakan: “Melewati satu periode pemerintahan sebagai Presiden ini saja adalah sebuah keajaiban bagi Jokowi.”

Mengapa Jokowi tetap bertahan? Karena impian yang hendak ia wujudkan di negeri ini beririsan dan berhimpitan dengan mimpi-mimpi rakyat banyak. Jokowi, saya — mungkin juga Anda — sama-sama menginginkan sebuah negeri yang berperadaban maju, yang dibangun merata sampai pinggir-pinggirnya, sampai ke tapal-tapal batas yang jauh. 

Saya ingat sepenggal pidato yang ia sampaikan di hadapan wakil rakyat Indonesia setahun lalu, yang menjelaskan ke arah mana gerangan bahtera bangsa ini hendak dibawanya berlayar.

“Tidak mungkin bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju, kalau rumah-rumah rakyat kita di seluruh pelosok nusantara tidak menikmati aliran listrik. Tidak mungkin kita menjadi negara yang kompetitif ketika biaya logistik kita mahal. Tidak mungkin kita menjadi Poros Maritim Dunia, kalau kita tidak mempunyai pelabuhan- pelabuhan yang menjadi tempat bersandar kapal-kapal besar yang mengangkut produk-produk kita. Tidak akan mungkin menjadi bangsa yang berdaulat di bidang pangan, kalau jumlah bendungan dan saluran irigasi yang mengairi lahan-lahan pertanian kita di seluruh penjuru Tanah Air, sangat terbatas,” ujar Presiden Jokowi.

Mimpi-mimpi yang kini mewujud dalam pembangunan infrastruktur masif, siang dan malam, dan berbiaya besar. Jika jalan, jalan tol, jembatan, pelabuhan, bandara-bandara, bendungan-bendungan itu telah rampung kelak, maka bangsa ini pun dengan mudah menganyam kehidupan dan masa depan di atasnya. Bukan untuk Jokowi semata-mata, tapi untuk kita. Anak cucu kita. 

“Karena itulah, saya memahami keharuan yang dalam dari keluarga besar Jokowi di Solo, melihat Sang Presiden datang ke rumah Pakdhe Miyono di malam hari, sebagaimana dulu ketika ia masih seorang keponakan biasa. Baru enam tahun berpindah kota, tapi ia seolah anak yang hilang. Dan malam itu ia kembali,” ujar bekas wartawan Tempo ini.

Selamat Ulang Tahun Tuan Presiden. Hari ini, di usiamu yang ke-57, doa-doa  dan pengharapan dari segenap pelosok negeri ini, bersilangan di keheningan pagi. Semoga dipanjangkan umurmu — tetap sehat, kuat dan tabah. (Very)

 

 

Artikel Terkait