Nasional

Dua Paradigma Perdamaian: Antara Realisme Dan Konstruktivisme

Oleh : indonews - Minggu, 24/06/2018 11:55 WIB

Muhammad AS Hikam. (Foto: Ist)

 

Muhammad AS Hikam *)

“Jika anda ingin ciptakan perdamaian dengan musuh, anda harus mau BEKERJA DG musuh anda. Lalu mereka akan jadi partner.”(Nelson Mandela

Merintis dan mengupayakan resolusi konflik melalui pendekatan perdamaian bukan saja sangat sulit dan lama, tetapi juga cenderung tidak populer, baik bagi lawan maupun kawan sendiri. Karena itu sepanjang sejarah manusia, para pejuang perdamaian jumlahnya tak banyak dan acap mengalami penderitaan serius bahkan mati, serta bisa jadi malah dimusuhi oleh pihak-pihak yang diperjuangkannya.

Kesulitan pendekatan perdamaian sudah dimulai dari konsep "damai" itu sendiri. Jika damai dipahami sebagai ketiadaan atau penghentian perang (the absence of war), maka ketika pihak-pihak yang berkonflik menghentikan peperangan, itu artinya perdamaian sudah dicapai. Paradigma ini paling populer dan digunakan oleh negara dan militer serta pendukung madzhab realisme dalam hubungan internasional. Dengan paradigma ini maka solusi mencegah perang adalah melalui kesiapan dan peningkatan kekuatan yang sedemikian rupa, sehingga musuh tak akan berani atau coba-coba melakukan provokasi atau memulai konflik. Adagium populer, "Si vis pacem para bellum" dan strategi pertahanan melalui "mutually assured destruction" (MAD) adalah ekspressi normatif dan pragmatisnya.

Sebaliknya jika damai dipahami sebagai ketiadaan kekerasan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, termasuk relasi lintas-negara, maka implikasinya berbeda. Sebab ketiadaan perang, meskipun penting dan mulia, masih belum menjamin bahwa perdamaian (yang substantif) telah tercapai. Suatu kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan yang tidak dalam kondisi berperang, bisa saja masih sarat dengan kekerasan terutama kekerasan yang bersifat struktural (structural violence), dilakukan oleh negara maupun kelompok-kelompok dalam masyarakat sipil. Implikasi dari paradigma ini adalah bahwa perdamaian harus "melampaui" upaya meniadakan perang. Bukan berarti peniadaan perang tidak penting, namun ia masih memerlukan pendalaman dan perluasan yang menukik pada peniadaan kekerasan struktural sebagai tujuan.

Paham perdamaian kedua ini masuk dalam apa yg disebut mazhab konstruktivisme, yang berlandaskan pada gagasan atau ide-ide, orientasi budaya, dan norma-norma etik. Kecenderungan normatif dan bahkan moralistik ini membuat paradigma kedua ini acap mendapat cap miring seperti: naif, tak realistis, tak jelas kerangka kebijakannya, atau bahkan mersikir dianggap sebagai pembiaran terhadap konflik atau penindasanKarena paham yang cenderung moralistik dan idealis itu maka paradigma kedua ini acap mendapat cap miring: naif, tak realistis, tak jelas kerangka kebijakannya, atau bahkan mersikir dianggap sebagai pembiaran terhadap konflik atau penindasan. Inilah yang membuat para pejuang perdamaian jenis kedua tersebut, seperti Mahatma Gandhi, Martin L. King, Jr, Dalai Lama, Desmond Tutu, Gus Dur, Nelson Mandela, Paus Fransiskus, dan Jimmy Carter, untuk menyebut beberapa nama besar, harus menghadapi penolakan bukan saja dari pihak yang mereka kritik dan lawan, tetapi tak jarang pula dari kalangan yang dibela.

Secara pragmatis politis, gagasan dan praksis mereka sulit diadopsi menjadi paradigma "mainstream" yang didukung (back up) oleh negara, apalagi di bawah rezim-rezim militer dan/ atau otoriter. Paling banter para tokoh perdamaian tersebut diakui sebagai pejuang dan/ atau pahlawan yang dikenang atau dirayakan sebagai penghormatan dan pencitraan politik.

Berangkat dari pemilahan di atas, kita dapat memahami bagaimana kendala dan tantangan yang dihadapi mereka yang berusaha mencari resolusi konflik melalu jalan damai versi konstruktivisme di negeri kita. Misalnya para tokoh yang mencoba mengupayakan rekonsiliasi nasional terkait para korban dan keluarga korban peristiwa G-30-S/PKI atau pelanggaran HAM berat yang terjadi pada era Orba, dan bahkan juga mereka yang ingin mencari resolusi konflik internasional seperti penindasan terhadap bangsa Palestina, etnis Rohingya, pengungsi Suriah dll.

Umumnya mereka bekerja dengan menggunakan narasi di luar mainstream atau yang dipergunakan oleh pihak yang berkuasa dan bahkan yang hegemonis di kalangan masyarakat sipil. Kendati pihak-pihak ini tidak selalu bekerja di luar Pemerintah atau posisi politiknya berlawanan dengan penguasa, tetapi paradigma yang mereka gunakan sangat mudah dicitrakan atau diposisikan sebagai antagonistik dan kontroversial.

Kita ingat bagaimana upaya untuk "come to terms" dengan sejarah dan melakukan rekonsiliasi nasional dg keluarga korban G/30/S. Bukan saja kiprah tersebut ditolak oleh pihak-pihak yang menganggap PKI sebagai musuh bangsa dan ancaman nasional, tetapi bahkan juga oleh mereka yang dianggap sebagai pembela hak-hak para korban sendiri, dengan berbagai dalih. Saya kira salah satu permasalahan mendasar adalah masih kuatnya keengganan dan penolakan terhadap paradigma perdamaian yang di luar narasi mainstream atau hegemonik dalam masyarakat. Upaya yang `out of the box` itu beresiko dianggap bertabrakan dengan narasi politik, keamanan, dan legal formal yang bertabrakan dengan narasi politik, keamanan, dan legal formal. Padahal tujuan utama para tokoh rekonsiliasi adalah terajutnya persatuan dan kesatuan nasional dan sembunya bangsa dari trauma-trauma sejarah.

Hal sama terjadi pada upaya membantu mengupayakan perdamaian dalam konteks konflik antara bangsa Palestina dan Pemerintah Israel yang telah berlangsung lebih dari enam dasawarsa dan tak kunjung menemukan titik terang berupa perdamaian itu. Apa yang dilakukan oleh Yahya Stakuf (YS) dengan menawarkan konsep "rahmah" sebagai manifestasi paradigma perdamian yang di luar narasi dan praksis mainstream, dengan cepat memicu respon penolakan dari dalam negeri dan juga pihak Pemerintah Palestina serta Hamas. Bahkan YS mendapat kritik dari organisasi Islam, NU, di mana beliau juga menjadi salah seorang pengurus pusatnya. Kendati penolakan yg terakhir tersebut lebih pada persoalan prosedural dan bukan substantif, namun tetap merupakan fakta sulitnya penerimaan atas paradigma perdamaian yang dimluar narasi mainstream.

Menurut pengakuan YS sendiri, apa yang diupayakannya adalah kelanjutan dari perjuangan alm. GD yang merintis perdamaian di Timteng dengan landasan budaya dan moral dari ajaran agama, dalam hal ini Islam. Konsep "rahmah" atau compassion yang digunakannya dicoba diekspressikan dalam pidato tertulis dan wawancara serta dialog di Jerusalem, termasuk dalam pertemuannya dengan PM Israel, Benyamin Netanyahu (BN), yang berideologi Zionisme garis keras itu.

Respon negatif dari sebagian ummat Islam di Indonesia sudah bisa diperkirakan. Demikian pula dari sebagian kalangan Pemerintah yang tak menghendaki ada kegaduhan yang dikhawatirkan bisa menggangu hubungan diplomasi dan stabilitas politik. Apalagi dari kalangan yang selama ini tetap menganggap solusi melalui perjuangan bersenjata adalah satu-satunya jalan penyelesaian masalah.

Dari kalangan NU pada umumnya mungkin konsep rahmah yang dipakai YS bukan hal asing atau baru sama sekali dan, karenanya, diterima secara normatif sebagai basis etika pergaulan antar manusia. Namun belum tentu penerapannya dalam konteks konflik Istael-Palestina ini dapat diterima oleh sebagian elite NU karena pertimbangan "kemaslahatan" bagi jam`iyyah dalam konstelasi politik dimasukkan dalam kalkulasi. Maka kaidah "dar`u al- mafasid muqoddamun `ala jalbi al-masholih" (menghindarkan kerusakan lebih didahulukan ketimbang mencari kebaikan) pun boleh jadi akan dipakai sebagai justifikasi penolakan.

Terlepas dari berbagai kendala dan tantangan tersebut, paradigma perdamaian yang kedua, dan strategi yang dikembangkan dari cara pandang anti kekerasan struktural tsb, hemat saya, perlu dilanjutkan. Kalaupun ia bukan sebagai alternatif (`either-or`) dari paradigma pertama (realis), tetapi sebagai suatu sumbangan penting bagi pencarian solusi konflik. Ia bisa membantu memberikan jalan menembus kebuntuan yang terjadi selama ini karena fiksasi terhadap solusi politis dan legal formal.

Paradigma perdamaian yang pertama nyaris menutup kemungkinan kerjasama substantif antara pihak yang berlawanan karena saling menafikan kemungkinan tersebut. Sebaliknya, paradigma kedua justru mensyaratkan adanya kemauan bekerjasama menyelesaikan masalah melampaui kepentingan politik jangka pendek, tetapi menuju tercapainya kepentingan kemanusiaan. Paradigma kedua, menggunakan istilah Nelson Mandela, meniscayakan terjadi dan terbuhulnya partnership antara kedua pihak yang berkonflik demi menciptakan solusi yang lebih substantif dan permanen. Dan hal ini bisa terjadi jika landasan moral yang berorientasi kemanusiaan dipergunakan.

*) Penulis adalah Dosen Ilmu Politik dari President University

Artikel Terkait