Pilkada 2020

Potensi Pelanggaran Masa Tenang, Pemungutan dan Pasca Pemungutan Suara

Oleh : very - Minggu, 24/06/2018 13:01 WIB

Sekretaris Jenderal Serikat Kerakyatan Indonesia (SAKTI), yang juga Wasekjend KIPP Indonesia, Girindra Sandino. (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Pilkada serentak sudah memasuki tahap masa tenang, berbagai persiapan telah dilakukan pihak-pihak terkait untuk mensukseskan kontestasi demokrasi lokal yang akan diselenggarakan tanggal 27 Juni 2018.

Namun demikian baik penyelenggara KPU dan Bawaslu beserta jajarannya hingga tingkat bawah di daerah, masyarakat pemilih, pihak keamanan, media-media massa, serta pemangku kepentingan terkait harus mencermati potensi-potensi pelanggaran, kecurangan-kecurangan, bahkan tindakan-tindakan kontrra demokrasi.

“Potensi pelanggaran pada masa tenang menurut pengalaman kami adalah banyak oknum baik dari Timses maupun pendukungnya (Baca: orang suruhan) bergerak memasuki kantong-kantong suara untuk membagikan sembako, sejumlah uang  atau perangkat ibadah yang tertempel gambar paslon,” ujar Sekjen Serikat Kerakyatan Indonesia (SAKTI) Girindra Sandino melalui siaran pers di Jakarta, Minggu (24/6/2018).

Menurutnya, modus ini cukup efektif mengubah pilihan pemilih dalam waktu semalam pemilih dapat berubah pikiran, walau sudah mentapkan pilihan jauh-jauh hari.

Selain itu, masih banyak terpampangnya alat peraga kampanye yang belum dibersihkan Panwas atau Satpol setempat, bahkan sehari menjelang hari H, banyak oknum menempelkan poster, sticker, dan lainnya di dekat lokasi TPS atau jalan maupun akses menuju TPS.

Selanjutnya, mobilisasi pemilih yang dilakukan Aparatur Sipil Negara (ASN). “Pada masa tenang menurut pengalaman Pilkada lalu, ada saja ASN dengan dalih kegiatan tertentu mengajak warga kumpul untuk mengarahkan pemilih memilih palon tertentu, bahkan sedikit mengintimidasi. Yang paling rawan adalah di tingkat kelurahan atau nama lainnya,” ujar Girindra.

Penimbunan surat undangan pemilih atau formulir C6, juga sering terjadi. Modus ini sangat banyak ditemukan pada masa-masa tenang Pilkada. Tujuannya adalah untuk membingungkan pemilih lokasi dimana tempat memilih, membuat pemilih kehilangan hak pilihnya, dan membuka peluang masuknya “pemilih siluman”.

Demikian juga, mobilisasi pemilih fiktif dengan penyalahgunaan E-KTP palsu atau surat keterangan (SUKET) dikarenakan kurang akuratnya atau kacaunya penyusunan Daftar Pemilih Tetap (DPT).

Selanjtunya, logistik yang tidak tepat sasaran, tidak tepat jumlah, tidak terjaga keamanannya, keterlambatan logistik – bisa terjadi karena kelalaian petugas atau kesengajaan - serta ketidakseimbangan jumlah pemilih di TPS dapat menyebabkan kurangnya surat suara.

Belum lagi, kata Girindra, ketidakpahaman dan kelalaian penyelenggara tingkat bawah, yakni KPPS, ketika ada pemilih yang memenuhi syarat memilih akan tetapi tidak dapat memilih, seperti pemilih yang belum terdaftar di DPT namun memiliki E-KTP, atau pindah domisili, dan lain-lain. Hal ini dapat menyebabkan potensi konflik di wilayah tersebut.

Oleh karena itu, independensi penyelenggara harus diawasi dengan ketat. “Pengalaman pada Pilkada-pilkada lalu terjadi di TPS-TPS penggiringan pemilih untuk memilih paslon tertentu, perubahan angka perolehan suara di tingkat Kecamatan. Seperti misalnya pemalsuan dan perubahan  Form C1,” ujar Girindra. 

Formulir C1 adalah dokumen pemungutan dan penghitungan suara di tempat pemungutan suara (TPS) yang dibuat oleh petugas TPS, sebagai berita acara pemungutan dan penghitungan suara yang di dalamnya tertuang hasil dari perolehan suara setiap pasangan calon yang bertarung dalam pilkada. Sebagai contoh pada Pilkada Halmahera Selatan, Maluku Utara Tahun 2015.

Selanjutnya, intimidasi berbentuk hasutan kebencian atau SARA sangat kuat dalam Pilkada Serentak kali ini. Kegiatan-Kegiatan keagamaan yang kemungkinan disusupi visi dan misi Paslon, karena dalam masa tenang kegiatan keagamaan bukan kategori yang dilarang oleh pihak berwenang.

Pelanggaran berikutnya, terjadi potensi konflik pasca pemungutan suara. Di beberapa daerah rawan sudah terjadi konflik, seperti salah satunya bentrok antar Timses di Empat Lawang, Sumatera Selatan yang memakan korban jiwa karena tertembak. Pengkondisian konflik terbuka Paslon dan pendukungnya yang tidak siap kalah harus segera diantisipasi.

Berikutnya, pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan sengaja oleh pihak paslon lawan dengan tujuan untuk menjatuhkan rivalnya sebagai pengkondisian pragugatan.

Oleh karena itu Serikat Kerakyatan Indonesia (SAKTI), yang saat ini aktif di 9 Provinsi, walau tidak resmi terdaftar sebagai pemantau Pilkada Serentak, namun sebagai warga negara sebagian anggota kami ikut memantau dan menjaga jalannya proses penyelenggaraan Pilkada serentak menghimbau agar para Paslon beserta timnya tidak main-main dengan menghalalkan segala cara untuk menang, penyelenggara baik KPU dan Bawaslu beserta jajarannya di bawah  harus mengedepankan profesionalisme dan independensinya.

“Khusus untuk Bawaslu dan jajarannya agar membuka selebar-lebarnya pengaduan terhadap temuan masyarakat, baik pelanggaran administratif maupun pidana. Aparatur Sipil Negara agar menjaga netralitasnya. Pun pihak keamanan dalam hal ini kepolisian agar mengedepankan independensi serta siap selalu dalam menjaga ketertiban dan keamanan penyelenggaraan Pilkada Serantak 27 Juni 2019,” pungkas Girindra. (Very)

Artikel Terkait