Pilkada 2020

Kepala Daerah Terpilih Harus Jamin Tegaknya 4 Pilar Berbangsa

Oleh : very - Selasa, 26/06/2018 11:35 WIB

Silverius Lake, dosen Binus. (Foto: ist)

Jakarta,  Indonews. Id - Pilkada yang akan berlangsung Rabu (27/6/2018) sangat istimewa. Ini merupakan momentum strategis bagi bangsa Indonesia untuk mencari  kepala daerah yang negarawan baik tingkat bupati-walikota ataupun gubernur. Alasan utamanya adalah, Indonesia pada saat ini membutuhkan negarawan yang memastikan empat konsensus dasar nasional yakni Pancasila, NKRI, UUD NRI 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika, tidak menjadi komoditas politik. Para kepala daerah terpilih harus menjamin bahwa keempat konsensus dasar nasional itu menjadi dasar dari kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tidak ada ceria lagi, seorang kepala daerah terpilih  membiarkan ideologi atau nilai-nilai lain hidup di daerahnya.

Demikian ditegaskan oleh Silverius CJM Lake, dosen Character Building, Pancasila dan Kewarganegaraan Universitas Bina Nusantara (BINUS), Jakarta, Senin (26/6/2018). 

Menurut Silverius Lake, .sejak Reformasi disengaja atau tidak, disadari atau tidak, para pemimpin bangsa telah melakukan pembiaran atas munculnya nilai-nilai atau ideologi lain yang bertentangan dengan empat konsensus dasar nasional. Bahkan nilai-nilai baru atau ideologi itu digunakan sebagai komoditas politik untuk meraih kekuasaan dengan mempertentangkan antara Pancasila sebagai Dasar Negara dan ideologi lain. Dasar negara, persatuan dalam ikatan NKRI, Bhinneka Tunggal Ika serta UUD NRI 1945 dijungkirbalikan tanpa menyadari akibat negatif yang hingga sekarang bisa dilihat wujudnya.

“Ya para pemimpin bangsa atau penyelenggara negara telah melakukan pembiaran atas kehancuran Indonesia yang telah dilakukan oleh diri mereka sendiri. Kasus peledakan bom bunuh diri dan aksi teror di berbagai daerah menunjukan bahwa para kepala daerah yang lalu telah abai terhadap empat konsensus dasar nasional. Bahkan tidak sedikit mereka menjadi bagian dari permainan politik kotor hanya untuk berkuasa,” ujar Silverius Lake.

Dari kacamata dosen Universita Binus ini, seorang kepala daerah seharusnya seorang negarawan yang memerjuangkan dan menyebarkan nilai-nilai Pancasila ke seluruh pelosok tanah air. Namun itu tidak terwujud dalam pilkada-pilkada sebelumnya. Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa akhirnya meredup dan Bhinneka Tunggal Ika tidak memiliki warna lagi.

“Bhinneka Tunggal Ika warnanya hanya putih dan hitam, bukan warna-warni lagi. Jika tidak seagama, sekelompok, sesuku, atau separtai dengan saya, berarti dia adalah lawan saya. Ini khan sama sama membuat Indonesia hanya terbagi dalam dua warna, hitam atau putih. Dan konyolnya adalah, mereka adalah para tokoh yang dulu mengatakan sebagai tokoh reformasi. Ujaran kebencian akhirnya menjadi senandung sehari-hari tanpa pernah berpikir bahwa bangsa Indonesia juga bisa menilai baik buruknya karakter seorang pemimpin,” tegas Silverius Lake, yang juga dosen Pendidikan Kebangsaan di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Tarakanita.

Setelah reformasi, demikian Silverius Lake mengurai lebih lanjut, Indonesia harusnya lebih cepat lagi muncul sebagai negara besar  dengan negara yang kuat. Nilai-nilai Pancasila yang terserap di dalam berbagai struktur kepemimpinan, sistem kelembagaan, dan kehidupan masyarakat sehari-hari, seharusnya tak pernah tergantikan oleh nilai-nilai yang lain. Namun kondisi ini tidak terwujud karena reformasi dibiarkan “terbajak” yang diamini oleh para tokohnya. Sangat mudah, menurut dosen Universitas Binus ini, bagaimana perjalanan sejarah reformasi yang terbajak oleh negara asing dan ideologi lain.

“Oleh karena itu, pemilih kali ini diharapkan dapat mendorong munculnya kesadaran, jiwa, intuisi, hati nurani, serta semangat  para kepala daerah terpilih untuk menjaga NKRI yang sangat diwarnai Bhinneka Tunggal Ika. Namun demikian, kondisi ini juga tidak bisa terwujud, jika para pemilih akhirnya juga masuk angin karena politik uang,” ujar dosen Pancasila di Institut Perbanas, Jakarta ini. (Very) 

Artikel Terkait