Sineas Tino Saroengallo Meninggal Dunia

Oleh : luska - Jum'at, 27/07/2018 13:50 WIB

Staf khusus Menteri BUMN yang juga Komisaris BTN Parman Nataatmadja saat menjenguk Tino Saroengallo di rumah sakit Minggu lalu.(Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Sutradara dan Produser Film Dokumenter Student Movement 98 (They Forced Them To Be Violence) Tino Saroengallo meninggal dunia pada Jumat, ( 27/7/2018).

Menurut informasi yang didapat dari kalangan Sutradara, Sineas yang lahir di Jakarta, 10 Juli 1958 ini meninggal akibat kanker kandung kemih yang telah dideritanya beberapa tahun terakhir ini.

Tino sebelumnya pernah dirawat di rumah sakit dan berangsur pulih, namun kondisinya kembali memburuk dua minggu yang lalu dan kembali masuk ruang perawatan di rumah sakit.

Almarhum saat ini berada di rumah duka Komplek Bintaro Paradise No.6 Jl. Bintaro Puspita Raya, dan akan disholatkan di Masjid Bintaro Permai (berangkat dari rumah duka jam 16.00),lalu dimakamkan di TPU Tanah Kusir A2, Blad 194.

Tino Saroengallo adalah aktor, produser film, serta penulis Indonesia.

Diketahui Sejak 1987, Almarhum Tino Saroengallo, berkecimpung di beragam profesi berkaitan dengan media. Mulai dari reporter di tabloid dwi-mingguan “Mutiara”, majalah berita dwi-mingguan “X’tra”, majalah berita bergambar “Jakarta-Jakarta”, penulis lepas di berbagai media hingga akhirnya masuk ke dunia audio-visual pada saat stasiun televisi swasta RCTI berdiri tahun 1988.

Sejak saat itu ia akrab dengan pembuatan program televisi sebagai Manajer Produksi maupun Penulis untuk program maupun drama televisi. Dari program televisi merambah ke produksi film iklan dan film cerita.

Meski pernah menjadi Sutradara film iklan selama beberapa tahun di paruh kedua dekade 1990-an namun pada awal tahun 2000-an ia memutuskan untuk lebih menekuni profesi Asisten Sutradara dan Manajer Produksi.

Sebagai pemain film ia pernah tampil sebagai figuran, cameo ataupun peran pendukung dalam film “Petualangan Sherina” (Riri Riza, 2000), “Arisan” (Nia diNata, 2003), “Pesan Dari Surga” (Sekar Ayu Asmara, 2006), “Dunia Mereka” (Lasya Fauzia, 2006), “Quickie Express” (Dimas Djayadiningrat, 2007), “Tri Mas Getir” (Rako Prijanto, 2008), “MBA” (Winalda, 2008), “Jagad X-Code” (Herwin Novianto, 2009), “Pintu Terlarang” (Joko Anwar, 2009), “Kabayan Jadi Miliuner” (Guntur Soeharjanto, 2010), “Rayya: Cahaya Di Atas Cahaya” (Viva Westi, 2012), “Soedirman” (Viva Westi, 2015), “Alim Lam Mim/3 Fighters” (Anggy Umbara, 2015), “The Fighters” (Monty Tiwa, 2015) dan “Bis Malam” (Emil Heradi, 2016). Ia selalu menyebut diri sebagai spesialis peran sekelebat.

Di dunia film dokumenter ia pernah memproduksi sebuah film dokumenter sejarah politik Indonesia berjudul “Student Movement in Indonesia: they forced them to be violent” yang mendapatkan penghargaan sebagai Film Pendek Terbaik dalam Asia Pacific Film Festival ke-47 di Seoul pada bulan Oktober 2002 dan Piala Citra untuk kategori Film Dokumenter Terbaik dalam Festival Film Indonesia di Jakarta pada tahun 2004. Salah satu dampak dari kemenangan ini adalah ia seringkali diundang menjadi juri festival film dokumenter seperti Festival Film Indonesia ataupun Eagle Awards Documentary Competition di Metro TV.

Tino juga banyak terlibat dalam pembuatan film dokumenter televisi tentang Indonesia maupun peliputan berita stasiun televisi ARD-TV Jerman di Indonesia. Bila jadwal memungkinkan, sampai sekarang ia masih mendampingi peliputan ARD-TV di Indonesia sebagai fixer. Selain tulisan reportasenya yang pernah dimuat di berbagai media antara tahun 1986 – 1994, ia juga sudah menghasilkan dua buah buku yaitu “Ayah Anak Beda Warna! Anak Toraja Kota Menggugat” (Penerbit Tembi, 2008) dan “Dongeng Sebuah Produksi Film” (Penerbit Intisari, 2008). Keduanya sudah diterbitkan ulang. Buku “Dongeng Produksi Film Dokumenter (Asing) di Indonesia” ini adalah buku ketiganya yang diterbitkan FFTV-IKJ Press pada 2015, buku pertama dari trilogi “Dongeng Produksi Film (Asing) di Indonesia. (Berbagai sumber/Lka)

 

Artikel Terkait