Nasional

Daya Rusak Korupsi

Oleh : hendro - Senin, 30/07/2018 05:45 WIB

Dosen senior IPDN Dr. Muhadam Labolo

Jakarta, INDONEWS.ID - Dulunya, mungkin saja mengantarkan upeti bukanlah sebuah aib. Boleh jadi pertanda adanya relasi kekuasaan yang kokoh antara pemerintah dan kelompok yang diperintah.

Dalam sejarah kekuasaan traditional, relasi vertikal jamak dilanggengkan justru lewat upeti sebelum melangkah lebih jauh pada tahap invasi, aneksasi maupun agresi. Rasanya tak ada bedanya dengan pajak, upeti merupakan laku penghantaran yang menciptakan hubungan subordinat maupun equalitas yang kuat antara pemberi dan penerima.

Tekanannya bergantung pada bandul pemberi dan penerimanya. Dalam relasi horisontal upeti juga bercampur aduk dengan berbagai bentuk upacara adat dan perkawinan seperti seserahan. Soal takaran jumlah dan isinya bergantung konsensus sosial. Pendek kata, upeti tak dipandang hina, tapi perilaku sosial sebagai simbol perekat dalam relasi vertikal dan horisontal diantara dua kutub yang saling menegasikan posisinya. Lalu mengapa upeti kini dipersoalkan?

Dalam bangunan negara modern, upeti dirasionalisasikan menjadi pajak. Dia hanya ditolerir jika berdasar atas keputusan mereka yang memerintah sebagai produk pilihan mayoritas. Jadilah kemudian kehendak yang memerintah sekurang-kurangnya mencerminkan pula kehendak orang banyak (Montesqueu).

Diluar itu tentu saja semua bentuk pemberian bermotif tertentu dapat dianggap suap atau korupsi, alias upeti ilegal. Menaik-turunkan takaran atau menjanjikan sesuatu dengan maksud mempengaruhi para pengambil keputusan kepada maksud selain dari tujuan konstitusional dengan terang dianggap korupsi.

Konsekuensinya tidak saja ditanggung oleh penerimanya, pun pemberinya. Sama persis dengan dakwaan pada salah satu agama, penyuap dan yang disuap  keduanya di neraka (arrasyi walmurtasyi finnar).

Mengapa suap berbahaya bila ditujukan kepada para pengambil keputusan? Alasannya simpel, bahwa para pengambil keputusan itu pada dasarnya sedang menjalankan seperangkat aturan yang berisi amanah dari merka yang diperintah. Bila upaya membelokkan tujuan negara yang diemban oleh perangkat negara tadi berhasil, dapat dibayangkan sampai kapanpun tujuan negara itu tak akan mungkin dapat dicapai.

Itu bermakna pula bahwa sampai kapanpun juga tujuan setiap individu yang diikat secara kolektif dalam bentuk kontrak sosial akan menemui jalan buntu (deadlock). Idealitas teks berseberangan jauh dengan realitas konteks. Bila upeti itu mampu menukar tujuan negara dengan tujuan kelompok bahkan tujuan individu yang teramat kecil dan sempit tadi, maka dapat diimajinasikan bahwa negara terjebak pada aktivitas melayani kelompok dan individu, bukan kepentingan orang banyak (demokrasi).

Logikanya, pelayanan pada kelompok biasanya ditujukan bagi kaum mafioso, gangster, dan kaum penganut politik dinastik. Sementara pelayanan pada satu dua individu hanya ada pada bentuk pemerintahan monarchi yang melayani satu orang (raja), dan sedikit orang seperti oligarchi.

Jelaslah disini bahwa peran korupsi tidak saja dapat menggeser tujuan negara, juga menukar dan menghilangkan tujuan banyak orang dalam jangka panjang. Daya rusaknya tentu bukan pada satu dua orang, tapi pada orang banyak yang kita sebut dengan istilah kerugian publik.

Kata filosof Socrates bahwa berzina mungkin sekedar menghancurkan mentalitas spiritual setiap individu, namun korupsi justru memiliki sentimen negatif bagi kepentingan orang banyak karena dapat bersifat masif, terstruktur dan terencana dengan baik.

Sebab itu, sekokoh apapun fisik suatu negara, ia akan mudah rontok apabila para penjaganya kehilangan amanah dalam menjaga tujuan negara itu sendiri. Sebut saja China, sebuah negara yang dibentengi oleh tembok raksasa namun pernah lumpuh akibat suap yang melunturkan ingatan para penjaga tembok tersebut dari tujuan negaranya.

Demikian pula sejarah runtuhnya kekaisaran Persia, Mongolia dan Turki Utsmani yang pernah menyandang negara adidaya. Dalam sejarah domestik kita menyadari pula bahwa kebangkrutan VOC di Indonesia lantaran disapu bersih oleh badai suap yang bermetamorfosis menjadi upeti modern  bernama korupsi. 

Fakta lain juga menunjukkan bahwa kegagalan Perang Diponegoro akibat keserakahan para birokrat dan hilangnya spirit penegak hukum terhadap cita-cita ideal perjuangan melawan penjajah.

(Penulis dosen senior IPDN Dr. Muhadam Labolo)

Artikel Terkait