Nasional

Uskup Tanjungkarang Ingatkan Filosofi Tahta, Harta dan Wanita

Oleh : very - Senin, 13/08/2018 08:44 WIB

Uskup Keuskupan Tanjungkarang, Mgr. Harun Yuwono Pr (tengah berbatik) dan Ketua Pemuda Katolik Komda Lampung, Marcus Budi S (jaket kuning, sebelah Mgr. Harun Yuwono Pr). (Foto: Ist)

 

Bandar Lampung, INDONEWS.ID - Untuk melawan politik yang menghalalkan segala cara, Uskup Keuskupan Tanjungkarang, Mgr. Harun Yuwono Pr mengingatkan kisah Lysistrata yakni cerita Yunani kuno  yang ditulis Aristhophanes pada tahun 411 SM. Cerita Lysistrata itu disampaikan Mgr. Harun Yuwono Pr kepada peserta pertemuan Organisasi Pemuda Katolik se-Komisariat Daerah Lampung yang diikuti 50 (lima puluh) kader yang merupakan wakil dari 12 Komisariat Cabang di Hotel Arinas, Bandar Lampung,  Sabtu (11/8/2018).

Lysistrata adalah nama perempuan luar biasa dengan ide brilian yang dikisahkan berupaya menghentikan perang Pheloponnesia antara Sparta – Athena. Upaya  yang dilakukan adalah dengan menyerukan dan mendorong para perempuan untuk tidak melakukan hubungan intim dengan suami, tentara hingga jenderal perang. Para perempuan dari Athena dan Sparta akhirnya sepakat dengan ide Lysistrata dan menyatakan mogok seks hingga para tentara dan jenderal perang menghentikan perang.

Kisah Yunani kuno ini digunakan Uskup Tanjungkarang ini sebagai ilustrasi untuk menjelaskan pendapat Albert Hirschman, ekonom dari Jerman yang pandangannya sangat mempengaruhi politik dunia. Albert Hirschman yang juga pengarang buku ekonomi dan politik ini berpendapat bahwa nafsu berdaya-rusak seperti kekuasaan hanya bisa ditundukkan oleh nafsu lain yang lebih rendah daya-rusaknya yakni kepentingan pribadi (self-interest) terutama kepentingan ekonomi.

“Ada ungkapan yang bagus tentang politik dalam bahasa latin, yakni finis iustificat medium atau artinya tujuan menghalalkan segala cara. Jika berkuasa menjadi tujuan maka tanpa sadar, akan membangkitkan nafsu untuk menggunakan segala cara untuk untuk memiliki dan mempertahankannya,” ujar Harun Yuwono. 

Oleh Albert Hirschman diilustrasikan,  seperti dikutip Harun Yuwono, sekelompok orang dengan nafsu “membunuh” tanpa alasan rasional yang dapat karena perbedaan ras atau agama, dapat dihentikan jika pihak lain menyebarkan uang. Para pembunuh akan menghentikan aksinya untuk mengumpulkan uang yang berceceran di jalan daripada meneruskan pengejarannya.  

“Dalam perspektif Albert Hirschman, dalam perspektif individual dan kepentingan pribadi, korban beruntung karena batal dibunuh. Sedangkan dalam perspektif universal dapat dikatakan, hasrat kekerasan atau  violent passion dapat ditundukkan oleh kepentingan yang kurang ganas atau innocuous interest,” ujar Harun Yuwono.

Terkait dengan hal ini, Uskup Tangjungkarang ini mengingatkan adanya filosofi Jawa yang berhubungan dengan kekuasaan yakni, Tahta, Harta dan Wanita.  

Tidak heran jika kemudian, diurai lebih dalam, kekuasaan selalu berkaitan dengan politik dan begitu sebaliknya. Oleh Filsuf Yunani, Aristoteles, politik dari kata polis yang artinya kota, harus dipahami sebagai tatacara mengelola kota (negara) yang tujuan akhir adalah kesejahteraan bersama seluruh warganya (polites). Politik akhirnya merupakan  seni mengelola kekuasaan dengan konstitusi (politea) demi kepentingan umum.  

“Yang menjadi keprihatinan bagi kita semua adalah, politik sekarang lebih cenderung diartikan meraih kekuasaan dengan cara apapun dan akibatnya menyalahgunakannya untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Jika kekuasaan jatuh ke tangan orang yang salah karena diperoleh dengan cara salah sebagai akibat adalah munculnya abuse of power – penyalahgunaan kekuasaan dan pasti akan ada korban. Ini bisa terjadi pada pilkada, pileg ataupun pilpres,” jelasnya.

Organisasi masyarakat seperti Pemuda Katolik, oleh Harun Yuwono, didorong untuk berpolitik secara bermartabat, berbudaya dan berkarakter agar masa depan Indonesia menjadi jelas dan kemerdekaan yang diperjuangkan para pendiri bangsa tidak menjadi sia-sia. (Very)

 

Artikel Terkait