Bisnis

Politik Anggaran Konstitusi

Oleh : indonews - Senin, 20/08/2018 13:30 WIB

Ahmad Erani Yustika, Staf Khusus Presiden; Guru Besar FEB Universitas Brawijaya. (Foto: Ist)

Oleh: Ahmad Erani Yustika*)

Kebijakan fiskal merupakan instrumen yang berpengaruh besar dalam pengelolaan ekonomi. Di luar kebijakan moneter, instrumen fiskal boleh dikatakan paling kontributif dalam menentukan arah perekonomian. Dengan kata lain, kebijakan fiskal dan moneter merupakan dua kaki penyangga ekonomi negara. Sejak merancang RAPBN 2015 postur dan desain fiskal diarahkan untuk  memastikan tercapainya kondisi yang sehat, adil, dan mandiri.  Kondisi itu terkait dengan postur fiskal itu sendiri maupun kinerja ekonomi. Sehat dipahami sebagai postur fiskal yang fokus dan membangun keseimbangan antara pembangunan manusia dan fisik.  Adil dimaksudkan untuk memberi afirmasi kepada kaum yang selama ini kerap dilemahkan. Sementara itu, mandiri dimaknai sebagai ikhtiar untuk mengoptimalisasikan sumber ekonomi domestik. Rancang bangun APBN dan kebijakan fiskal itulah yang telah dipilih dan dijalankan secara konsisten sehingga sekarang hasilnya telah dirasakan semua lapisan masyarakat.

 

Prioritas Anggaran

Telah lama postur APBN tidak cukup bugar karena pertimbangan ini: tidak menunjukkan prioritas. Penyusunan alokasi belanja hanya mewarisi apa yang dulu telah dilakukan. Sebagian besar anggaran dibagi nyaris merata untuk K/L ataupun dana transfer. Sejak 2015 postur APBN dibuat sangat fokus kepada tujuan yang hendak dikejar, yakni pembangunan manusia dan infrastruktur. Tiang pembangunan manusia adalah pendidikan dan kesehatan. Anggaran pendidikan telah lama sesuai dengan perintah UU, namun belanja kesehatan jauh dari mandat UU Kesehatan (5% dari APBN di luar dana transfer). Sekarang alokasi anggaran kesehatan sudah 5% sehingga sesuai dengan UU dan memastikan urusan pembangunan manusia disantuni dengan sehormat-hormatnya. Di luar itu, fokus pembangunan infrastruktur dijaga penuh karena ini merupakan tulang punggung pembangunan ekonomi dalam jangka panjang. Aneka pembangunan infrastruktur selama ini hampir 4 tahun telah dieksekusi dengan segala daya.

APBN yang sehat itu diimbangi dengan formulasi yang tegas untuk afirmasi terhadap isu keadilan. Keadilan ini menjadi tema yang mendesak karena terdapat pemburukan ketimpangan pendapatan dalam 10 tahun sebelumnya. Tiga hal utama dikerjakan untuk memastikan masalah itu dapat ditangani. Pertama, pembangunan infrastruktur diarahkan kepada wilayah yang selama ini dianggap hanya memeroleh sisa pembangunan, yakni Indonesia Bagian Timur (IBT). Jalan, jembatan, pelabuhan, waduk, rel kereta api, bandara, irigasi, dan lain sebagainya dibangun dalam jumlah banyak di wilayah tersebut.  Dipastikan wilayah itu dinafkahi sesuai dengan kebutuhan. Daerah tersebut selama ini menjadi penyumbang besar terhadap ekonomi nasional, misalnya melalui kekayaan sumber daya alam, sehingga sudah selayaknya kontribusi itu dikembalikan kepada mereka dalam jumlah yang memadai. Hanya dalam waktu empat tahun perubahan besar telah terjadi, sehingga wajah keadilan mulai bisa dipandang dengan elok.

Kedua, daerah perdesaan disangga hidupnya dengan alokasi khusus dalam wujud Dana Desa (DD). Melalui mandat UU Desa untuk pertama kalinya desa diberi otoritas penuh untuk merumuskan dan memutuskan masa depannya, tidak didikte oleh pemerintahan di atasnya. DD dikelola oleh pemerintah desa sehingga diharapkan sesuai dengan aspirasi warga. Selama empat tahun pula capaian pemanfatan DD sudah luar biasa, bukan sekadar pembangunan, namun juga pemberdayaan. Wajah desa telah berubah cepat. Ketiga, ketimpangan pendapatan antargolongan dilakukan dengan menambah aset lewat program RAPS (Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial). Selama ini penanganan ketimpangan hanya dikerjakan di hilir, tetapi dengan adanya RAPS (dan juga KUR/Kredit Usaha Rakyat), maka penanganan ketimpangan pendapatan dilakukan secara masif di hulu juga. Ini yang menjadi penyebab rasio gini terus turun setiap tahun. Jadi penanganan dilakukan secara komprehensif lewat alokasi belanja yang efektif. 

 

Kemandirian Ekonomi

Negara berkembang selama ini dianggap punya ketergantungan yang cukup tinggi karena secara finansial maupun produksi belum mampu mencukupi kebutuhan sendiri. Implikasinya, sebagian (besar) modal mengalir dari luar negeri, demikian pula produk dan teknologi. Bila dilihat dari struktur APBN, sejak masa kemerdekaan hingga sekarang kekurangan penerimaan ditutup dengan utang. Berita bagusnya, secara sistematis saat ini penerimaan domestik (baik lewat pajak maupun nonpajak) terus ditingkatkan sehingga selisih penerimaan dan belanja tidak terlalu besar. Bahkan, keseimbangan primer yang semula defisit sangat besar bisa diturunkan tiap tahun. Pada 2018 ini diperkirakan defisit keseimbangan primer tinggal Rp 60-an triliun dan tahun depan menjadi sekitar Rp 20 triliun saja. Deskripsi ini secara jelas menunjukkan bahwa ketergantungan APBN terhadap utang bisa diturunkan di tengah postur APBN yang terus bertambah, juga ukuran ekonomi (PDB). Kemandirian fiskal meningkat tanpa mengganggu daya dorong ekonomi.

Di luar itu, program di sektor pertanian dan energi juga menunjukkan perbaikan yang berarti. Itu sebabnya Indeks Ketahanan Pangan mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Pada periode 2014-2017 berturut-turut angkanya 47,0; 48,3; 51,1; dan 51,3. Indeks keterjangkauan, ketersediaan, serta kualitas dan keamanan pangan juga terus meningkat tiap tahun (The Economic Intelligence, 2017).  Hal yang sama juga bisa dilihat dari komitmen pemerintah untuk menguasai pengelolaan sumber daya alam sesuai mandat Pasal 33 (ayat 2 dan 3) UUD 1945. Pada Juli 2018 pemerintah menguasai 51% saham PT. Freeport Indonesia dan  Pertamina berhasil mengambil alih Chevron untuk eksplorasi Blok Rokan yang menguasai sekitar 26% dari total produksi minyak domestik. Dengan konfigurasi sekarang hampir 50% produksi minyak domestik sudah dikuasai oleh BUMN. Data pada sisi lainnya juga masih banyak yang bisa dikisahkan untuk menunjukkan kemandirian tersebut, tapi beberapa hal itu menjadi petunjuk yang jelas.

Pada akhirnya, anggaran bukan hanya cermin alokasi teknokratis, baik dari sisi penerimaan maupun belanja, namun yang jauh lebih penting adalah makna politiknya, yaitu politik anggaran. Politik anggaran harus dimaknai sebagai keberpihakan kebijakan dan alokasi anggaran yang secara sadar ditujukan untuk menjalankan mandat konstitusi. Penjelasan di muka secara gamblang mewartakan, bahwa politik anggaran telah memantulkan cahaya yang terkandung dalam konstitusi. Pasal-pasal ekonomi yang terkait dengan kesejahteraan dan keadilan diarusutamakan untuk diterjemahkan dalam program-program yang solid sesuai dengan panduan. Hasilnya, fungsi APBN sebagai pengungkit kesejahteraan dan keadilan masyarakat menjadi berjejak di lapangan. Jadi, bila saat ini ekonomi terlihat lebih sehat, adil, dan mandiri; maka itu merupakan buah dari politik anggaran yang menyantuni konstitusi tersebut. Ikhtiar ini jauh masih dari sempurna, sehingga konsistensi dan komitmen ke depan harus digandakan lebih besar lagi. 

*) Ahmad Erani Yustika, Staf Khusus Presiden; Guru Besar FEB Universitas Brawijaya

 

Artikel Terkait