Politik

Tuntutan Jokowi Mundur Upaya yang Menyesatkan

Oleh : very - Minggu, 09/09/2018 21:30 WIB

Bernadus Barat Daya, Pemerhati Hukum Tata Negara. (Foto: Ist)

 

Jakarta, INDONEWS.ID - Mengutip UU No.42/2008 (UU lama/tidak berlaku lagi) dan dijadikan rujukan untuk mendesak Jokowi segera mundur dari jabatan Presiden, adalah sebuah upaya penyesatan opini publik yang dilakukan oleh kaum oposisi. Tuntutan mundur pada Jokowi dengan acuan UU No.42/2008 tersebut adalah tindakan yang mengarah ke upaya makar. 

“Presiden (siapapun orangnya), yang menjadi petahana/sedang menjabat, tidak harus cuti atau mengundurkan diri, jika ia maju calon lagi di ajang Pilpres,” ujar Pemerhati Hukum Tata Negara, Bernadus B Daya melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, Minggu (9/9/2018). 

UU No. 7/2017 (UU terbaru) tentang Pemilu, khususnya dalam Bab tentang pencalonan Presiden/Wapres tidak mengatur keharusan untuk cuti atau mundur. 

Dalam UU No.42/2008 atau UU lama yang kini sudah tidak berlaku itu terutama pada Pasal 6 memang diatur bahwa pejabat negara yang mencalonkan diri sebagai calon Presiden wajib mundur dari jabatannya. Namun ketentuan itu tidak berlaku bagi Presiden sebagai petahana.

“Sayangnya, para kaum berotak bengkok, secara masif menyebarkan potongan sepenggal bunyi Pasal 6 UU No.42 tsb sambil menyerukan:  ‘Jokowi Harus Mundur Sekarang Juga’. Padahal UU tersebut sangat telah resmi dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi berdasarkan Pasal 571 huruf a UU No. 7/ 2017 tentang Pemilu yang berlaku sejak tanggal 16 Agustus 2017,” ujar Bernadus.

Negara ini akan kacau balau jika salah/keliru menerapkan ketentuan tentang  eksistensi pemimpin tertinggi negara, presiden. 

Menurutnya, jika Presiden petahana berhenti setahun sebelum masa jabatannya berakhir, maka Presiden wajib digantikan oleh Wakil Presiden sampai akhir masa jabatannya. Dalam kaitan itu tentu diperlukan Sidang Istimewa MPR untuk melantik Wapres menjadi Presiden. Masalahnya kemudian, bagaimana dlm hal Wapres sama-sama menjadi petahana bersama dengan Presiden, atau Wapres itu sendiri maju sebagai Capres? Tentulah,  kedua duanya harus berhenti bersamaan. 

Kalau ini terjadi, maka 3 kementrian yaitul Menhan, Mendagri dan Menlu, harus membentuk Presidium Pemerintahan Sementara. Dalam waktu 30 hari Presidium Pemerintahan itu wajib mempersiapkan SI MPR untuk memilih Presiden dan Wapres yang baru. “Nah kalau hal seperti ini terjadi setiap lima tahun, maka potensial akan terjadi kerawanan sosial politik yang dapat  menghancurkan negara. Padahal, suatu negara tidak boleh terjadi kevakuman seperti itu, sebab di saat negara vakum akan memicu konflik genting yang sulit terkendali lagi,” ujarnya. 

Ketika jabatan Presiden kosong, terjadi keadaan darurat atau keadaan bahaya. Lalu, siapa yang berwenang menyatakan "negara dalam keadaan bahaya"? Tentu hanya presiden bukan? 

Sekali lagi, Hanya Presiden yang bisa menyatakan negara dalam keadaan darurat dan bahaya.  Wakil Presiden apalagi 3 kementerian "triumvirat" tidak punya kewenangan menyatakan negara dalam leadaan darurat/bahaya. 

Mengingat hal yang diutarakan di atas, maka UU No.7/2017 tidak lagi mengatur soal keharusan presiden petahana untuk cuti atau mengundurkan diri jika ia maju dalam pilpres. 

Jadi, sekali lagi, Presiden petahana Jokowi atau siapapun presidennya. Atas kepentingan bangsa dan negara, tidak perlu berhenti atau cuti. 

“Desakan agar Jokowi Mudur karena ia maju di pilpres 2019 adalah menyesatkan dan mengarah ke tindakan ‘makar’,” ujarnya. (Very)

 

Artikel Terkait