Politik

Menyoal Indeks Kerawanan Pemilu Pemilu 2019

Oleh : very - Selasa, 25/09/2018 09:10 WIB

Pemilu Serentak 2019. (Foto: Ilustrasi)

Oleh : Wildan dan Erlangga P *)

INDONEWS.ID - Langkah Bawaslu RI yang telah menyusun Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) Pemilu 2019 adalah sebuah upaya positif dan niat yang kuat untuk mewujudkan pelaksanaan Pileg dan Pilpres 2019 secara lebih demokratis, berintegritas dan aman. Dengan adanya IKP yang disusun oleh Bawaslu RI ini, maka akan memudahkan bagi Bawaslu RI melakukan pengawasan dalam pelaksanaan Pemilu 2019, termasuk juga sebagai bahan pertimbangan dalam pembuatan kebijakan dan strategi bagi stakeholder lainnya seperti TNI, Polri, Kemendagri, KPU RI dan BIN dalam mengamankan dan memperlancar pelaksanaan Pemilu 2019.

Melalui IKP Pemilu 2019 yang telah disusun oleh Bawaslu RI akan semakin tergambarkan peta-peta kerawanan (uncertainty maps) dan permasalahannya dalam pelaksanaan hajatan demokrasi 5 tahunan tersebut, sehingga diharapkan akan memudahkan untuk pengawasan dan pencegahannya, agar dapat diminimalisir sedini mungkin ATHG terkait Pemilu 2019.

Pelaksanaan Pemilu 2019 sudah memasuki tahap-tahap krusial seperti pelaksanaan kampanye yang akan diselenggarakan mulai 23 September 2018 sampai 13 April 2019, sedangkan hari pemungutan suara akan dilaksanakan pada 17 April 2019. Perkembangan dinamika politik nasional cukup dinamis terkait Pemilu 2019, dimana kedua kubu yang akan berjuang di Pilpres 2019 yaitu kubu Koalisi Indonesia Kerja dan kubu Koalisi Adil Makmur. 

Persaingan politik di antara kedua kubu juga termonitor semakin memanas melalui Timses masing-masing. Timses Jokowi-KH Ma’ruf Amin dinamakan Tim Kampanye Nasional Jokowi-KH Ma’ruf Amin, sedangkan kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menamakan Timsesnya dengan Tim Pemenangan Pemilu 2019. Kedua kubu juga telah menggalang semua level kalangan masyarakat untuk meningkatkan daya akseptansi masyarakat terhadap Paslon mereka, termasuk mempertahankan daerah basis suara mereka pada Pilpres 2014 untuk tidak berubah pada Pilpres 2019 saat ini.

Ada beberapa isu-isu panas yang berkembang dan beredar luas di masyarakat baik melalui media massa konvensional ataupun Medsos antara lain : pertama, adanya data kependudukan lebih dari 6 juta warga yang belum melakukan perekaman KTP elektronik terancam diblokir dan terancam tidak dapat menggunakan hak pilih di Pileg ataupun Pilpres 2019. Kedua, selama Agustus 2018, penyebaran isu/materi hoax di Medsos sebanyak 1.572.160 tweet; Penyebaran isu/materi ujaran kebencian sebanyak 1.020.473 tweet dan penyebaran isu/materi sentimen terhadap Presiden Joko Widodo sebanyak 1.693.894 tweet. Ketiga, soal dugaan adanya mahar politik, banyak kalangan meminta Bawaslu RI bekerjasama dengan Polri, KPK dan PPATK dalam memutuskannya. Sejauh ini, banyak kalangan yang prihatin dan kecewa dengan kurang beraninya Bawaslu RI beserta jajarannya dalam menguak praktik haram politik ini.

Keempat, perbedaan tafsir politik antara KPU RI dengan Bawaslu RI, seperti Bacaleg eks koruptor, dimana Bawaslu berpedoman pada Undang-Undang Pemilu Nomor 7 tahun 2017 yang tidak melarang mantan narapidana korupsi untuk mendaftar sebagai caleg. Sementara KPU melalui Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 tahun 2018 yang memuat larangan mantan narapidana korupsi menjadi calon wakil rakyat. Kelima, Bawaslu menemukan 131.363 data pemilih ganda untuk Pemilu 2019 melalui data sampel di 75 kabupaten dan kota. Keenam, Bawaslu RI dinilai berbagai kalangan kurang tegas dalam menyikapi polemik gerakan #2019GantiPresiden.

Perkiraan kerawanan yang ada dalam Pilpres 2019 adalah : pertama, DPT. Ketidakakuratan DPT adalah kerawanan yang menjadi celah masuknya ancaman konflik. Ketidakpuasan pihak-pihak tertentu terutama yang merasa dirugikan dan kalah bisa menjadi pemicu konflik. Isu ketidakakuratan DPT saat ini sudah mulai dihembuskan sehingga akan menjadi pembenar bagi pihak yang kalah bahwa hasil Pilpres 2019 bermasalah. Terlepas dari isu tersebut, pihak-pihak yang mengelola DPT seperti KPU dan Kemendagri harus memastikan bahwa DPT benar-benar bebas dari masalah termasuk dari data penduduk ganda. 

Kedua, permasalahan logistik. Ketidaksiapan, keterlambatan, dan kekurangan logistik adalah kerawanan yang akan menjadi celah bagi ancaman Pilpres 2019. Logistik yang bermasalah akan menimbulkan ketidakpuasan dari pihak tertentu. Ketidakpuasan ini dalam skala tertentu bisa menjadi pemicu konflik. Tantangan seperti kondisi geografis dan luasnya wilayah harus disikapi dengan cermat agar permasalahan logistik tidak terjadi pada Pilpres 2019. 

Ketiga, netralitas aparat keamanan, ASN dan penyelenggara Pilpres (KPU dan Bawaslu). Menurut temuan Bawaslu RI selama Pilkada 2018, sebanyak 721 pelanggaran terkait netralitas ASN dan Polri dalam bentuk keberpihakan, intervensi dan intimidasi.

Keempat, faktor pengamanan. Di daerah-daerah yang dapat terjangkau dengan aparat keamanan potensi kerawanan dari sisi keamanan dapat dinilai rendah, namun di daerah tertentu misal pedalaman maka potensi kerawanan dari sisi keamanan nilainya lebih tinggi. Semakin rawan sistem pengamanannya maka semakin lebar celah untuk terjadinya ancaman. 

Sedangkan ancaman yang berpotensi terjadi pada Pilpres 2019 adalah : pertama, terjadinya konflik yang dipicu oleh ketidakpuasan atas hasil Pilpres 2019 sebagai ekses belum terselesaikannya kerawanan-kerawanan seperti ketidakakuratan DPT, permasalahan logistik, dan netralitas dari aparat keamanan, ASN dan penyelenggara Pilpres. 

Kedua, adanya sabotase. Potensi adanya pihak yang menentang adanya Pilpres 2019 harus tetap diperhitungkan terutama pihak yang tidak setuju dengan sistem demokrasi yang dianut Indonesia atau pihak yang memang ingin menganggu eksistensi negara Indonesia. 

Ketiga, adanya penyusupan kelompok tertentu terutama kelompok yang sudah dinyatakan terlarang di Indonesia. Dengan mendompleng pada partai politik resmi atau koalisi pengusung capres-cawapres maka kelompok tersebut mendapatkan tempat untuk eksis. Kemungkinan ada partai politik yang justru sengaja memanfaatkan kelompok tersebut sebagai daya tarik untuk menggalang massa sangat dimungkinkan dan hal ini harus diwaspadai.

*) Penulis adalah Direktur Operasional dan Direktur Pemberitaan Cersia.

Artikel Terkait