Bisnis

Inalum Perlu Sensitif Atas Asal Hutang untuk Pembiayaan Akuisisi Freeport

Oleh : very - Jum'at, 28/09/2018 17:01 WIB

Guru Besar Hukum Internasional UI, Hikmahanto Juwana, di Jakarta, Jumat (28/9/2018). (Foto: ist)

 

Jakarta, INDONEWS.ID - Kerja keras pemerintah dan PT Inalum telah menghasilkan buah nyata dimana PT Freeport Indonesia (PT FI) akhirnya berada di tangan Indonesia dan Kontrak Karya diakhiri untuk selamanya.

Kerja keras ini patut diapresiasi tidak hanya karena keberhasilan akuisisi 51% saham tetapi yang lebih penting adalah PT FI tidak lagi sejajar kedudukannya dengan pemerintah. 

“Kontrak Karya selama ini selalu diargumentasikan oleh Freeport McMoran yang memiliki mayoritas saham PT FI sebagai kesejajaran kedudukan dengan pemerintah, khususnya dalam hal peraturan perpajakan dan royalti,” ujar Guru Besar Hukum Internasional UI, Hikmahanto Juwana, di Jakarta, Jumat (28/9/2018).

Hikmahanto mengatakan, bahwa saat ini Freeport McMoran kedudukannya hanya sejajar dengan PT Inalum. “Freeport McMoran dan PT FI sebagaimana layaknya perusahaan wajib mematuhi segala hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia,” kata Hikmahanto.

Keberhasilan pemerintah membebaskan diri dari belenggu kontrak karya tentu tidak boleh berulang.

“Dalam kaitan ini PT Inalum harus transparan segera menyampaikan kepada publik siapa bank-bank asing yang akan diminta untuk memberi pinjaman. Ini penting agar Indonesia, khususnya pemerintah tidak terbelenggu kembali,” ujar Hikmahanto.

Menurutnya, bank asing yang perlu diwaspadai adalah bank-bank plat merah (BUMN) China. Paling tidak bila ada bank plat merah China maka mereka tidak mendominasi dari bank-bank yang menyediakan fasilitas pinjaman.

Ada empat alasan untuk ini.

Pertama, China saat ini sedang melakukan dominasi di berbagai belahan dunia termasuk Asia termasuk Indonesia. Ekspansi ini dilakukan dengan kekuatan finasialnya.

Kekuatan finansial dapat membuat ketergantungan sebuah negara sehingga kedaulatan negara tersebut mudah diintervensi. Situasi ini tentunya berlaku bagi kekuatan finansial China terhadap Indonesia.

“Pengalaman seperti ini bukan hal baru bagi Indonesia yang pernah sangat tergantung dari negara-negara donor seperti AS, negara-negara Eropa, bahkan Lembaga Keungan Internasional,” ujarnya.

Kedua, Bank plat merah dari China tentu akan mengikuti apa yang diinginkan oleh pemerintah China. Dalam konteks demikian jangan sampai bunga yang rendah dan tidak adanya agunan dikompromikan dengan kepentingan pemerintah China terhadap Indonesia.

Ketiga, sensitifitas publik di Indonesia juga harus diperhatikan. Belakangan berbagai isu yang berkaitan dengan China telah menganggu perasaan publik di Indonesia. Meski harus diakui hubungan China-Indonesia penting namun jangan sampai hubungan tersebut menganggu kondusifitas publik Indonesia.

Keempat, pembiayaan asal bank plat merah China diharapkan tidak berdampak pada Indonesia karena adanya perang dagang AS-China yang saat ini berlangsung.

“Bukannya tidak mungkin pemerintahan Trump menganggap China melalui Bank plat merahnya berhasil menyingkirkan Freeport McMoran yang merupakan perusahaan asal AS,” pungkasnya. (Very)

 

Artikel Terkait