Nasional

Christianto Wibisono: Perang Melawan ICOR

Oleh : Abdi Lisa - Kamis, 25/10/2018 21:01 WIB

Christianto Wibisono

Jakarta, INDONEWS ID – Asian Development Bank pernah menyusun tabulasi nilai Incremental Capital Output Ratio (ICOR) pada tujuh Negara.

Naskah inilah yang ditulis oleh Christianto Wibisono di dalam seminar PDBI hari ini, Kamis (25/10). Di dalam tulisan tersebut, ia menyampaikan bahwa tujuh Negara yang dimaksud adalah Indonesia 5.5, Malaysia 4.6, Filipina 3.7, Thailand 4.5, Vietnam 5.2 dan India 4.9 serta Turki yang mencapai ICOR 3.9.

Menurutnya, ICOR adalah koefisien produktivitas suatu nation state yang bersaing dengan nation state lain untuk berkontestasi di pasar global. Kalau angka ICOR tinggi berarti bangsa itu tidak efisien. Untuk tumbuh satu persen memerlukan investasi 5,5 persen dari PDB.

Itu tercermin dari angka ICOR kita dibanding dengan negara lain. Nah ICOR ini diawali sejak masyarakat dipungli mengurus birokrasi perizinan oleh eksekutif dan juga biaya legislatif yang ikut ditanggung lewat pungli dan pungutan diluar pajak, juga sistim judikatif yang korup. Kemudian suku bunga bank juga relatif tinggi karena spread yang tinggi yang ada di industri perbankan.

Dengan begitu karyawan juga naik UMR-nya, tapi tentu harus bersaing dengan tetangga dan pesaing lain. Tumpukan beban itulah yang mengungkung masyarakat awam maupun bisnis dalam hidup di Indonesia entah hanya sebagai karyawan maupun sebagai pengusaha.

Ongkos rente politik birokrasi parpol sangat tinggi tercermin dari angka ICOR 5,5 menurut studi empiris ADB.

Sementara itu berdasarkan data pemerintah terbaru dalam lampiran empat  tahun Jokowi-JK mengelola pemerintahan angka ICOR kita malahsejak 2014 itu berkisar sekitar enam yang tidak bergeming.

Berdasarkan tulisan yang sampai ke meja redaksi, Christianto menulis, 2024-6,5; 2015-6,64; 2016-6,46 dan 2017 6,34. Tidak ada bandingan empiris dari ADB maupun World Bank IMF. Jadi  kita harus menempatkan masalah upah dan seluruh biaya sosial dari pelayanan birokrasi dan efisien bangsa ini dengan kriteria yang terukur dan universal.

Persaingan global menuntut seluruh komponen bangsa menjadi profesional, produktif dan efisien.

Jika tidak ya kita akan ketinggalan dalam balapan persaingan. Pungli korupsi biaya politik (parpol) menjadi beban masyarakat dan bangsa ini keseluruhan terbukti dari angka ICOR yang membebani bangsa ini sehingga ekspornya kalah dari Vietnam US$ 214 milyar. RI hanya US# 169 milyar.

Presiden Jokowi telah menempatkan perang lawan ICOR ini dengan saber pungli dan OTT KPK yang diharapkan menurunkan ICOR Indonesia dari enam ke empat atau bahkan ketiga, dengan kebijakan OSS. Tetapi  sistim kepartaian plural tetap merupakan sumber dan akar masalah high poltical and bureaucratic cost yang harus dialami masyarakat (bisnis) maupun dalam aktivitas sosial dengan beaya public goods & service yang mahal dan tidak bisa bersaing dengan negara lain.

Karena itu juga ekspor kita tidak beranjak jauh dan bahkan kalah dari Vietnam. Bila pemberantasan korupsi dan perizinan OSS gagal dan masyarakat terus dibebani dengan pungli dan suap korupsi, maka nilai rupiah tidak bisa dikomando untuk menguat.

Hanya kinerja ekonomi, kemampuan ekspor, surplus devisa bisa memperkuat nilai mata uang suatu negara. Bukan gebrakan populisme atau not business friendly yang semakin mempersulit aliran sirkulasi ekonomi ditengah persaingan global yang malah diperburuk dengan proteksionisme bilateral ala Trump. (Abdi.K)

Artikel Terkait