Politik

Menolak Politik Identitas dengan Mengolah Modal Sosial Secara Efektif

Oleh : very - Sabtu, 08/12/2018 14:59 WIB

Diskusi bertajuk

 

Jakarta, INDONEWS.ID - Survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang terakhir menunjukkan kuatnya intoleransi politik di beberapa daerah di Indonesia. Menggunakan medium agama, baik wacana maupun praksis di ranah publik, misalnya ditemukan bahwa 57% responden yang disurvei menyatakan hanya akan memilih calon pemimpin yang seagama, dari level desa sampai pusat. Mereka bukan saja pasif, tetapi aktif mencegah pihak lain untuk memilih calon yang tak seagama. Selanjutnya 49% responden juga setuju dengan penerapan Perda Syariah.

Selain itu, terdapat daerah-daerah yang cenderung tinggi tingkat intoleransi politiknya, dengan basis identitas agama yaitu Aceh, Banten, dan Jawa Barat. Yang juga menonjol dalam penelitian LIPI tersebut adalah ditemukannya 3 aktor penting, yaitu Front Pembela Islam sebagai aktor pelaku intoleransi, Majelis Ulama Indonesia sebagai pendukung intoleransi, dan Nahdlatul Ulama sebagai penolak aksi intoleransi politik.

Amin Mudzakkir mengatakan, tren tingginya intoleransi politik ini akan menjadi ancaman demokrasi di masa depan sehingga perlu dicegah sedini mungkin agar tidak semakin menguat.

“Salah satu rekomendasinya adalah perlu ada upaya serius yang dilakukan Pemerintah maupun masyarakat agar masalah politik dibedakan dari masalah agama,” ujarnya dalam diskusi bertajuk “Quo Vadis Demokrasi: Mekanika Elektoral dalam Arus Politik Identitas” yang digelar oleh Para Syndicate, di Jakarta, Jumat (7/12/2018).

Selain Amin Mudzakkir, diskusi tersebut juga menghadirkan budayawan Mohamad Sobary, dan pengamat politik dari President University Muhammad AS Hikam.

Menurut Mohamad Sobari, politik identitas selalu hadir dalam perpolitikan nasional dengan berbagai tampilannya. Dalam sejarah misalnya, mereka selalu muncul dalam betuk parpol-parpol berbasis agama, kiprah para pemimpin nasional yang juga menggunakan wacana politik identitas, termasuk ketika sidang Konstituante untuk menentukan dasar negara.

Saat ini politik identitas dianggap sebagai persoalan serius dengan munculnya isu-isu agama yang dipolitisasi secara nyata dan besar-besaran. Namun demikian, menurut Sobari, masalah politik identitas tak perlu terlalu dirisaukan. “Sebab bisa saja hal ini menjadi bagian dari permainan politik dari luar seperti halnya ketika zaman Orla,” ujar Sobari.

Dia juga mengupas berbagai perilaku keagamaan yang saat ini diperlihatkan oleh pihak-pihak yang ingin disebut ulama. Perilaku-perilaku yang hanya bersifat instan, namun tidak mendalam apabila dibandingkan dengan para ulama tradisional. “Kondisi instan ini menyebabkan berbagai persoalan, termasuk politik,” ujarnya.

Sementara itu, AS Hikam mengemukakan bahwa politik identitas yang muncul dan berkembang saat ini harus dibedakan dengan yang lalu, karena asal usul dan konteksnya juga sangat berbeda. Dengan demikian implikasi kepada kehidupan masyarakat dan negara juga akan berbeda. Di era Orde Lama, katanya, didapati politik "aliran" yang di era Orba dicoba dikontrol ketat oleh rezim otoriter.

Namun, reformasi membuka keran bagi masuknya pengaruh luar dan kembalinya aspirasi politik identitas dari dalam. “Kombinasi antara keduanya, khususnya di kalangan Islam, memunculkan fenomena seperti ISIS dan HTI serta ‘home grown’ organisasi Islam seperti FPI dll,” ujar AS Hikam.

Menurutnya, hasil reformasi dalam bidang politik menjadi pendorong meluasnya upaya mencari alternatif di luar politik elektoral dari publik yang tak puas dengan parpol, parlemen, dan pemerintah. Kesenjangan ekonomi selama 20 tahun terakhir juga berkontribusi terhadap maraknya ketidakpuasan. Yang tak kalah penting juga vacuum-nya wacana tentang Pancasila sebagai ideologi setelah tumbangnya Orba. “Kekosongan inilah yang kemudian diisi oleh kelompok Islam politik dengan ideoligisasi terhadap agama,” ujarnya.

Menurut Hikam, implikasi bagi Indonesia di masa depan sangat bisa serius walaupun saat ini sampai 2019 mungkin masih belum terasa. Indikasi-indikasi akan semakin kuatnya ideologisasi Islam dan ketertarikan umat terhadapnya bisa dilihat pada meningkatnya tuntutan pelaksanaan syariat Islam seperti Perda Syariah, formalisme berbusana, dll.

“Dalam pandangan saya, bisa jadi paslon 01 masih unggul dalam Pilpres 2019 jika menggunakan berbagai survei terkait posisi petahana vis-a-vis kubu 02 saat ini. Namun demikian tak ada jaminan bahwa politik identitas akan berkurang pada pasca 2019 nanti. Justru apabila Pemerintah dan masyarakat sipil mendiamkan gejala ini, Indonesia bisa menghadapi masalah serius,”ujar Hikam.

Hikam mengatakan, tren maraknya politik identitas saat ini adalah tren global, sama halnya tren demokratisasi pada akhir abad ke-20 dulu. Kualitas dan karakternya berbeda dengan politik identitas tahun 50-an, dan kini posisi negara tidak lagi dominan seperti era sebelum dan saat perang dingin terjadi.

Karena itu, menyikapi arah perkembangan demokrasi Indonesia perlu memperhitungkan masalah politik identitas dengan tepat. Modal sosial bangsa kita adalah kebhinnekaan yang hakekatnya menolak segala sistem politik totaliter. “Namun jika kita tidak melakukan pengelolaan modal sosial dengan efektif, ancaman terhadap integritas NKRI tetap mungkin bisa terjadi,” pungkasnya. (Very)

 

Artikel Terkait