Internasional

Islamophobia: Penyakit Sosial yang Menggerogoti Demokrasi, Toleransi dan Pluralisme

Oleh : hendro - Kamis, 13/12/2018 19:30 WIB

Dubes RI untuk Belgia Yuri O. Thamrin, pada seminar dengan tema ‘Islam and Tolerance in Indonesia’ di kota Antwerp, Belgia

Belgia, INDONEWS.ID - Maraknya aksi-aksi untuk menebar kebencian terhadap Islam atau Islamophobia di Eropa semakin hari semakin memprihatinkan. Dalam pandangan Dubes Yuri O. Thamrin, Dubes RI untuk Belgia, Islamophobia di Eropa sudah menjadi penyakit (kanker) sosial yang dapat merusak dan menggerogoti nilai-nilai demokrasi, toleransi dan pluralisme yang selalu dijunjung tinggi negara-negara Eropa. 

Pada tahun 2016, sedikitnya terdapat 36 Islamophobia insiden di Belgia, 56 insiden di Denmark, 256 insiden di Austria. Hal ini diperburuk dengan banyaknya aksi-aksi teror yang mengatasnamakan Islam di benua Eropa belakangan ini (Data dari http://www.islamophobiaeurope.com)

Islamophobia tidak membantu terciptanya suasana damai dan aman seperti yang kita harapkan karena Islamophobia tidak membedakan antara muslim kebanyakan dan oknum muslim ekstrimis yang menyalahgunakan Islam untuk kepentingan politis. 

Muslim ekstrimis yang menyalahgunakan nama Islam tidak mewakili mayoritas muslim yang moderat. Hal ini mengemuka dan dibahas pada seminar dengan tema ‘Islam and Tolerance in Indonesia’ di kota Antwerp, Belgia (12/12) lalu, yang diselenggarakan untuk memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai Islam khususnya Islam di Indonesia.

Lebih jauh, para pakar seperti Dr. Ayang Utriza Yakin dari Universitas Louvain; Prof. Patrick Loobuyck dari Universitas Antwerp, Dr. Bakhtiar Hasan, Syuriah PCI NU Belgium mengupas isu toleransi dalam Islam di Indonesia dari berbagai perspektif termasuk sejarah, bentuk-bentuk toleransi, serta tantangan ke depan.

 Seminar juga menggarisbawahi pentingnya kerja sama antar negara dan antar komunitas yang serius dalam menanggulangi isu terorisme dan ekstrimisme yang semakin kompleks. ‘Masalah jihad bukan hanya masalah Indonesia, tapi masalah Eropa dan masalah internasional yang memerlukan kerja kolektif’, ujar Dr. Ayang Yakin. 

Dibahas juga tawaran interfaith scholarship dan interfaith dialogue bagi masyarakat Eropa untuk melihat secara langsung bagaimana Islam dipraktekkan di Indonesia serta bagaimana Indonesia mengelola perbedaan antar umat beragama dan berdemokrasi. Meskipun bukan model yang sempurna, pengelolaan toleransi di Indonesia diharapkan dapat menjadi rujukan bagi negara-negara di Eropa.

Wakil Walikota Antwerp, Mr. Ludo Van Campenhout, yang turut hadir dalam seminar ini berbagi nilai-nilai toleransi yang dianut oleh warga Kota Antwerp, yakni menghormati perbedaan, menghormati kebebasan, serta menghormati hak persamaan laki-laki dan perempuan.(hdr)


 

Artikel Terkait