Nasional

ICJR: Debat Capres Tidak Menjawab Masalah Hukum dan HAM di Indonesia

Oleh : very - Jum'at, 18/01/2019 16:40 WIB

Debat pertama capres-cawapres 2019 di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, 17 Januari 2019. (Foto: suara.com)

Jakarta, INDONEWS.ID -- Kedua pasang calon Presiden dan Wakil Presiden di Pemilihan Presiden 2019 melaksanakan debat ronde pertama yang bertajuk Hak Asasi Manusia, Korupsi, dan Terorisme, pada Kamis (17/1/2019).

Pada pemaparan visi dan misi, Pasangan Calon Nomor Urut 1 menekankan bahwa HAM tidak hanya terbatas pada hak sipil dan politik namun juga hak ekonomi, sosial, dan budaya serta bahwa pelanggaran HAM berat masa lalu tidak mudah dalam menyelesaikannya. Ini karena ada kompleksitas dalam mekanisme, pembuktian, serta waktu sehingga reformasi kelembagaan dan penguatan sistem manajemen hukum dan budaya hukum harus dilakukan.

Sedangkan Pasangan Calon Nomor Urut 2 memaparkan bahwa Indonesia sedang berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan, sehingga dengan mengusung jargon "Indonesia Menang" pasangan calon nomor urut 2 akan menyelesaikan permasalahan hukum dari muara masalah, yakni dengan mencukupkan anggaran untuk menjamin kualitas semua petugas yang memiliki wewenang untuk mengambil keputusan sehingga tidak mudah korupsi.

Dalam debat ini, beberapa isu yang mengemuka dalam sesi pertanyaan dari panelis adalah mengenai harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan, penegakan hukum dan HAM, diskriminasi berdasarkan etnis, agama, pandangan politik, hak-hak penyandang disabilitas, serta penegakan hukum terhadap terorisme. Sedangkan dalam sesi tanya jawab antar pasangan calon, isu yang mengemuka adalah isu keterwakilan perempuan, isu benturan kepentingan, serta isu korupsi.

Direktur Eksekutif ICJR, Anggara mengatakan bahwa ada beberapa catatan penting terkait debat tersebut.

Pertama, terkait isu harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan. Pada pembahasan mengenai isu tumpang tindih regulasi, para pasangan calon luput dalam mengangkat isu tumpang tindih peraturan perundang-undangan dalam kerangka hukum pidana. Padahal, isu regulasi hukum pidana yang tumpang tindih ini sangat penting karena dalam hukum pidana dianut adanya prinsip lex certa, lex stricta, dan lex scripta.

Fenomena yang ada saat ini, terdapat begitu banyak peraturan perundang-undangan pidana yang memuat ancaman pidana namun bertentangan satu sama lain atau memuat istilah yang berbeda-beda sehingga menimbulkan ketidakpastian. “Saat ini juga pembahasan RKUHP yang diyakini sebagai kodifikasi seluruh ketentuan pidana sedang berlangsung. Sayangnya, kedua pasangan calon tidak punya fokus untuk pembenahan regulasi pidana,” ujar Anggara di Jakarta, Jumat (18/1/2019). 

Tidak selarasnya peraturan perundang-undangan, katanya, mengakibatkan banyak hak masyarakat yang tidak terpenuhi. Salah satu yang disoroti ICJR misalnya pemenuhan hak korban kejahatan.

Indonesia meskipun memiliki UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, namun hak dan mekanisme pemenuhan hak korban juga masih tersebar di berbagai undang-undang. Akibatnya seringkali hak tersebut tidak terpenuhi karena aturan yang tidak sinkron dan harmonis. “Salah satu yang menjadi soal misalnya ketika Pemerintah memutuskan tidak lagi menanggung pembiayaan korban kejahatan dengan skema BPJS, padahal dilain sisi, pemenuhan hak korban masih jauh dari kata cukup,” ujarnya.

Kedua, terkait isu penegakan hukum dalam Kejahatan Terorisme. Dalam isu penegakan hukum terhadap tindak pidana terorisme dalam kaitannya dengan HAM, kedua pasangan calon menyetujui bahwa deradikalisasi adalah suatu hal yang penting dalam pencegahan terorisme.

ICJR menilai bahwa masalah injustice dan inequality menjadi suatu problem yang harus diperhatikan dan bukan hanya terbatas pada perubahan ideologi agar seseorang tidak menjadi radikal. Terorisme saat ini sudah menjadi permasalahan yang kompleks dan tidak lagi hanya terbatas pada permasalahan perbedaan ideologi yang dianut. “Sayangnya, kedua belah pasangan calon tidak menawarkan bagaimana sebenarnya injustice dan inequality yang sangat kental dalam masyarakat ini bisa diatasi sehingga terorisme bisa dicegah secara bertahap,” ujar Anggara. 

Metode perang yang dihadirkan negara dengan melakukan serangkaian extra judicial killing dan tidak menjawab isu HAM dalam penegakan hukum menjadi acuan yang juga harus diperhatikan. UU Terorisme baru misalnya, masih membuka peluang incommunicado detention dengan lamanya masa penangkapan. “Hal ini secara jelas membuka peluang pelanggaran HAM dalam penegakan hukum terorisme yang bsia menjadi akar injustice dan menimbulkan bibit baru terorisme,” ujarnya.

Ketiga, isu fair trial sempat mengemuka dalam sesi debat Calon Presiden dan Wakil Presiden. Pasangan calon Joko Widodo dan Maaruf Amin menyatakan bahwa HAM dan penindakan hukum yang sesuai bukanlah merupakan suatu pelanggaran HAM. Sebagai contoh mengenai penahanan, yang harus dilakukan supaya tersangka tidak melarikan diri atau merusak barang bukti. Tidak hanya itu, keberadaan lembaga pra-peradilan juga sempat dinyatakan, untuk menjadi alasan bahwa Indonesia saat ini sudah melaksanakan fair trial karena terhadap mekanisme uji terhadap upaya paksa.

ICJR memandang, jawaban ini tidak merepresentasikan masalah fair trial yang ada di Indonesia. Sebab dalam isu ini, permasalahan tidak sebatas pada kerangka hukum yang tidak memadai, namun juga pada tingkatan pelaksanaannya.

Berdasarkan Laporan Penilaian Prinsip Fair Trial di Indonesia 2018, saat ini penilaian terhadap pemenuhan hak tersangka selama proses peradilan, di antaranya hak untuk tidak dilakukan penangkapan dan ditahan secara sewenang-wenang, masih berada di angka 37,6% (kurang).

Anggara mengatakan bahwa tantangan kunci dalam pemenuhan hak tersangka, salah satunya juga diidentifikasi sebagai mekanisme uji yang memadai terhadap upaya paksa yang dilakukan oleh penegak hukum. Sebab tidak pernah ada pengujian terkait dengan alasan substantif mengapa seseorang harus ditahan dan selama ini penahanan dilakukan dengan syarat substantif berdasarkan Pasal 21 ayat (1) KUHAP dan ancaman hukuman 5 tahun. 

Menurutnya, masalah pembenahan sistem peradilan pidana yang seharusnya bertumpu pada prinsip transparansi, akuntabilitas, ada adanya pengawasan berjenjang juga perlu diperhatikan untuk dapat mengurangi adanya kesewenang-wenangan dari aparat penegak hukum.

Besarnya celah kuasa dan potensi kesewenang-wenangan tersebut membuka peluang korupsi yang selama ini jarang disentuh. “Untuk menanggulangi korupsi maka perlu dilakukan pembenahan sistem. Pembenahan ini dapat dilakukan dengan melakukan perubahan KUHAP yang sangat mendasar dalam sistem peradilan pidana dari model crime control ke model due process,” pungkasnya. (Very)

Artikel Terkait