Bisnis

Pertamina Kabarnya Banyak Menanggung Beban, Apa Penyebabnya?

Oleh : Syailendra - Jum'at, 25/01/2019 10:12 WIB

Gedung Pusat Pertamina. (Foto: Istimewa)

Indonews.id - Beberapa pengamat Migas menilai, Pertamina saat ini banyak menanggung beban yang menggangu keuangannya.Salah beban diantaranya harus menjalankan public service obligation (PSO) dalam penyaluran BBM dan elpiji 3 kg. Dan yang terakhir adanya kewajiban penyerahan signature bonus untuk blok-blok migas yang habis masa kontraknya.

Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan, pemerintah saat ini justru memberatkan keuangan Pertamina melalui kewajiban signature bonus yang harus dibayar di depan untuk pengelolaan blok-blok migas yang kontraknya berakhir.

"Seharusnya blok-blok migas yang habis masa kontrak harus diserahkan kepada Pertamina selaku BUMN migas. Selama periode 2019-2026 sendiri terdapat 23 blok migas yang akan habis masa kontraknya (blok terminasi)," terang Marwan di bilangan Senayan, Jakarta Selatan (24/1/2019).

Marwan menganggap, penerapan signature bonus itu sebagai penghambat atas upaya membesarkan Pertamina menjadi perusahaan energi bertaraf internasional, dan mampu menjamin ketahanan energi nasional yang berkelanjutan. "Merujuk kebijakan berbagai negara di luar negeri, kewajiban signature bonus tidak pernah diterapkan kepada BUMN bangsa sendiri," tambah Marwan.

Pertamina pada 21 Desember lalu, sudah membayar lunas kewajiban signature bonus Blok Rokan sebesar USD 784 juta. Diungkapkan Marwan, ternyata sumber dana untuk pembayaran diperoleh dari penerbitan global bond atau surat utang di pasar modal Singapura yang nilainya mencapai US$ 750 juta dengan tingkat bunga 6,5%. "Dengan berhutang guna membayar signature bonus, maka beban hutang Pertamina menjadi semakin melambung.

Marwan membeberkan, tahun 2016 Pertamina memiliki hutang US$ 25,16 miliar. Pada 2017 hutangnya naik 9% menjadi US$ 27 miliar, dan pada kuartal III tahun 2018, hutang Pertamina membengkak menjadi Rp 522 triliun (US$ 37 miliar), naik 40,7% dibandingkan periode yang sama pada 2017 sebesar Rp 371 triliun. Khusus hutang obligasi, nilainya adalah US$ 8,75 miliar pada Oktober 2018, dan naik menjadi US$ 9,5 miliar pada Desember 2018.

"Hutang Pertamina ini seolah terpaksa, dan ini menunjukkan signature bonus lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Apalagi Pertamina sebagai BUMN adalah perusahaan negara yang seharusnya diutamakan bukannya disamakan dengan perusahaan swasta atau asing," Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (PUSHEP) Bisman Bakhtiar.

Artikel Terkait