Nasional

Moeldoko: Saat Ini Ada Revolusi Jari, Berita Ditentukan dalam 30 Detik

Oleh : very - Selasa, 12/02/2019 12:01 WIB

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko bersama Mendagri, Thahjo Kumolo dalam Rapat Koordinasi Nasional Kehumasan dan Hukum Kementerian Dalam Negeri bertema ‘Kesiapan Pelaksanaan Pemilu Serentak 2019’ di Hotel Bidakara, Jakarta, Senin, 11 Februari 2019. (Foto: ist)

Jakarta, INDONEWS.ID -- Indonesia saat ini dihadapkan pada tantangan untuk membangun ruang publik yang sehat dan bebas dari rasa takut. Karenanya, masyarakat harus bijak menyikapi begitu cepatnya perkembangan dunia digital dan media sosial.

Pernyataan itu diungkapkan oleh Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko saat membuka Rapat Koordinasi Nasional Kehumasan dan Hukum Kementerian Dalam Negeri bertema ‘Kesiapan Pelaksanaan Pemilu Serentak 2019’ di Hotel Bidakara, Jakarta, Senin, 11 Februari 2019.

Moeldoko memaparkan, akibat cepat dan derasnya pertukaran informasi melalui media internet dan sosial media, pertarungan terjadi selama 30 detik, saat kebanyakan pengguna internet hanya memindai berita secara singkat, dan tidak membacanya secara utuh.

“Saat ini saya menjuluki ada sebuah revolusi jari, di mana sebuah berita ditentukan kecepatan dalam 30 detik begitu kita membaca berita. Tanpa mengetahui kebenarannya, jari kita bermain. Apakah berita itu benar atau tidak, masa bodoh,” kata Moeldoko.

Hal ini membuat masyarakat tidak sempat lagi melakukan pengecekan kebenaran atas informasi yang didapatnya. Untuk itu, ia meminta masyarakat lebih bijak dalam menggunakan jarinya untuk membaca, menelaah dan tidak asal membagi sebuah informasi yang belum jelas kebenarannya.

“Kini, informasi dari pemerintah harus bersaing dengan informasi lain untuk mendapatkan perhatian publik. Belum lagi ada juga upaya dari pihak-pihak lain, yang mungkin tidak senang dengan pemerintah, untuk melakukan disinformasi,” papar Panglima TNI 2013-2015 itu.

Moeldoko mengatakan pemerintah telah bekerja dengan baik. Namun, hasil kerja ini kerap dipatahkan dengan berita bohong atau hoaks.

“Pemerintah sudah bekerja dengan luar biasa, tapi dipatahkan dengan embusan berita yang tidak jelas, bohong, berita yang fitnah. Kerja keras yang luar biasa itu dipatahkan dengan satu kalimat,” urai mantan Wakil Gubernur Lemhanas ini.

Lebih jauh dipaparkan, era ini juga kerap kali disebut era ‘disruptive’ di mana persepsi masyarakat dalam kondisi paradoks antara informasi dan situasi yang beredar di masyarakat.

“Informasi yang beredar di masyarakat sering kali ditumpangi oleh kepentingan politik kelompok-kelompok tertentu yang sering kali menggunakan kepentingan sempit dan juga SARA untuk mengadu domba satu sama lain,” jelasnya.

Doktor Ilmu Administrasi Negara dari Universitas Indonesia itu menjelaskan, era ini juga seringkali disebut dengan era ‘Pasca-Kebenaran’ atau ‘Post-Truth’, di mana masyarakat cenderung tidak lagi menggunakan logika untuk mencari kebenaran akan informasi namun lebih mencari pembenaran sesuai perasaan pribadinya dalam membentuk opini publik.

“Di sini, fakta-fakta obyektif diabaikan dan kerap tidak bisa dipertanggungjawabkan,” katanya.

Moeldoko menekankan agar hoaks jangan dianggap sebagai permasalahan remeh, karena bukan hal yang tidak mungkin bila suatu berita bohong disebarkan terus menerus maka akan diamini kebenarannya oleh masyarakat.

“Hoaks bahkan dapat menyebabkan perang saudara yang berakibat pada perpecahan bangsa, seperti yang terjadi di Afghanistan,” ungkapnya.

Kepada para peserta Rakornas Humas, Kepala Staf Kepresidenan memberi arahan agar seluruh humas pemerintah harus bekerja bersama, tak sekedar berkoordinasi tapi berkolaborasi.

Moeldoko menekankan, Kantor Staf Presiden dalam tugas strategiknya mengelola isu strategis berulang kali mengundang kementerian dan lembaga untuk berkoordinasi dan berkolaborasi untuk melakukan diseminasi informasi.

“Dalam mengatasi hoaks, Pemerintah sudah bekerja 24 jam untuk rakyat. Itu yang harus disampaikan,” tegasnya. (Very)

Artikel Terkait