Nasional

RI Harus Miliki Kualitas Bukti Saat Menangani Pengembalian Aset di Luar Negeri

Oleh : very - Jum'at, 15/02/2019 10:25 WIB

Aktivis ICW saat menggelar diskusi mutual legal assistance (MLA) di kantor ICW, Jakarta, Kamis (14/2/2019). (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID -- Indonesia telah menandatangani perjanjian mutual legal assistance (MLA) atau yang kerap disebut sebagai bantuan hukum timbal balik di ranah hukum pidana dengan negara Swiss (4/02). Perjanjian ini sekaligus merupakan MLA ke-10 yang telah ditandatangani oleh Indonesia, setelah sebelumnya Australia, Hongkong, RRC, Korea Selatan, India, Vietnam, Uni Emirat Arab, Iran, dan negara yang tergabung dalam ASEAN.

Merujuk pada Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana (UU No.1 Tahun 2006) menyebutkan bahwa bantuan timbal balik merupakan permintaan bantuan berkenaan dengan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan negara diminta. Ini merupakan instrumen utama yang digadang-gadang sebagai pintu masuk untuk merampas aset terduga pelaku kejahatan yang saat ini masih berada di luar negeri.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan, harus dipahami bahwa langkah setelah penandatangan MLA ini masih cukup panjang agar bisa diterapkan secara maksimal. Setidaknya pekerjaan rumah Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selanjutnya adalah meratifikasi perjanjian tersebut menjadi UU.

“Maka dari itu menindaklanjuti perjanjian MLA Indonesia dengan Swiss, Indonesia Corruption Watch (ICW) menuntut agar Pemerintah dan DPR segera meratifikasi MLA yang telah ditandatangani oleh Indonesia dan Swiss,” ujarnya di Jakarta, Kamis (14/2/2019).

Namun, ICW meragukan keseriusan DPR melakkan ratifikasi tersebut mengingat saat ini adalah tahun politik maka dapat dipastikan konsentrasi Pemerintah dan DPR akan banyak tersita pada pemilihan legislatif maupun Presiden. Selain itu rekam jejak DPR selalu dianggap buruk jika berbicara mengenai produk legislasi. Data menunjukkan pada tahun 2017 lalu, dari 53 RUU yang ditargetkan, hanya 5 UU saja yang berhasil disahkan.

Contoh lainnya adalah ketika melihat kinerja DPR pasca dilakukan berbagai MLA dengan negara-negara lain. Terbukti bahwa belum seluruh MLA ditindaklanjuti menjadi UU, data yang terhimpun menyebutkan hanya Australia, RRC, Korea, Hongkong, India, Vietnam, dan Uni Emirat Arab saja. “Ini akan semakin membuat publik tidak yakin dengan komitmen legislatif dalam mendukung kebijakan ini,” ujar Kurnia.

Langkah selanjutnya yang harus dilakukan, menurut ICW, yaitu Pemerintah dan DPR segera membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pemulihan Aset. Selain itu, Central Authority harus gencar memberikan asistensi serta sosialisasi terkait mekanisme pengajuan MLA bagi penegak hukum.

Terkahir, adalah, penegak hukum harus concern pada upaya pelacakan serta pengembalian aset dengan menyertakan aturan Tindak Pidana Pencucian Uang pada setiap sangkaan atau dakwaan pelaku tindak pidana korupsi.

Menurut ICW, ada dua permasalahan dalam memahami konsep MLA sebagai instrumen untuk merampas aset di luar negeri. Pertama, aktor yang memiliki otoritas tunggal seakan-akan hanya Kementerian Hukum dan HAM. Akibatnya alur permohonan MLA menjadi terlalu birokratis dan tidak efisien.

“Padahal setiap tindakan hukum harus dilaksanakan secepat mungkin agar aset yang berada di luar negeri dapat dibekukan sementara sembari menunggu jalannya proses penanganan perkara,” ujarnya.

Apalagi dengan adanya Pasal 1 ayat (8) UU a quo yang menyatakan bahwa pejabat adalah orang yang diperintahkan atau orang yang karena jabatannya memiliki kewenangan untuk melaksanakan tindakan-tindakan yang terkait dengan bantuan timbal balik. Hal ini memperjelas bahwa setiap orang yang memiliki wewenang karena jabatannya dapat melakukan MLA, seperti Jaksa Agung, Kapolri, bahkan Ketua KPK.

Kedua, mekanisme dalam permintaan MLA. Apabila merujuk pada Pasal 5 UU a quo, MLA dapat ditempuh dengan dua mekanisme. Antara lain, bantuan dapat dilakukan berdasarkan suatu perjanjian. Artinya, momentum penandatangan perjanjian MLA pada awal Februari tersebut dalam rangka memenuhi klausul tersebut. Lalu bantuan dapat dilakukan atas dasar hubungan baik dengan prinsip resiprositas.

Hubungan baik yang dimaksud, menurut ICW, tercermin dalam kasus dugaan korupsi Kartu Tanda Penduduk elektronik (KTP-el) yang dilakukan oleh KPK. Pada saat itu lembaga anti rasuah tersebut mengadakan kerjasama dengan beberapa penegak hukum luar negeri, seperti Federal Bureau of Investigation (FBI) di Amerika untuk membekukan aset (freezing asset) pelaku dugaan korupsi KTP-El.

Padahal jika dilihat Indonesia belum memiliki MLA dengan negara Paman Sam tersebut. Ini membuktikan bahwa proses pembekuan atau penyitaan aset yang berada di luar negeri tidak bergantung pada adanya perjanjian MLA antar negara. Selain itu telah tegas juga dalam Pasal 12 huruf h UU KPK bahwa dalam melaksanakan penyelidikan, penyidikan maupun penuntutan lembaga anti rasuah ini berwenang meminta bantuan Interpol Indonesia atau penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri.

Karena itu, menjadi pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana jika negara yang dituju tidak memberikan akses bantuan terhadap Indonesia?

Peneliti ICW lainnya, Wana Alamsyah mengatakan, merujuk Pasal 46 konvensi anti korupsi (UNCAC) menyebutkan bahwa negara-negara peserta wajib memberikan bantuan seluas-luasnya kepada negara yang sedang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan proses peradilan sehubungan dengan pelanggaran dalam konvensi ini.

“Jadi dengan adanya aturan ini sudah menjadi legitimasi yang kuat tanpa membutuhkan perjanjian khusus antar negara,” ujarnya.

Berangkat dari penjelasan diatas maka untuk memaksimalkan upaya pengembalian aset di luar negeri penegak hukum harus memastikan kualitas bukti saat menangani sebuah perkara agar memudahkan otoritas luar negeri untuk mencari informasi yang dibutuhkan.

Selain itu networking dengan penegak hukum luar negeri perlu untuk ditingkatkan. Mengingat saat ini Kejakasaan Agung Republik Indonesia telah tergabung dalam organisasi Asset Recovery Inter-Agency Network Asia Pasific (ARIN-AP). Lalu pada tahun 2018 lalu Kepala Pemulihan Aset Kejaksaan RI juga terpilih menjadi Presiden ARIN-AP. Langkah ini seharusnya bisa memudahkan koordinasi antar penegak hukum untuk mengembalikan aset pelaku korupsi yang masih tersimpan di luar negeri.

“Patut untuk diketahui bahwa Swiss selama ini terkenal dengan sebutan The Grandfather of The World’s Tax Havenskarena kerahasian banknya dan diduga menjadi tempat penyimpanan aset para pelaku korupsi. Bahkan laporan Majalah Times pada tahun 1999 menyebutkan bahwa harta mantan Presiden Soeharto sempat terlacak sebesar US$ 9 miliar berada di salah satu Bank Swiss,” pungkasnya. (Very)

Artikel Terkait