Nasional

Pembangunan Budaya Politik Menghindari "De-Demokratisasi"

Oleh : very - Rabu, 20/02/2019 14:01 WIB

Pengamat Politik dari President University, Muhammad AS Hikam. (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID -- "Kita punya budaya politik yang sarat dengan penindasan, pilih kasih, patronase, dan ketakutan. Tak mungkin sebuah masyarakat yang sehat diatur dengan budaya politik seperti itu." (Alexandria Ocasio-Cortez, politisi perempuan milennial AS).

“Membangun demokrasi perlu landasan yang kokoh, bukan hanya dalam bentuk landasan kelembagaan (democratic institutions) saja tetapi juga landasan budaya (democratic culture). Jika di negara demokratis seperti AS saja masih memerlukan perubahan dan pembangunan budaya politik yang lebih kompatibel bagi keberlanjutan sistem demokrasinya, apalagi kita bangsa dan negara Indonesia, yang bisa dikatakan masih sedang dalam tahapan awal dalam membangun demokrasi konstitusional (constitutional democracy)”.

Demikian dikatakan Pengamat Politik dari President University, Muhammad AS Hikam dalam siaran pers di Jakarta, Rabu (20/2/2019).

Hikam mengatakan, perkembangan perpolitikan Indonesia pasca-reformasi menunjukkan dinamika yang ditengarai kian mengarah kepada pemerosotan wacana dan praksis demokrasi.

“Memang benar bahwa jika dilihat secara formal, maka praktik demokrasi kita cukup menggembirakan dan, sampai tingkat tertentu, membanggakan. Namun jika kita mau melihat dan mencermati secara mendalam, maka investasi untuk memperkuat demokrasi cenderung mengkhawatirkan,” ujarnya.

Formalisme yang ada, kata Hikam, mengakibatkan sebuah praktik demokrasi yang sarat dengan transaksionalisme, praktik korupsi di kalangan politisi, penurunan kualitas SDM politisi baik di parlemen maupun di parpol, dan kian berkuasanya para oligarkih.

Pada tataran non-elektoral, pentas politik selama beberapa tahun ini dijangkiti oleh virus berbahaya seperti politik identitas dengan maraknya penggunaan SARA dalam wacana dan praksis; maraknya penyebaran hoax dalam komunikasi politik, dan kian menipisnya kesantuan publik di dalam wacana dan praksi politik.

Demikian pula, menguatnya mobilisasi massa untuk menjustifikasi kuatnya dukungan politik, melahirkan kekhawatiran tentang bahaya mobokrasi sebagai bentuk manipulatif dari demokrasi.

“Fakta-fakta terkait dengan dinamika yang menghasilkan pemunduran demokrasi sangat berlimpah khususnya saat kita sedang menggelar pesta demokrasi. Pilkada, Pileg, dan Pilpres pada dua tahun terakhir!,” ujarnya.

Oleh karena itu, di negeri kita saat ini tampak jelas bahwa terjadi pemerosotan dalam landasan budaya bagi pengembangan demokrasi konstitusional. “Budaya menindas (seperti dalam relasi mayoritas-minoritas), tebang pilih (dalam gakkum), feodalisme (dalam struktur parpol), pesimisme dan sinisisme (dalam persepsi terhadap demokrasi), hoax (dalam komunikasi publik), dan ketakutan (dalam propaganda ideologi anti Pancasila) mesti diubah total. Jika tidak, maka fondasi demokrasi kita akan dilemahkan dan rentan terhadap intrusi dan ancaman baik yang bersumber dari dalam batang tubuh bangsa maupun dari luar,” ujar Hikam.

Menurut Hikam, budaya-budaya korosif diatas memungkinan kembalinya paham otoriterisme dan kekuasaan yang dibangun di atasnya. “Kendati otoriterisme sudah kita tumbangkan lebih dari dua dasawarsa lalu, bukan hal yang mustahil untuk berusaha kembali lagi, seperti yang kita saksikan di negara-negara Amerika Latin (Brazil, dan Venezuela), Asia (Thailand dan Filipina), Afrika (Mesir, Sudan), dsb. Kegagalan mereka dalam memertahankan dan melanjutkan perjuangan, menghasilkan sebuah fenomena "dedemocratization" baik secara gradual maupun cepat,” pungkasnya. (Very)

Artikel Terkait