Nasional

Pentingnya Penguatan Karakter pada Pendidikan Dasar untuk Mendidik Anak yang Beradab

Oleh : very - Selasa, 26/02/2019 23:01 WIB

Prof. Dr. Hamdi Muluk. (Foto: Ist)

 

Jakarta, INDONEWS.ID -- Budaya perkelahian antar pelajar masih saja menjadi masalah klasik. Masalah ini menjadi semakin kompleks, dimana pada  akhir-akhir ini dengan fenomena semakin beraninya siswa sekolah yang mempermalukan gurunya di kelas, lalu diajak berkelahi bahkan dianiaya hingga tewas. Tak hanya itu, bahkan ada orang tua siswa yang ikut memarahi guru dan mengajak guru berkelahi.

Fenomena pada jaman sekarang ini cukup merisaukan karena generasi inilah yang akan menentukan masa depan bangsa di masa yang akan datang. Penguatan pendidikan karakter seakan telah luntur dari dunia pendidikan.

Guru Besar Psikologi dari Universitas Indonesia (UI), Prof. Dr. Hamdi Muluk, M.Si mengatakan bahwa penyebab lunturnya karakter atau budaya siswa untuk menghormati gurunya sebagai orang yang mendidik mereka demi masa depannya dikarenakan kelalaian dari diri kita sendiri. Di tingkat pendidikan dasar, orang tua lebih khawatir kalau anak-anaknya tidak cepat-cepat menguasai kemampuan skolastis seperti membaca, berhitung, matematika, bahasa Inggris, dan seterusnya dianggap tidak maju

“Kurikulum dasar kita baik untuk tingkat PAUD, TK dan SD saat ini sudah dijejelin agar supaya anak-anak ini cepat-cepat menguasai kemampuan skolastis ini. Karena kalau tidak seperti itu tentunya orang tua merasa khawatir kalau anaknya tidak jago kemampuan skolastik ini ada pemikiran sebagai bangsa, kita tidak maju dan tertinggal,” ujar Prof. Dr. Hamdi Muluk, di Jakarta, Selasa (26/2/2019).

Padahal menurutnya, ditingkat pendidikan dasar yang diperlukan adalah mengajarkan nilai-nilai seperti integritas yang didalamnya mengandung kejujuran, bertanggung jawab, konsisten, kemandirian, dan persatuan yang mengajarkan toleransi, hormat-menghormati, sopan santun kepada orang yang lebih tua. 

“Nah pendidian nilai-nilai ini lah sebenarya yang akan membekali orang untuk menghadapi dunia nyata, apa yang sering juga disebut sebagai Life Skills. Nah, kalau nilai-nilai ini tertanam dengan baik, maka hasilnya adalah Karakter Yang Kuat. Kalau karakter kuat dan sudah tertanam, baru mulai menguasai skil-skil skolastik seperti  Matermatik, Bahasa Inggris, Kimia, Biologi dan sebagainya. Dan itu tentunya akan  lebih mudah,” ujarnya menjelaskan.

Karena menurutnya, orang yang berkarakter kuat tentunya tidak akan mudah menyerah, dimana orang tersebut akan selalu mencoba untuk belajar sendiri. Kalau nilai-nilai toleransi seperti homat kepada yang lebih tua, menghormnati otoritas (seperti guru), tentunya anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi dengan karakter kuat.

“Anak-anak seperti ini dikemudian hari tentu akan cepat menguasai kemampuan akademik itu. Saya akui bahwa sistem pendidikan dasar kita ini agak kacau: Pendidikan PAUD, TK dan SD saja lebih banyak muatan akademiknya ketimbang pendidikan nilai-nilai budi pekerti,” ujar pria kelahiran Padang Panjang, 31 Maret 1966 ini.

Dirinya memberikan contoh di luar negeri, dimana pendidikan awal seperti TK, SD lebih banyak dengan kegiatan "bermain" lewat ekperimen seperti olah raga ataupun kesenian. Dan disitu juga diselipkan pendidikan nilai-nilai seperti toleransi, sportifitas, kompetisi, hormat menghormati, persatuan dan sebagainya.  “Harus seperti itu.  Bukan malah menjejali anak murid yang masih kecil-kecil ini dengan hapalan di kelas yang tentunya membosankan,” katanya.

Namun yang menjadi  masalah, menurutnya, pendidikan karakter yang terpadu dengan aktifitas mengembangkan kecerdasan majemuk seperti estetitka, kinetik, sosial, spiritual itu membutuhkan sarana dan prasana yang baik serta  guru-guru yang juga mengajar dengan sepenuh hati (passion), bukan sekedar lepas dari kewajban.

“Guru harus punya kewibawaaan dan kompetensi yang cukup, sehingga tidak gampang diremehkan oleh murid-muridnya. Nah ini juga masalah kita, guru-guru kita kualitasnya rendah, gaji dan kehidupan eknominya juga agak morat-marit. Dengan kondisi seperti itu bagaimana dia tampil menjadi guru yang kredibel dan berwibawa di mata muridnya? Ini juga menjadi problem selama ini,” ucapnya.

Permasalahan lain menurutnya, juga dikarenakan lingkungan sosial, termasuk juga di rumah dan bahkan mungkin juga di sekolah yang sudah tidak punya  atau sudah luntur. “Padahal budaya melihat nilai-nilai itu lebih penting ketimbang kemampuan skolastik (akademik). Jadi kita tidak menghargai kalau nilai-nilai itu tidak dihormati, seperti orang tua atau murid yang ikut memukul guru atau ketika anaknya dimarahin guru. Nilai-nilai itu sudah luntur membuat anak-anak menjadi tidak terdidik dengan baik,” katanya.

Untuk itu dikatakannya, peran keluarga baik orang tua, kakek nenek, paman, tante dan sebagainya juga harus sadar bahwa yang lebih penting untuk diajarkan kepada anak-anak itu adalah nilai-nilai, bukan sekedar pencapaian nilai akedemis di sekolah. Dirinya bahkan juga menyanyangkan ada orang tua yang malah kasak-kusuk mencari bocoran soal, untuk dikasih ke anaknya supaya nilai anaknya bagus. “Orang tua model seperti ini juga tidak benar. Tapi sedihnya kenyataan ini justru banyak terjadi di masyarakat kita sekarang ini.  Sedih sekali, api itulah kenayataanya,” ujarnya.

Bahkan menurutnya,  pada saat ini kita krisis contoh dan keteladanan. Padahal anak-anak ini perlu role model yang akan dia teladani. Dan orang tua diharapkan  bisa memberikan teladan yang bagus kepada anaknya misalnya seperti tidak KKN, ucapannya bisa dipegang, hormat kepada otoritas (bangsa dan negara), tidak memaki-maki di ruang pubik, ustad berceramah tidak memaki- maki dan tidak menyebar ujaran kebencian.

“Kritis boleh tapi elegan dan santun. Jadi kita krisis contoh yang baik dari yang atas atas, krisis role model. Nah insitusi keluarga dan sekolah menghadapi tantangan yang tidak mudah. Di tengah iklim sosial kita yang seperti ini elite politik bahkan tidak mencontohkan pendikan nilai-nilai itu,” kata Ketua Program Doktor Fakultas Psikologi UI ini.

Untuk itu dirinya juga berharap kepada pemerintah agar serius membenahi Sumber Daya Manusia (SDM) dan program revolusi mental itu secara nasional. Tidak hanya itu, program dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) juga harus ikut dilaksanakan secara massif.

“Sekolah harus dibenahi, guru-guru jangan hanya sibuk khawatir dengan nilai pendidikan akademis semata. Guru harus mengajar dengan hati, kurukulum dirombak, tingkat dasar pendidikan nilai dan karakter lebih dominan dibanding pendidikan skolastik. Sekolah harus menggairahkan bagi siswa untuk belajar banyak hal, life skill dan nilai nilai itu,” katanya.

Untuk itu dirinya juga mengajak seluruh komponen untuk ikut serta dalam membangun bangsa yang beradab dari bangku sekolah. Dirinya memberikan gambaran agar pendidikan agama perlu keluar dari pola yang dogmatis. Dimana pendidikan agama harus mencerahkan anak-anak untuk menghargai kehidupan yang lebih demoktaris; toleran, hormat-menghoramti, rahamaan lil alamain. Bukan malah dikasih doktrin kaku halal atau haram, kafir,  sesat dan sebagainya yang sangat doktrin kaku.

“Ini supaya anak-anak tidak tumbuh menjadi anak dengan fanatisme agama yang ekstrim, karena ini yang menjadi bibit bibit radikal tereoris dimasa depan. Guru-guru agama juga perlu ditatar ulang agar dapat mengajarkan kepada muridnya nilai-nilai agama yang santun dan menghargai antar sesama umat,” kata pria yang juga anggota kelompok ahli BNPT bidang Psikologi ini.

Untuk itu dirinya berharap dalam menghadapi era milenial sekarang ini pendidikan karakter harus ditanamkan  dalam bentuk aktifitas-aktifitas konkrit seperti olah raga, kesenian, aktifitas kemanusaia, program program yang kreatif. “Jangan pakai pola indoktrinasi, kita harus kreatif mengemas pesan sesuai keinginan anak anak milenial,” katanya mengakhiri. (Very)

 

Artikel Terkait