Politik

Ini Bacaan Pesimistis dari Hasil Pileg 2019

Oleh : very - Minggu, 24/03/2019 22:01 WIB

Pengamat politik dari President University AS Hikam. (Foto: channel indonesia)

Jakarta, INDONEWS.ID -- Jika hasil survei litbang Kompas tentang elektabilitas parpol benar-benar terkonfirmasi dalam kenyataan pada Pileg 2019 nanti, maka perpolitikan nasional tak akan mengalami perubahan signifikan secara struktural dan sistemik.

“Kalaupun perubahan itu ada, maka hanya pada tataran tampilan dibatas permukaan belaka. Hasil pileg tak bisa diharapkan untuk mengatrol upaya penguatan demokrasi,” ujar pengamat politik dari President University, Muhammad AS Hikam, di Jakarta, Minggu (24/3).

Dia mengatakan, hal itu lantaran pada tataran substantif yang akan terjadi adalah pelanjutan struktur yang pada ujungnya tak memberi insentif bagi penerusan dan pendalaman konsolidasi demokrasi yang kini mengalami stagnasi.

“Konsekuensinya, proses perkuatan dan pendalaman sistem demokrasi juga akan terhambat. Bahkan bukan tidak mungkin bahwa proses kemunduran demokrasi akan terus berlangsung kian parah,” ujarnya.

Menurut hasil survei Kompas, parpol yang akan lolos ke Senayan hanya enam yaitu, PDIP, Gerindra, Golkar, PKB, PD, dan PKS. Jumlah yang berkurang ini memang lebih baik daripada yang sekarang yakni 10 parpol, tetapi tetap masih belum ada satu partai pun yang berhasil memenangkan kursi mayoritas (50% plus 1). Menurut survei itu PDIP, sebagai pemenang,  hanya akan menguasai 26% suara di DPR, walaupun itu artinya peningkatan  dari jumlah sekarang, 19%.

Partai lama seperti PAN, Nasdem, dan PPP, masih menurut survei tersebut, akan terdepak karena masing-masing tak akan mencapai ambang batas parlemen, yakni 4%. Sedangkan parpol-parpol baru tak ada satupun yang akan masuk menjadi penghuni Senayan. Parpol yang sedang menjadi perhatian publik, utamanya kaum millenial, yaitu PSI di dalam survei ini hanya mendapat kurang dari 1%.

Ini berarti bahwa status quo politik elektoral pada tataran nasional akan terpelihara, dan koalisi lintas parpol pendukung dan oposisi harus dibentuk.

Koalisi yang pertama, kata Hikam, akan terdiri atas PDIP, Golkar, PKB, sedang oposisi adalah Gerindra dan PKS.

Bagaimana dengan Partai Demokrat? Hikam mengatakan, bisa jadi ia akan mengulang lagi memilih posisi independen atau memilih salah satu koalisi.

“Jika skenario tersebut terjadi maka jelas bahwa harapan akan masuknya parpol alternatif seperti PSI akan kecil dan artinya aspirasi serta gagasan-gagasan progresif juga terkubur. Jika parpol-parpol mapan tak memiliki keinginan melakukan perubahan mendasar, khususnya dalam sistem parpol, maka kemacetan-kemacetan dalam demokrasi akan terus-menerus berlangsung,” ujar Hikam.

Hal itu berakibat pada adanya volatilitas dan kerentanan sistem terhadap upaya-upaya kelompok anti demokrasi, seperti kembali ke otoriterisme atau bahkan meningkatnya ancaman dari kekuatan sektarian dinpanggung politik nasional.

Bacaan pesimis ini tentu diharapkan tak terwujud, namun tetap harus diantisipasi dengan tepat. “Sebab harga yang harus kita bayar akan sangat tinggi jika demokrasi  kita mengalami setback, apalagi digantikan oleh sistem yang otoriter sebagaimana sebelum reformasi,” pungkasnya. (Very)

 

Artikel Terkait