Nasional

Super Kabinet Kerja II Hingga 7 Persen

Oleh : hendro - Kamis, 18/04/2019 09:01 WIB

Pengamat sosial dan politik Christanto Wibisono

Jakarta, INDONEWS.ID - Hari Rabu 17 April 2019 tepat pukul 15.00 tujuh lembaga Quick count serempak mengumumkan kisaran 55%:45% pilpres dimenangkan oleh petahana Jokowi atas penantang Prabowo. Dengan demikian petahana akan melanjutkan periode kedua kepresidenan didampingi oleh wapres ke-13  (tapi orang ke 12, karena Wapres Jusuf Kalla unik;  menduduki posisi wapres ke-10, diselingi wapres ke-11 dan kembali sebagai wapres ke-12). 

Wapres Ma’ruf Amin akan memperoleh NIM (Nomor Induk Menteri) 712 menyusul nomor 711 dari menteri Kabinet Kerja reshuffle mutakhir yaitu Menpam RB Komnjenpol Syahfrudin.  NIM adalah nomenklatur Nomor Induk Menteri untuk setiap orang yang pernah menjadi menteri anggota kabinet RI sejak awal kabinet presidensial I hingga kabinet petahana dan seterusnya. Presiden Jokowi menempati NIM 656 dan beberapa menteri lebih senior NIM-nya karena sudah menjadi menteri ketika presiden masih belum jadi walikota Solo.  PDBI (Pusat Data Bisnis Indonesia) menyampaikan selamat bekerja kepada Presiden ke-7 yang diharapkan dapat menuntaskan target doubling income percapita pada akhir masa jabatannya dengan pertumbuhan 7%, Dengan stabilitas politik yang mantap hasil mandat yang diperoleh dari rakyat, diharapkan Kabinet Kerja II akan sukses menurunkan ICOR 6,46  dan menciptakan iklim ramah bisnis dan ramah investasi. 

Sudah tiba saatnya Indonesia memimpin suatu ASEAN RAYA dengan menarik dana global yang bermukim di Singapura Asian Currency Unit yang total asetnya mencapai US$ 1,3 triliun atau pusat keuangan ketiga terbesar sedunia setelah London dan New York.  Inilah misi utama Kabinet Kerja yang harus menarik dana investasi ke Indonesia, karena  Dana Pihak Ketiga Indonesia yang hanya sekitar Rp. 5000 triliun sudah terserap dalam rasio LDR hampir 100%, Maka mutlak diperlukan arus dana masuk dari luar secara masif, strategik jangka panjang saling menguntungkan antara investor dan Indonesia.

Tahun 1938 ekspor Hindia Belanda tertinggi dengan beberapa komoditi menjadi raja dunia seperti karet, gula kopi, kina. Pada akhir 1945 cadangan devisa  Indonesia US$ 458 juta merosot menjadi US$ 142 juta pada 1949. Konflik Belanda dengan Indonesia makan waktu 4 tahun perang dan diplomasi dan pada perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) di The Hague  Indonesia mewarisi utang Hindia Belanda US$1, 2 milyar yang akan dibayar lunas selama 7 tahun hingga 1956.  

Setelah itu Indonesia menganut kebijakan etatisme dan sosialisme dengan menasionalisasi seluruh perusahaan Belanda yang kemudian memuncak ketika konflik dengan Inggris karena konfrontasi Malaysia dan dengan AS yang terlibat pemberontakan PRRI Permesta 1958. Etatisme Bung Karno bangkrut setelah 3 sanering, gunting Syafrudin, 1959 Rp. 1000 dan Rp. 500 dikebiri nilainya tinggal 10% serta pergantian Rp. 1000 uang lama dengan Rp. 1 uang baru. 

Bung Karno jatuh diganti Jendral Soeharto yang 1967 segera mengembalikan semua perusahaan yang di nasionalisasi 1957. Soeharto berkuasa 32 tahun dengan mutlak tanpa oposisi dan 5 kali devaluasi yang berakhir dengan krismon 1998. Melalui transisi relatif cepat terjadi pergantian  4 presiden: Habibie, Gus Dur, Megawati dan 2 term SBY sampai Ir  Joko Widodo  mengejutkan elite nasional dan global mengorbit dari walikota Solo vis Gubernur DKI langsung ke Presiden ke-7 RI. 

Soeharto jatuh 21 Mei 1998 karena krismon ekonomi terpuruk nilai Rupiah anjlok sampai 7 kali lipat dari Rp.2.250 ketika Baht merebak 2 Juli 1997 ke Rp. 17.000 di Januari 1998.  Nah setelah rezim otoriter ditumbangkan, ternyata sistim demokrasi plural tidak menjamin efisiensi politik ekonomi Indonesia.

Terbukti dari angka ICOR (Incremental Capital Output Ratio) yang dalam laporan 4 tahun kinerja Presiden Jokowi angka ICOR Indonesia nyaris tidak bergeming dari  kisaran 6. Untuk bandingan empiris data 2014 Asian Development Bank menyebut ICOR sbb: Indonesia 5.5 , Vietnam 5,2 – India 4,9 - Malaysia 4.6 – Thailand 4,5 – Turki 3,9 -Filipina 3.7 
Presiden Jokowi telah menempatkan perang lawan ICOR ini dengan ‘saber pungli’ dan OTT KPK yang diharapkan menurunkan ICOR Indonesia dari 6 ke 4 atau bahkan ke 3, dengan kebijakan OSS. Nah sistem kepartaian plural merupakan sumber dan akar masalah high poltical and bureaucrati Kabc cost yang harus dialami masyarakat (bisnis) maupun dalam aktivitas sosial dengan biaya public good & service yang mahal dan tidak bisa bersaing dengan negara lain. Karena itu juga ekspor kita tidak beranjak malah kalah dari Vietnam. 

Kalau pemberantasan korupsi dan perizinan OSS gagal dan masyarakat dibebani terus dengan pungli dan suap korupsi maka nilai rupiah tidak bisa dikomando untuk menguat. Hanya kinerja ekonomi, kemampuan ekspor, surplus devisa bisa memperkuat nilai mata uang suatu negara. Bukan gebrakan populisme atau not business friendly yang semakin mempersulit aliran sirkulasi ekonomi di tengah persaingan global yang malah diperburuk dengan proteksionisme bilateral model Trump.

Seperti peringatan Presiden di depan sidang World Bank IMF agar elite global tidak bermental barjibarbeh, perang multi kompleks, perang dagang, perang tarif bea masuk, kuota impor, dan currency war, bahkan bisa jadi perang betulan.  

Dunia perlu menghargai sistem multilateral WTO dan memperkokoh sinergi World Bank  IMF dan WTO, dan bukan malah memperburuk kondisi ekonomi dengan resesi karena proteksionisme berlebihan. Kabinet Kerja karena itu harus dirampingkan sesuai usulan PDBI berdasarkan studi empiris Kabinet G 20. (Penulis Christianto Wibisono Ketua Pendiri PDBI Pusat Data Bisnis Indonesia)

Artikel Terkait