Politik

Menang atau Kalah, Tetap Pancasila

Oleh : very - Sabtu, 20/04/2019 11:01 WIB

Alan Christian Singkali, Jubir Milenial TKN, Litbang DPP PSI. (Foto: Ist)

Oleh: Alan Christian Singkali

INDONEWS.ID -- Hajatan demokrasi pemilihan umum presiden dan legislatif telah usai. Proses yang telah dilalui akan menjadi catatan sejarah di kemudian hari tentang usaha-usaha anak bangsa Indonesia berbondong-bondong melibatkan diri dalam penentuan arah negaranya. Tentu kekurangan yang terjadi, baik itu dari sisi penyelenggara, peserta pemilu, tim pemenangan, bahkan wajib pilih menjadi catatan untuk perbaikan-perbaikan di masa depan.

Sebagaimana hajatan, prosesnya tidak serta merta selesai begitu saja seperti meninggalkan piring kotor yang entah siapa yang akan membersihkan. Penyelenggara pemilu masih memiliki kewajiban menuntaskan proses perhitungan sampai ada keputusan KPU tentang siapa saja yang menjadi pemenang dan menduduki posisi sebagai presiden, legislatif, senator, dan anggota DPRD di Kabupaten/ Kota. Walaupun berbagai lembaga survei telah merilis hasil hitung cepat (quick count) yang menggunakan metode ilmiah dengan mengambil sampel acak yang proporsional, namun perhitungan riil sebagai dasar utama dalam menentukan hasil akhirnya.

Oleh karena tugas selanjutnya perlu dituntaskan oleh KPU sebagai penyelenggara, maka sebagai peserta pemilu, tim pemenangan presiden dan partai politik perlu mendukung proses lanjutan tersebut. Sembari masing-masing pihak mengumpulkan formulir C1 dan juga jikalau misalnya ada bukti kecurangan atau kelalaian dalam proses penyelenggaraan, maka dibuka kemungkinan untuk mengajukan gugatan ke Bawaslu bahkan ke Mahkamah Konstitusi.

Proses-proses demokrasi ini diharapkan mengajarkan kita untuk menjadi negarawan yang berhikmat dan bijaksana. Oleh karena itu upaya untuk menggiring opini bahwa terjadi kecurangan masif namun tanpa data, dan juga upaya mendelegitimasi kerja-kerja penyelenggara dengan cara menghasut banyak orang adalah cara-cara yang tidak bijak dan arif. Ini inkonsisten dengan nilai-nilai yang ditawarkan dalam setiap kampanye bahwa proses kontestasi akan mengutamakan kepentingan umum tanpa adanya penggiringan untuk membuat keadaan menjadi "status quo".

Adanya ajakan people power oleh Amien Rais sebelum tanggal 17 April, yang kemudian disambut kembali oleh Eggi Sudjana setelah pemilihan umum dengan seolah-olah menganggap bahwa proses rekapitulasi dan langkah-langkah selanjutnya tidak penting lagi, sangat disayangkan. Hal ini membuat rakyat kebingungan menafsir ajakan-ajakan ini. Apakah ini berarti tidak perlu lagi mengakui proses-proses KPU? Ataukah ini berarti ajakan pengambilalihan kekuasaan dengan kekuatan rakyat yang telah diprovokasi?

Padahal harapan sebagian besar rakyat Indonesia bahwa setelah pemilihan umum, entah siapa pun yang akan terpilih, akan kembali guyub rukun dan bergandengan tangan membangun bangsa sampai kembali lagi momentum pemilihan umum. Harapan sebagian besar rakyat bahwa ekses pemilu janganlah sampai membawa bangsa ini ke dalam polarisasi berkepanjangan, kerusuhan, dan lain-lain. Oleh karena itu, setiap orang yang memiliki kemampuan untuk menenangkan situasi baik itu capres-cawapres, caleg dan pengurus parpol, dan tim pemenangan harus mampu membawa kesejukan dengan narasi-narasi yang menenangkan.

Sudah cukup perdebatan yang sampai mengarah pada perpecahan selama beberapa bulan masa kampanye. Momentum rekapitulasi suara ini harus diisi dengan merajut kembali tali persaudaraan dengan tetangga, keluarga, teman dan kerabat yang mungkin sempat terputus karena perbedaan pilihan. Akar sejarah demokrasi sendiri justru adalah kekuatan kesatuan rakyat yang melawan feodalisme. Dengan munculnya pemimpin dari kalangan  rakyat, diharapkan dapat menjadi wakil bagi seluruh rakyat bukan hanya sekelompok saja.

Upaya pencerdasan politik harus terus-menerus dilakukan dengan tidak hanya hadir di tengah-tengah masyarakat lima tahun sekali. Tapi harus dilakukan setiap saat, sehingga jika hajatan demokrasi itu dilaksanakan lagi polarisasi-polarisasi berdasarkan suku, agama, ras, dan pandangan politik tidak terlalu nampak di tengah-tengah masyarakat.

Ciri-ciri masyarakat terdidik adalah ketika menganggap proses demokrasi adalah proses biasa saja yang tidak terlalu istimewa. Oleh karena itu indikator memilih kandidat tidak lagi menggunakan faktor emosional (kesamaan identitas) namun sepenuhnya menggunakan rasionalitas (karena kapabilitas, integritas, dan lain-lain). Dengan begitu proses demokrasi akan terjaga dari neo-feodalisme yang menjadi momok baru dalam distribusi kepemimpinan elektional. Hal ini juga berarti hilangnya potensi money politic yang juga menyuburkan praktik neo-feodalisme. Pendidikan politik akan melahirkan budaya meritrokasi yang mana setiap indigenous people dapat terdistribusi sesuai dengan kapasitas masing-masing, bukan karena siapa (anak siapa, punya uang berapa, dan lain-lain).

Hasil pemilu 2019 akan membawa kita memasuki masa bonus demografi yang merupakan potensi produktivitas maksimal dari angkatan kerja Indonesia. Kepemimpinan di segala lini diharapkan mampu mengantarkan bentuk-bentuk kebijakan yang membuka peluang-peluang bagi pemenuhan kapasitas dan kesempatan kerja warga negara. Agar sebagai bangsa kita dapat secara komprehensif merasakan kemerdekaan yang berdaulat, berdiri sama tinggi dengan bangsa-bangsa lain di seantero dunia.

*) Alan Christian Singkali, Jubir Milenial TKN, Litbang DPP PSI

Artikel Terkait